Chereads / Me Vs Your Identity / Chapter 14 - Audisi Tahap Awal

Chapter 14 - Audisi Tahap Awal

Naya merasa dirinya akan hilang keseimbangan, Naya lalu berpikir cepat. Naya memutar sekalian tubuhnya, tidak lupa membungkukkan tubuhnya agar mendapat keseimbangannya kembali.

Shreeet!

Naya mampu menyeimbangkan kembali menggunakan kakinya yang lain. Huft! Naya menghela nafas lega. Naya lalu menegakkan tubuhnya sambil merentangkan tangannya dan tidak lupa memainkan lututnya sedikit memberi kesan penghormatan kepada para juri. Naya tersenyum begitu manis untuk menutupi kesalahannya yang nyaris terjadi.

Para juri kemudian membalas senyumannya dan ada dua orang juri yang memberinya tepuk tangan.

Fiyuuuh!

Naya merasa amat lega. Ia lalu memutar tubuhnya, dan melangkah ke belakang panggung. Penampilannya telah selesai, Naya mampu melakukannya dengan baik.

Huft! Untung saja gue tidak sampai jatuh. Kalau saja tadi gue sampai jatuh, habislah sudah. Hemm kedepannya gue harus ekstra hati-hati. Gue tidak boleh ceroboh lagi. Batin Naya.

"Selamat, penampilanmu bagus. Semoga masuk finalis ya?" kata salah seorang kru yang berada di balik panggung.

"Terima kasih, kak" kata Naya dengan senyum, Naya merasa senang ada orang yang memperhatikannya.

Naya segera pulang setelah penampilannya selesai, karena juri belum akan mengumumkan siapa saja yang akan masuk dalam nominasi. Hal tersebut terjadi sebab proses audisi juga belum selesai, maka dari pihak penyelenggara akan mengumumkannya kemudian. Siapa saja yang akan terpilih dan masuk karantina baru akan di umumkan dua hari lagi. Selama proses menunggu pengumuman pihak penyelenggara berharap bagi semua peserta mempersiapkan diri, sebab jika nanti pengumumannya sudah keluar maka yang terpilih akan langsung masuk karantina selama satu bulan sampai acara selesai dan telah didapat sang juara. Tapi ada kabar buruk, peserta yang berhasil masuk sebagai nominasi dan akan mengikuti karantina hanya diambil sebanyak 10 calon model dari ratusan peserta yang mengikuti audisi. Peluangnya kecil. Tapi Naya tidak mau menyerah. Memang nampak mustahil baginya yang masih amatiran di dunia model.

Naya cukup cemas akan hal tersebut tapi dia tidak mau berkecil hati, ia terus berharap semoga dirinya bisa menjadi salah satu diantara peserta yang lolos untuk mengikuti karantina.

Setidaknya gue sudah melakukan yang terbaik hari ini, semoga saja nanti akan membuahkan hasil yang baik pula. Kata Naya dalam hati.

Naya keluar gedung audisi. Di depan gedung, Putra sudah menunggunya.

"Hei, sudah selesai? Bagaimana? Apa semua berjalan lancar? Sesuai harapan?" tanya Putra tidak sabar.

"Yah, not bad."

"Baiklah, sebaiknya kita pergi makan sambil mengobrol. Itu akan membuatmu releks."

"Ok."

Putra lalu membawa Naya ke sebuah kafe yang tidak jauh dari tempat audisi tersebut. Mereka duduk di meja yang jauh dari pengunjung lain agar lebih leluasa dalam berbicara. Putra sudah memesankan makanan dan minuman yang disukai Naya. Entah Sejak kapan Putra mengetahui kesukaan Naya dan menjadi terbiasa memesankannya tanpa bertanya terlebih dulu kepada Naya.

"Duduk sini saja" kata Putra.

"Ok."

Naya duduk berhadapan dengan Putra. Naya terlihat tidak ceria seperti biasanya. Putra segera membangun suasana agar lebih hangat.

"Apa gue perlu bernyanyi dan menari di hadapan lo?" kata Putra tiba-tiba.

"Apa?" Naya heran.

"Iya, habisnya lo terlihat tak bersemangat gitu."

"Hemm, gue lelah."

"Audisinya berat banget?"

"Tidak, hanya perlu berjalan dan dilihat oleh para juri."

"Terus kenapa muka lo seperti itu?"

"Laper" jawab Naya asal. "Mana daftar menunya?" Pinta Naya.

"Sudah gue pesenin."

"Lo pesen apa buat gue? Jangan asal ya? Nanti gue bisa sakit perut" kata Naya mengerucutkan bibirnya.

"Gue taulah apa yang lo suka."

"Ohya? Sejak kapan lo jadi perhatian banget kayak gini ke gue? Lo sakit ya?" Naya reflek menempelkan punggung tangannya ke dahi Putra untuk memeriksa Apakah Putra sedang panas.

"Gue baik-baik aja" kata Putra sambil menurunkan tangan Naya.

"Owh, kirain lo sedang nggak waras."

"Sial, lo."

"Mana tau kan?" Naya terkekeh.

"Gue nggak waras karena menanti balasan cinta lo?" kata Putra datar.

Naya terpaku sesaat dia tidak menyangka jika Putra akan berkata seperti itu. Naya merasa bersalah sebab hingga saat ini dia belum juga membalas pernyataan Putra waktu itu, tapi mau bagaimana lagi? Naya sendiri belum yakin akan perasaannya itu dan lagi sekarang dirinya sedang banyak masalah. Fokus Naya kali ini hanya untuk menyelamatkan perusahaan Papanya dan juga untuk mengusahakan kesembuhan papanya yang masih terbaring lemah di ICU. Sama sekali tidak terlintas pikiran tentang asmara dibenaknya. Waktu Naya cukup tersita untuk menyelesaikan semua masalah yang sedang terjadi.

"Hentikan. Gue lagi nggak mau becanda nih. Gue benar-benar minta maaf untuk yang satu itu. Gue belum bisa mempertimbangkannya sekarang. Tapi jika lo mau jawaban cepat maka akan gue jawab sekarang."

"Gue hanya ingetin. Mana tau lo lupa. Gue ngerti kok, sekarang lo lagi fokus dengan masalah di kelurga lo. Gue masih bisa nunggu. Lo santai aja."

"Thanks, karena lo mau ngerti."

"Tentu. Gue kan selalu ngertijny lo sejak dulu, bahkan sejak lo masih gosong."

"Hei, gue kira lo nggak akan nyebut gue gitu lagi."

"Jangan marah, itu kan panggilan cinta gue buat lo" Putra tertawa.

"Cih! Ogah. Gue sekarang dah glowing, lo nggak bisa katain gue gitu lagi. Apa lo nggak bisa liat bidadari cantik ini?" Naya bergaya, menunjukkan pesonanya.

"Hemm percaya. Buktinya gue bucin ma lo sekarang."

"Ah apaan sih. Ngaco!"

"Nah lo, gue bilang serius malah di katain becanda. Giliran gue becanda, lo anggap serius. Bikin gemes tau? Sini gue cubit pipi lo" Putra bersiap mencubit pipi Naya tapi tidak kesampaian, sebab pelayan keburu datang membawakan pesanan mereka.

Pelayan segera undur diri setelah meletakkan pesanan. Baik Naya maupun Putra segera melahap makanannya. Naya makan sambil menceritakan tentang proses audisi tadi. Naya juga menceritakan kesalahan yang nyaris terjadi. Putra menyimak dengan seksama setiap cerita Naya. Putra makan tapi matanya tidak pernah lepas dari Naya. Hari-hari Putra memang hanya dipenuhi pikiran tentang Naya.

"Nay, gue jadi nggak tenang."

"Kenapa?"

"Gue takut nggak bisa menahan rasa rindu gue ke lo. Sebentar lagi lo akan masuk karantina. Apa kita masih bisa bertemu?"

"Pasti bisalah. Namanya karantina, pasti masih ada satu atau dua hari bebas. Mungkin gue bisa keluar saat hari bebas. Gue juga mau melihat keadaan papa."

"Semoga saja. Kalau sampai lo nggak di kasih izin keluar. Gue yang akan masuk untuk ketemu lo."

"Jangan nekat. Gue nggak mau kena masalah. Ingat, gue ikut audisi demi nasib ratusan karyawan di kantor dan juga demi papa gue. Gue harap lo sabar dan jangan timbulkan masalah buat gue."

"Iya, gue ngerti" Putra berat hati melepas Naya masuk karantika, meski belum pastinkarena pengumumannya belum keluar.

Putra mengantar Naya pulang ke rumahnya, Naya perlu istirahat cukup untuk pekerjaannya esok hari di kantor. Putra segera pergi setelah menurunkan Naya. Putra malas untuk masuk ke rumah tersebut. Sebenarnya Putra hanya tidak ingin bertemu Fisa yang selalu kecentilan kepadanya.

Vera dan Fisa sedang mengobrol di ruang makan saat Naya pulang. Fisa tau jika Naya pulang, tapi ia sengaja buat tidak tau. Jadi hanya Vera yang membalas sapaannya.

"Ma, Fisa seneng banget bisa ikut kompetisi model itu. Semoga Fisa bisa lolos.

"Itu pasti, putri mama memang model hebat, bahkan fotomu banyak terpasang di majalah-majalah.

"Iya, Ma. Fisa pasti jadi juara Model yang diadain oleh Mahardika Fashion itu."

"Iya, sayang."

"Fisa juga nggak sabar bertemu CEO Mahardika Fashion, dari kabar yang beredar katanya super tampan" kata Fisa bersemangat.

"Ohya?"

Naya masih bisa mendengar jelas obrolan Vera dan Fisa, saat Naya menaiki tangga menuju kamarnya.

Rupanya kak Fisa juga mengikuti audisi tersebut. Untung tadi tidak bertemu disana, bisa-bisa kak Fisa memaksa mama untuk mencegahku mengikuti audisi itu. Bagaimana respon mama dan kak Fisa jika mereka tau kalau gue juga ikut dalam acara tersebut. Gue lupa kalau kak Fisa itu model. Dia pasti ikut dalam acara ini. kata Naya dalam hati.