"Dan kamu tahu penyesalanku sekarang Max? aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan keadaanku seperti ini." ucap Marey dengan air mata menetes di pipinya.
"Kamu harus bersabar Marey, sekarang ada Dean yang akan menjagamu. Tidak akan terjadi sesuatu yang akan menimpamu lagi. Dean akan merawatmu hingga kamu bisa berjalan lagi." ucap Max menenangkan hati Marey.
"Kamu benar Max, ada Dean yang menjagaku sekarang. Tapi bagaimana dengan Dean sendiri? kamu tahu Max? hidup Dean tidak akan lama. Dean menderita leukimia Max." ucap Marey sambil menangis lirih tidak ingin Dean mendengarnya.
"Ya Tuhan Marey? apa itu benar? aku tidak percaya pria sebaik Dean menderita leukimia. Apa tidak ada jalan keluar lagi buat Dean untuk tetap hidup Marey?" tanya Max dengan tatapan sedih.
Marey menggelengkan kepalanya dengan wajah sedih.
"Tidak ada lagi Max, Dokter Chan sudah mengatakan tidak ada harapan hidup buat Dean selain memperpanjang hidupnya beberapa bulan lagi." ucap Marey seraya mengusap air matanya.
"Aku tidak bisa percaya ini Marey? apa kita akan kehilangan Dean selamanya?" tanya Max dengan tatapan penuh.
"Aku tidak tahu Max, yang pasti aku akan terus memberi semangat pada Dean agar bertahan hidup." ucap Marey menguatkan hatinya agar tidak menangis lagi.
"Aku juga akan memberi semangat pada Dean. Kamu jangan cemas Marey, semoga ada jalan yang terbaik untuk Dean." ucap Max sambil menggenggam tangan Marey.
Marey menganggukkan kepalanya dengan pelan.
"Apa yang kalian bicarakan? terlihat serius sekali?" tanya Dean tiba-tiba muncul di hadapan Marey dan Max.
"Kamu sudah bangun Dean? kenapa kamu ke sini. Apa kamu membutuhkan sesuatu? kenapa tidak memanggilku saja?" ucap Marey menatap Dean yang masih pucat.
"Aku tidak membutuhkan sesuatu Marey, aku mendengar suara Max. Jadi aku ingin bertemu dan bicara dengan Max." ucap Dean seraya duduk di samping Max.
"Kamu mau bicara tentang Dean? Max sudah tahu tentangmu Dean." ucap Marey dengan tatapan penuh.
Dean menoleh ke Max dengan wajah sedikit terkejut.
"Jadi kamu sudah tahu kalau aku Dean Max? Sudah lama kita tidak keluar jalan-jalan bersama Max?" ucap Dean sambil menepuk bahu Max.
"Dari pertama bertemu aku sudah sangat yakin kalau kamu adalah Dean, sepertinya aku sangat mengenalmu. Tenang saja Dean, di saat aku libur sekolah kita akan jalan-jalan lagi." ucap Max dengan wajah gembira.
Dean tersenyum menganggukkan kepalanya.
"Aku tahu Max, sikapmu tidak pernah berubah padaku." ucap Dean merasa senang berteman dekat dengan Max.
Max tersenyum kemudian menatap Dean dan Marey secara bergantian.
"Sebaiknya kalian berdua menikah saja, agar kalian bisa saling menjaga satu sama lain." ucap Max dengan wajah serius.
"Apa yang kamu katakan benar Max, aku memang berniat untuk menikahi Marey. Tapi aku akan berusaha untuk membuat Marey bisa berjalan lagi, agar di saat kita menikah nanti Marey bisa berjalan dengan kedua kakinya. Dan itu tidak akan membutuhkan waktu lama, aku yakin Marey bisa berjalan lagi." ucap Dean dengan penuh keyakinan.
"Kamu sangat yakin Dean? apakah kamu sudah tahu keadaan kakinya Marey?" tanya Max dengan tatapan penuh.
"Aku bisa melihatnya kaki Marey bisa bergerak bahkan untuk berdiri, tapi tulang kaki Marey mungkin tidak terlalu kuat. Jadi aku sudah putuskan besok pagi aku akan membawa Marey menemui Dokter Chan." ucap Dean sambil menggenggam tangan Marey yang duduk di kursi rodanya.
"Syukurlah Dean, aku berharap apa yang kalian inginkan akan menjadi kenyataan. Aku yakin kalian berdua akan bahagia setelah menikah. Dan aku secepatnya ingin punya keponakan." ucap Max dengan tertawa.
Mendengar ucapan Max yang lucu, membuat Dean dan Marey ikut tertawa.
"Baiklah Marey, Dean aku pulang dulu. Marey, apa kamu tidak tidur di rumah. Ingat besok sore Ayah dan Ibu akan pulang." ucap Max mengingatkan Marey agar tidak membuat orang tuanya kecewa.
Marey menganggukkan kepalanya, sangat mengerti dengan maksud Max.
Sesaat Marey menatap Dean dengan tatapan dalam.
"Dean aku harus pulang, sebelum kita menikah aku tidak bisa tidur di sini." ucap Marey dengan tatapan sedih.
"Marey, kamu harus ingat. Kita sudah bertunangan, dan aku sudah pasti akan menikahimu. Kalau kamu takut dengan warga sekitar. Biar Jack menemui ketua warga di sini, malam ini juga." ucap Dean seraya memberi pesan pada Jack untuk segera meminta izin pada ketua warga agar tidak terjadi salah paham.
"Itu lebih baik Dean, dan akan lebih baik lagi saat Ayah dan Ibu datang nanti kamu menemui mereka dan membicarakan tentang semua yang terjadi." ucap Max merasa lega kalau ketua warga akan mengetahui hubungan Marey dan Dean sudah bertunangan.
"Tentu Max, kamu jangan cemas lagi. Saat orang tua kalian datang besok. Orang tuaku akan ke rumah kalian." ucap Dean dengan tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu Dean, aku sangat lega mendengarnya. Kalau begitu aku pulang dulu." ucap Max sambil membawa makanannya dan memeluk Dean.
Dean tersenyum, kemudian mengantar Max sampai di pintu.
Masih dengan sebuah senyuman, Dean mendekati Marey yang sedang menatapnya.
"Jadi bagaimana Tuan Dean, apa aku harus pulang atau tetap di sini untuk menemanimu?" tanya Marey dengan perasaan bahagia karena Dean begitu perhatian dan menjaga dirinya dengan baik.
"Tentu saja, kamu harus tetap di sini Marey. Aku masih sakit, kalau kamu tidak menjagaku? bagaimana kalau terjadi sesuatu padaku dan aku meninggal?" ucap Dean tidak melanjutkan ucapannya karena tangan Marey sudah menutup mulutnya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Jangan bicara seperti itu Dean, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan menjagamu, tidak akan terjadi sesuatu padamu Dean. Kamu tidak akan meninggal." ucap Marey kemudian memeluk Dean dengan sangat erat.
"Terima kasih Marey." ucap Dean tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memeluk Marey dengan perasaan bahagia.
Keinginannya untuk yang terakhir kali sudah terpenuhi. Marey sudah tidak membencinya lagi. Marey sudah kembali menjadi miliknya.
Setelah sekian lama berpelukan melepas semua rasa kesedihan dan menyalurkan rasa kerinduan yang terpendam, Marey melepas pelukannya.
"Ini sudah malam Dean, sebaiknya kamu tidur." ucap Marey menatap Dean dengan tatapan penuh cinta.
Dean menganggukkan kepalanya kemudian mendorong kursi roda Marey masuk ke dalam kamar.
"Kamu juga harus tidur Marey, tidur bersamaku di sini. Aku tidak akan melakukan hal apapun padamu sebelum kita menikah." ucap Dean seraya mengusap lembut wajah Marey.
Marey menganggukkan kepalanya menurut saja apa kata Dean.
"Ayo Marey, aku bantu naik ke atas tempat tidur." ucap Dean seraya mengangkat tubuh Marey dan membaringkannya di tempat tidur.
Hati Marey benar-benar tersentuh dengan perhatian dan kasih sayang Dean.
Dengan perasaan bahagia Dean ikut berbaring di samping Marey dan melepas rasa lelahnya dengan tidur bersama Marey.