Pangkalpinang, Bangka, Sumatera Bagian Selatan, Indonesia. Akhir kuartal ketiga, tahun 1972. Pukul 4 lewat 4 menit.
***
Kami semua terbangun hampir bersamaan, mendengar teriakan beberapa teman memanggil nama kami bertiga.
"Occaaaa ... Odddeeeee ... Oxxxxxyyyyy," suara teman-teman terdengar dari arah luar saling bergantian membangunkan kami.
Oca adalah kakak perempuanku, aku sendiri Ode, dan Oxy adalah adik bungsu laki-laki kami.
Kami bersegera bangkit meninggalkan tempat tidur.
Sempat terjadi keributan kecil sesaat, karena tak satu pun dari kami yang bersedia duluan mencuci muka dan menggosok gigi ke kamar mandi.
"Sssssstttttt ... awas pintunya gak nutup rapet," ujar Oca berdesis dan berbisik perlahan.
Untung saja Oca memberi isyarat bahwa conneting door ke kamar Papi dan Mami sedikit terbuka.
Sambil berjalan sangat perlahan meninggalkan tempat tidur, kami pun sepakat untuk masuk bersama ke kamar mandi. Satu masalah terselesaikan!
"Ayo kita masuk bareng aja kalo gitu," ujarku.
"Yaudah bareng aja," ujar Oca menyetujui usulanku.
"Oxy ... kamu pipis dulu. Nanti jangan bikin repot di jalan ya," ujar Oca berpesan.
"Tapi bantu aku gosok gigi ya, Ca?" rayu Oxy.
"Hmm ... yaudah deh," balas Oca.
Dingin subuh merayap ke seluruh tubuh ketika masuk ke kamar mandi berukuran delapan meter persegi itu.
Bak mandi berlapis keramik putih yang membentang sepanjang dua meter dengan lebar sekitar satu meter di hadapanku, selalu mengingatkan kami pada bentuk kuburan Cina, di kota tempat kami menetap sebelumnya.
Sedimentasi selalu menjadi pemandangan harian hampir di setiap kamar mandi di rumah ini. Endapan di dasar bak air itu, terkadang terlihat seperti seekor buaya, dan dilain waktu nampak seperti sosok manusia yang sedang lelap tertidur. Itu sebabnya sebisa mungkin kami bertiga selalu menghindari mandi malam di situ, kecuali sangat terpaksa.
Mami biasa membungkus ujung keran dengan selembar serbet untuk mengurangi endapan di bak mandi. Filter keran belum diciptakan pada masa itu.
Subuh di hari libur itu, kami memang berniat untuk bersepeda dengan beberapa teman yang beberapa hari sebelumnya telah menjanjikan rute touring paling seru di kota timah ini.
Beberapa menit kemudian ...
Terlihat tiga siluet hitam jalan berjinjit dan sesekali berjingkat hampir hilang keseimbangan melewati meja makan, menuju tempat penyimpanan sepeda di sebelah ruang tamu.
Satu per satu berusaha sepelan mungkin melipat standar, lalu menuntun sepeda melalui pintu samping yang menjadi akses harian ke halaman depan rumah.
"Oxy pelan-pelan jangan nabrak dong," ujar Oca mengingatkan Oxy.
"Aku gak nabrak siapa-siapa kok!" balas Oxy setengah nyolot.
Sekitar lima meter dari teras tempat kami berdiri, terlihat beberapa kepala bermunculan di balik rimbun tanaman pagar yang berseling dengan pagar besi keperakan.
"Hei suara kalian tadi terdengar kencang sekali sampai ke kamar," ujar Oca sambil tertawa menyapa Lili dan Vivi, dua sahabat barunya di kota ini.
Alan adik laki-laki Lili dan Vivi segera membantuku membuka pintu pagar.
Kami berusaha mendorong pintu pagar besi beroda ke arah dalam sehati-hati mungkin. Namun sesekali tetap terdengar suara engsel berderit, dan akhirnya pintu terbuka cukup lebar.
Andri dan Indra sahabat kembar kami membantu Oxy membawa sepedanya keluar.
Setelah itu kami bertiga melesat bersama teman-teman, bersepeda tanpa seizin orang tua!