Naya datang ke Rumah Sakit untuk melihat keadaan papanya. Naya sengaja datang lebih awal sebelum ia pergi ke kantor. Naya duduk di samping tempat tidur papanya.
"Pa, sebentar lagi Naya mungkin tidak bisa sering datang kemari lagi untuk melihat keadaan papa. Papa harus kuat ya? Papa harus berjuang untuk sembuh. Naya juga mau berusaha untuk perusahaan papa. Pa ..." sapa Naya kepada papanya yang terdengar menyayat hati.
"Pa, doakan Naya agar berhasil ya? Sejujurnya Naya takut. Takut jika mengecewakan harapan orang banyak. Meski Naya merasa nggak akan mampu, bahkan Naya sendiri tidak yakin dengan kemampuan Naya. Tapi Naya akan berusaha buat yang terbaik. Terbaik yang Naya mampu" katanya sungguh-sungguh.
Dada Naya sudah terasa penuh, bergejolak dalam perasaan yang campur aduk. Naya menggenggam tangan papanya, meremasnya dengan lembut penuh kasih sayang.
"Naya sayang papa. Papa harus sembuh" Air mata Naya tumpah juga. Ia mulai terisak, menangis tertahan. Dadanya semakin sesak.
Naya menatap wajah papanya yang pucat. Naya menggigit bibirnya menahan isak tangis, membiarkan air matanya terjun bebas tak terkendali. Bahunya mulai berguncang. Naya mengusap kasar air matanya. Menengadahkan wajahnya agar tiada air mata yang mengalir lagi. Naya menarik nafas panjang lalu tersenyum. Kembali menatap papanya dengan wajah tersenyum yang di paksakan.
Gue harus kuat. Nggak boleh cengeng. Gue harus bisa jadi putri kebanggaan papa. Gue nggak boleh lemah. Gue pasti bisa. Kata Naya dalam hati. Ia terus menyemangati dirinya sendiri.
"Naya akan menjadi sangat kuat untuk papa. Karena Naya putri kesayangan papa. Naya harus bisa menjadi putri yang dapat membanggakan papa."
"Jaga dirimu baik-baik, Pa. Jauh di sana nanti, doaku akan ku utus untuk menjagamu" kata Naya lirih.
Naya mengecup punggung tangan papanya cukup lama. Lalu menundukkan kepalanya dan meletakkan telapak tangan papanya di puncak kepalanya. Seperti yang sering Tuan Luwin lakukan untuk memberikan dukungan kepada putrinya. Dua tetes air mata masih bandel dan terus melesat bagai sedang berseluncur sesuka hati.
"Maafkan Naya yang hari ini sedikit rapuh. Tapi Naya janji. Mulai sekarang Putri Papa ini akan menjadi lebih dan lebih kuat lagi." Naya menyeka air matanya.
"Pa, Naya kembali kerja dulu ya. Papa jaga diri baik-baik. Ok?"
Tidak lupa Naya mengecup kening papanya sebelum pergi. Bagi Naya, papanya adalah segalanya. Papanya adalah satu-satunya orang yang selalu ada untuk Naya, papanya yang paling menyayanginya selama ini. Hanya papanya.
Seorang Papa bekerja tanpa mengenal lelah dan mengeluh untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Papa mencari nafkah pagi dan malam, apa pun ia lakukan, walau harus mengeluarkan banyak tenaga, pikiran, dan keringat.
Papa merupakan sosok pekerja keras, mencintai anak-anaknya, sayang keluarga, dan tak mudah putus asa. Begitu banyak Papa yang rela mengorbankan kebahagiaan dirinya karena lebih ingin membahagiakan keluarganya.
Walau tidak terlalu sering berbicara, sosok Papa memiliki isi hati yang lemah lembut pada sang anak.
Ya, Papa adalah sosok yang sangat penting dalam kehidupan. Setiap hari berjuang, jerih payahnya demi memberikan penghidupan yang baik untuk keluarga.
Papa merupakan sosok yang menjadi pahlawan dalam kehidupan. Papa mengajarkan untuk hidup mandiri, kuat, dan tidak manja dalam menjalani hidup. Itu sosok Papa yang gue tau.
***
Naya datang ke kantor dengan semangat baru, ia terlihat lebih percaya diri sekarang. Beban yang kini ada di pundaknya membuat Naya lebih bertanggungjawab.
Naya mengerjakan tugasnya seperti biasa, ia juga mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa di lanjutkan oleh pak Reza.
Seseorang mengetik pintu ruangannya. Orang tersebut segera masuk setelah dipersilakan oleh Naya. Rupanya Pak Reza dan Putra.
"Ada apa? Kenapa kalian datang bersama? Apa sesuatu telah terjadi?" tanya Naya.
Putra dan Pak Reza saling pandang. Putra lalu menganggukkan kepala memberi isyarat kepada Pak Reza. Laptop Naya segera diambil alih oleh Pak Reza. Pak Reza menuju salah satu alamat website, mengetik sesuatu di papan keyboard. Putra berdiri di samping Naya, menanti sengan sabar.
"Ada apa?" tanya Naya penasaran.
"Tunggu dan lihatlah" jawab Putra.
Pak Reza baru berkata setelah dapat membuka websitenya.
"Pengumuman finalis yang lulus dari audisi Mahardika Fashion, sudah keluar. Ini sepuluh daftar nama finalisnya" kata pak Reza mengarahkan layar monitor ke hadapan Naya.
Naya melihatnya dengan seksama. Dadanya berdebar cukup kuat.
"Yeach!" teriak Putra sambil memukul meja membuat Naya terkejut dan belum sempat membaca nama terakhir yang ada di daftar.
"Kyaaa! Apaan sih lo? Bikin gue jantungan aja. Diam dulu kenapa? Gue belum selesai baca" Naya memandang kesal Putra.
"Nggak perlu dibaca lagi. Lo lulus kok."
"Apa?! Benarkah?" Naya mengalihkan pandangan ke layar dan membaca nama terakhir. Itu nama dia. Kanaya Putri Luwin.
"Gue nggak bohong kan?"
"Aaaaa .... Gue lulus" pekik Naya. Ia loncat dari tempat duduknya dan reflek memeluk Putra. Melakukan euforia sederhana.
Putra tersenyum menerima pelukan tak terduga dari Naya. Putra ikut senang atas pencapaian yang diraih oleh Naya.
"Selamat ya?" Bisik Putra di telinga Naya.
"Ermm, thanks" Naya sadar akan tingkahnya. Ia lalu melepas pelukannya. Naya merasa malu, ada pak Reza juga di situ.
"Selamat nona Naya, semoga berhasil hingga akhir" Pak Reza memberi semangat.
"Terima kasih, Pak Reza. Untuk kedepanya, tolong jaga perusahaan" pinta Naya.
"Siap, Non."
Naya segera bersiap begitu sampai rumah. Putra masih setia menemani Naya. Bahkan pekerjaannya hari ini, ia tunda semua. Putra sengaja menghabiskan hari ini sepenuhnya bersama Naya. Ia hanya berkesempatan hingga sore nanti, sebab Naya sudah harus masuk asrama untuk karantina selama mengikuti kompetisi.
Setelah semua beres, Putra membantu Naya memasukkan kopernya ke dalam mobil. Saat sampai di ruang bawah, Naya bertemu dengan mamanya dan Fisa.
"Kau mau kemana?" tanya Vera.
"Maaf, Ma. Naya belum sempat cerita ke mama. Naya akan mulai tinggal di asrama, karena harus karantina untuk mengikuti Kompetisi."
"Kompetisi apa? Jangan bilang kalau kau ikut kompetisi Mahardika Fashion. Hah! Kau tidak akan mampu, belum tentu kau bisa lolos tahap audisi awal" ledek Kak Fisa. Fisa memandang rendah adiknya.
Putra hendak angkat bicara tapi segera di hentikan oleh Naya. Ia tidak ingin terjadi keributan. Bisa-bisa ia akan dipersulit untuk mengikuti kompetisi, padahal ini satu-satunya cara tercepat untuk memulihkan perusahaan.
"Tapi, Nay."
"Sudah. Kita harus bicarakan ini secara baik-baik. Jangan sampai mereka menahanku untuk pergi" bisik Naya.
"Kenapa? Ayo cepat katakan. Kau mau kemana? Owh, kau mau balik ke luar negri ya? Tidak berperasaan. Keadaan sedang seperti ini kau malah mau menghindar" lagi-lagi Fisa berpikir buruk tentang Naya.
Bagaimana Naya akan menjelaskannya kepada Vera dan Fisa? Akankah Naya bisa mengikuti kompetisi tersebut?" Akankah Vera mengizinkan?