Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

ASTERIA; goddess of dream

🇮🇩eunoiaelpis
--
chs / week
--
NOT RATINGS
28.9k
Views
Synopsis
Suraduhita, perempuan 23 tahun yang menyimpan segala rasa sakit atas kehilangan dan kegagalan sendirian. Ia tumbuh dalam tuntutan untuk jadi mandiri, bukan untuk diri sendiri tapi untuk kakek-nenek yang sudah mengurusnya sejak usia tujuh, karena orangtuanya meregang nyawa tepat di depan mata lugunya. Tidak pernah meminta, ia kerjakan apapun untuk hasilkan uang asal itu halal. Semua lomba ia ikuti, semua hal dipelajari, bukan karena pintar, tapi Sura tidak ingin jadi terbelakang sebab yang diinginkan tidak selalu bisa dimiliki. Ini perjalanan Sura menapaki setiap tangga untuk menjadi perempuan berharga tanpa tindasan, juga sebagai pemimpin seperti yang dari kecil ia cita-citakan.
VIEW MORE

Chapter 1 - 01; Kehilangan

Suraduhita berarti bidadari dan Sranti bermakna sabar. Ia masih usia tujuh waktu itu, ketika mata lugunya melihat bagaimana sang ayah melepaskan genggaman pada tangannya, untuk berlari, mendekap erat tubuh sang bunda yang menyeberang jalan, sebelum mobil kontainer menyeret keduanya.

Sura harus kehilangan sepasang manusia yang memperjuangkan hidupnya di detik yang sama, tepat di depan mata. Waktu terasa melambat ketika orang-orang menjerit, lalu berhambur mengelilingi tubuh keduanya.

Kakinya melangkah mendekat, melangkah ragu, menyeret ketakutan. Sura mencoba membelah kerumunan, bibir mungilnya terus memanggil ayah dan bunda yang tergeletak tak berdaya, saat napas keduanya mulai tersendat.

Dua ambulans datang, Sura ikut bersama bunda. Menggengam tangan basah berwarna merah, tidak ingin melepas bunda yang mulai lemah.

Tidak ingin menyerah, tapi hanya bisa pasrah. Sura menunggu sendirian, duduk di kursi besi hingga kakek-nenek datang dengan wajah cemas juga khawatir.

Nenek langsung memeluk Sura, mencoba menenangkan sang cucu yang terlihat pucat. Kakek menghela napas, berlagak tenang saat harus siap menerima segala kemungkinan, apalagi kabar kehilangan.

Bunda ingin Sura tumbuh jadi perempuan yang menuh kesabaran dan ayah yang tanpa ragu mendidiknya jadi pemimpin. Ayah tidak ingin putrinya tumbuh menjadi perempuan yang ditindas dan diragukan.

Tapi Sura tetap seorang anak yang kehilangan penyangga dan atap dari rumah yang memeluknya dengan hangat, memastikan gadis itu baik-baik saja serta bahagia.

Tidak ada lagi tempat pulang karena rumah Sura sudah berpulang. Bahkan ia pernah bercerita pada ayah dan bunda, tentang impiannya melihat mereka bertepuk tangan dengan bangga di hari wisuda.

Sura ingat, ayah pernah bilang untuk selalu tersenyum apapun takdir yang Tuhan beri. Jadi, ketika orangtuanya di makamkan dengan liang yang bersisian, bibirnya berusaha keras untuk tetap tersenyum walau matanya basah.

Tanah merah, bertabur bunga di atasnya.

Terngiang janji bunda untuk mengantarnya di hari pertama masuk sekolah dasar, walau akhirnya ingkar, karena Tuhan bilang 'ayo pulang'.

Seharusnya bunda mengantar minggu depan, bahkan dengan antusias mereka membeli seragam dan semua keperluan pembelajaran.

"Sura, Sayang," panggil nenek.

Ia mendongak, mengangguk pelan ketika paham bahwa ini waktunya meninggalkan. Sura menatap dua nisan di depannya, tersirat rasa enggan berpisah pada mata lugunya yang kehilangan binar bahagia.

Kedua tangannya menggandeng tangan kakek-nenek di kiri dan kanan, berjalan beriringan, masuk ke dalam mobil yang akan mengantar mereka pulang.

Sepanjang perjalanan, Sura memilih bungkam. Bocah yang melihat kedua orangtuanya meregang nyawa, mencoba mengikhlaskan, menegaskan jika tidak perlu ada yang disalahkan, menekankan pada diri sendiri bahwa semua garis tangan Tuhan.

Tidak ada yang namanya tidak adil saat Tuhan yang berkehendak, karena setiap ingin mengeluh, teringat arti dari namanya yang juga sebagai doa serta harapan dari kedua orangtuanya.

Semua barang-barang ayah dan bunda mulai dipindah ke rumah kakek, karena rumah yang tujuh tahun Sura tempati akan dijual. Gadis kecil itu menghela napas, tidak terbayang dengan cara ini Tuhan memisahkan.

Ia jadi orang terakhir yang turun dari mobil, rumah masih ramai dengan sanak saudara yang akan menginap tujuh hari ke depan. Beberapa sepupu yang seumuran dengan Sura terlihat berlarian, saling mengejar dengan riang.

Ratna, adik dari bunda menghampiri Sura yang duduk di kursi rotan di pelataran. Mengusap rambut hitam legam yang terurai sepanjang punggung.

"Sura, makan dulu, yuk," ajak Ratna.

Sura menatap tantenya yang duduk di sampingnya, mata bulatnya mengerjap, "Tante bisa buat omelet keju mirip punya, Bunda?"

Melihat Ratna yang terdiam, Sura kembali berkata, "Gak harus sama, kok, Te, yang penting omelet keju."

Ratna tersenyum tipis, mengelus rambut hitam Sura, lalu mengangguk, "Ayo, kita buat sama-sama, ya?"

Sura mengangguk. Turun dari kursi, kemudian menggenggam tangan Ratna dan melangkah bersama ke dalam rumah. Ia melihat bagaimana Ratna membuat omelet keju, persis seperti cara bunda.

Mata jernihnya memperhatikan dengan benar, menyimpan dalam otak, agar nanti jika Sura ingin omelet keju, tidak perlu merepotkan orang lain untuk sekedar membuatkan.

Terlanjur mengatakan pada diri sendiri untuk jadi perempuan mandiri karena hari ini dan kedepannya tidak bisa seperti biasanya.

Setelah 15 menit menunggu, Ratna meletakkan sepiring omelet keju di hadapan Sura. Membuat gadis kecil itu tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

Sambil memberikan sendok, Ratna mengelus bahunya, "Sura harus makan walaupun sedang sedih, ya, Sayang?"

Sura mengangguk, mulai menyuapkan potongan-potongan omelet ke dalam mulut mungilnya.

"Tante tinggal panggil Raden dulu, ya?" Sura mengangguk, membiarkan Ratna memanggil anaknya.

Bocah laki-laki yang tadi berlarian di halaman dengan Bima, anak dari kakak ayah.

Mengisi perut dalam diam, suasana rumah yang begitu ramai tapi tetap buat Sura merasa kesepian. Setelah selesai, kaki pendeknya menapak pada lantai, berjalan ke dapur dan menaruh piring kotor ke dalam wastafel.

Ia melangkah ke depan, bergabung dengan sanak saudara di ruang tamu, sebelum Sura duduk bersila di antara Raden dan Bima. Bocah laki-laki itu menoleh, menatapnya dengan mata kasihan.

Jenis tatapan yang akan biasa ia dapat, nanti.

Tangan mungil Raden terangkat, menepuk kepalanya pelan lalu berkata, "Sura gak boleh sedih, Sura masih punya Raden."

Senyuman hadir di bibir Sura, bocah itu mengangguk, "Iya, Sura gak akan sedih, masih ada Raden," katanya walau mata jelas memperlihatkan dusta.

Raden terlihat sibuk merogoh saku celana, begitu kesulitan hingga perlu meluruskan kaki. Seuntai kalung berbandul bulan sabit, terayun di depan wajah Sura sebelum berpindah ke tangannya.

"Ini buat Sura, Raden kemarin beli waktu liburan ke Museum Astronomi." Darisana mengalirlah cerita Raden tentang semua benda langit yang bocah itu ketahui dan kagumi.

Sura mendengarkan dengan seksama, memberikan Raden semua atensinya. Membiarkan rasa hampa karena kehilangan, terlupakan walau hanya sementara.

Karena ketika matahari sudah menghilang, rumah lebih lengang. Beberapa saudara yang rumahnya dekat, memilih pulang,termasuk Bima sekeluarga.

Sura duduk di sofa ruang keluarga, memperhatikan Raden yang begitu fokus menonton film kartun dengan tokoh berwarna kuning berteman dengan bintang laut merah muda.

Kakek mengobrol dengan suami Ratna di meja makan, disaat nenek dan tantenya menyiapkan makan malam.

Sura mengayun-ayunkan kaki, membiarkan tumit membentur kaki sofa hingga menimbulkan suara berisik. Raden yang duduk bersila di atas karper, menoleh dengan wajah kesal.

"Sura jangan gitu, aku lagi serius nonton film," omel Raden sebelum kembali dengan si kuning.

Sura memberhentikan gerakan kaki, menatap punggung Raden dengan wajah menyesal, "Maaf," katanya begitu lirih.

Kepalanya menunduk, memainkan jari-jari yang bertautan di atas pangkuan. Hingga sepasang tangan yang sama mungilnya menggenggam miliknya.

"Sura, maaf, ya? Raden gak marah, kok. Sura jangan sedih," kata Raden, berlutut di depannya.

Sura menegakkan kepala, balas menatap sepupunya, lalu tersenyum manis hingga lesung pipit terlihat, "Sura gak sedih, kok. Raden jangan minta maaf, kamu gak salah," katanya.

"Sura, Raden, sini, Nak. Makan dulu," panggil Ratna.

"Iya, Ma!" teriak Raden sebelum berlari, meninggalkan Sura yang memilih berjalan santai.

Sura duduk di atas kursi, matanya memandang pada setiap orang di meja makan. Sedih kembali menyapa, tapi segera ia samarkan dengan senyum. Biasanya ada ayah, bunda di kiri dan kanan, sekarang terlihat penuh saat ada yang hilang.

Ia tersenyum, menanggapi bibir cerewet Raden, menceritakan semua hal menarik di dalam kepala bocah itu. Melihat bagaimana Ratna dan Ajie, merespon putra mereka.

Kakek dan nenek pun dibuat bahagia. Terlihat jelas sekali binar dimata keduanya, seperti mendapat obat setelah kehilangan. Mereka yang seharusnya bersantai dan bermain dengn para cucu, malah harus merawatnya.

Sura menyantap hidangan hingga piring kembali bersih, meminum segelas susu sebelum kembali ke ruang keluarga bersama Raden. Bocah laki-laki itu sudah kembali fokus melihat semua tingkah lucu sepasang sahabat itu.

Punggung kecil bersandar pada sofa, kepalanya mendongak, memperhatikan lampu gantung kesukaan bunda. Tidak menyangka bahwa dalam waktu segera, Sura tidak bisa lagi menempati rumah ini.

Ketika malam semakin larut dan Raden sudah digendong sang ayah masuk kamar karena ketiduran, Ratna mengantar Sura masuk ke kamarnya.

Ruangan yang didominasi warna kuning telur dan putih, begitu ceria dan menyenangkan, tapi sekarang begitu menganggu matanya.

Ratna membiarkan Sura berbaring sebelum keluar dan menutup pintu. Belum datang rasa kantuk, ia hanya memandang langit-langit kamar. Biasanya ada kecupan dari bunda ketika ayah harus lembur atau tidur dalam pelukkan dari ayah ketika bunda sedang sakit.

Sura merubah posisi jadi berbaring miring, melipat tangannya ke bawah kepala, menjadikan bantalan. Semua ingatan yang sekarang sebatas kenangan, datang bersamaan dengan air mata yang lagi-lagi tumpah.

Ia tetap gadis kecil. Sekuat apapun menahan kesedihan, Sura tetaplah anak yang ditinggalkan orangtua tanpa kata pamit.

Menangis dalam diam, mengigit bibirnya agar tidak keluar suara, hingga tanpa sadar Sura jatuh dalam ruang mimpi, begitu lelap dengan pipi basah.

...

Tubuhnya terangkat sebelum duduk di pangkuan ayah dengan sebuah donat di tangan kanan.

"Sura, Sayang."

Bocah berkuncir dua itu mendongak, menatap sang ayah dengan binar kagum di matanya.

Sambil mengelus kepala putrinya, ayah berkata, "Kamu harus tumbuh jadi perempuan hebat, punya pendidikan tinggi dam banyak pengalaman."

"Kamu tumbuh pada masa dimana, jika pendidikan perempuan rendah, maka para laki-laki akan memperlakukan kamu, seenaknya."

Sura mendengarkan setiap nasehat, menyimpan dalam ingatnya, juga jadikan motivasi di kehidupan masa depan.

Ayah menunduk, menatap putrinya penuh cinta, "Jangan ragu jadi pemimpin, saat banyak orang meragukan kemampuan kamu. Percaya dengan dirimu sendiri, ketika orang lain meremehkan."

Sura mengangguk, menandakan ia paham.

Bunda datang dengan segelas susu cokelat, "Tapi tetap jadi orang baik, adil dan jujur, ya, Nak?" katanya setelah duduk di samping ayah, mengambil donat di tangan Sura dan menggantinya dengan segelas susu.

"Sura mau jadi bos!" serunya bersemangat, membuat kedua orangtuanya tertawa.

Mereka menatap bangga, "Jangan ragu jadi pemimpin untuk keadailan," kata bunda yang dibalas dengan senyuman lebar nan manis milik Sura.

...