Chereads / ANTON HANTU KEPALA TERBANG / Chapter 2 - Museum Timah

Chapter 2 - Museum Timah

Berpetualang di sebuah kota yang baru selalu saja menarik buat kami. Ada suasana yang berbeda dan tentu saja ada pula sejumlah pengalaman baru yang menanti di balik sebuah petualangan.

Rombongan berhenti sejenak di depan rumah seorang dokter, tetangga di kiri rumah kami. Di situ ada sebuah perempatan yang membuat ragu pimpinan rombongan. Kalau kami mengambil jalan lurus akan menghadapi turunan curam yang gelap, pilihan lainnya adalah jalan datar yang aman ke arah kanan atau kiri perempatan.

"Vi enaknya kita ke kiri dulu atau gimana?" Lili coba minta pertimbangan Vivi.

"Bebas aja yang penting aku gak mau lurus ke bawah," jawab Vivi.

"Iya serem juga masih terlalu gelap," ujar Oca turut bersuara.

"OK ... kita ke kiri dulu," ujar Lili memberi komando ke rombongan.

"Lurus juga gak apa-apa," komentar Andri sekenanya.

"Itu rute terakhir ajalah," balas Indra kepada saudara kembarnya.

Tak lama, rombongan yang terdiri dari delapan sepeda itu akhirnya bergerak perlahan ke arah kiri. Melewati satu atau dua rumah di kiri jalan, setelah itu terlihat sepasang lampu tembak yang menyorot ke arah langit hitam bergerak memutar membentuk garis orbit elektron di hamparan awan terdekat.

"Apa itu ...?" tanya Oxy.

"Lampu tembak," jawab Alan.

Lampu yang terletak dalam wadah berupa cawan pertambangan timah itu tampak terang benderang, mengundang serangga malam berkumpul di sekitar gelombang dan pita cahaya yang nyaris tak kasat mata dan lepas bersama emisi panas dari sepasang lampu tembak.

"Ini Museum Timah," ujar Vivi.

"Seisi kota mengenal bangunan ini," tambah Lili.

Andri dan Indra yang memang lahir di kota itu lalu menjelaskan bahwa Museum Timah itu sangat terkenal di kota Pangkal Pinang, karena ada lampu tembak yang cahayanya bisa menyentuh permukaan awan yang sedang beriringan di ketinggian tertentu.

"Cahaya lampunya bisa sampai ke awan," ujar Indra.

"Iya sangat terang!" Andri menimpali.

Arsitektur bangunan museum itu sangat kental dengan nafas desain kolonial bekas pemukiman keluarga Belanda. Pilar-pilarnya terlihat cukup jelas di balik tabir cahaya lampu tembak yang ditempatkan di halaman muka bangunan itu.

"Bagus ya," ujarku tanpa sadar mengagumi bangunan itu barang sesaat.