Hari terakhir jadi sekretaris dan esok ia akan mulai jadi seorang pimpinan. Senyumnya begitu lebar, dengan ramah menanggapi karyawan yang menyapa. Dua bulan lalu, Sura mendapatkan gedung yang diinginkan, tiga lantai.
Butuh waktu sebulan untuk renovasi, mengubah lantai pertama jadi kafetaria modern, teman-teman bagian agensi modeling sudah mulai mendapatkan murid.
Kebanyakan pengurus EO merupakan sahabatnya saat kuliah, orang-orang berpengalaman mengenai acara. Minggu kemarin, Sura menghadiri sidang terakhir kasus pelecehan dan penyelewengan dana perusahaan.
Raden bilang, pipinya jadi lebih tirus, sekitar mata juga jadi lebih gelap. Sura menghela napas sebelum mengangkat kotak karton berisi barang-barang selama bekerja dengan Kani.
Merayakan berhentinya kerja seorang Suraduhita, Raden dan Bima kompak menjemputnya. Ia duduk di kursi penumpang, meletakkan kotak di sampingnya.
Bima menoleh ke belakang. "Hai, Bu Bos."
Sura memberikan senyum manis, begitu serasi dengan setelah jas berwarna kuning telur. Benar-benar menyilaukan mata, apalagi ketika ia menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kiri, memamerkan sepatu kesayangan.
"Mau makan dimana?" tanya Raden yang memegang kemudi.
Sambil merapikan rambut sebahu yang segaja digerai, Sura mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangannya berpegang pada sandaran kursi yang diduduki Raden dan Bima.
"Kalau di tempat gue kebanyakan roti, pengen nasi ke tempat lo aja, Bim," kata Sura.
Bima menoleh dengan wajah masam. "Lo udah punya perusahaan sendiri loh, Ra. Makan masih cari gratisan? Heh?"
Sura menyengir, pipinya ditangkup dengan tangan kiri Raden. Laki-laki itu dibuat gemas dengan tingkah sepupunya.
"Makan yang banyak, Ra. Biar pipi lo gembul lagi, gak bisa di unyel-unyel kalau tirus gini," protes Raden.
Ia menyingkirkan tangan Raden dari wajahnya, menyandarkan kepala di punggung kursi. "Bulan ini kerjaan masih longgar, tim lagi gencar-gencarnya promosi dan cari donatur."
"Kenapa gak minta tolong, Kakek?" Pertanyaan Bima membuat keduanya menoleh cepat, tapi buru-buru Sura memutar kepala Raden agar fokus dengan jalanan saja.
"Minta tolong apa?"
Bima mengernyit bingung. "Loh, kalian gak tau kalau Kakek punya saham dimana-mana?"
"SERIUS?!" Bima mengangguk.
Sedikit menjauh, antisipasi jika Sita berteriak lagi.
"Tapi bisnis tetap bisnis, Ra, jangan karena keluarga jadi seenaknya."
Apa sebab ini uang dari penjualan rumah mendiang orangtuanya tidak berkurang hingga 16 tahun lamanya?
Akhirnya, Raden lebih memilih makan di restoran cepat saji. Sura baru kembali dari cuci tangan ketika Bima datang dengan nampan.
Raden membantu menurunkan makanan. "Nih." Bima mengembalikan kartu debit miliknya.
"Gue besok ada pertemuan sama klien, abis itu sama calon investor."
"Jangan galak-galak, Ra," ucap Raden.
Sura mengedikkan bahu. "Kalau dia kurang ajar, ya, gue tendang," ujarnya begitu santai.
Ia tidak suka diremehkan. Kehebatan dan jabatan bukan hanya untuk si jantan. Sura memisahkan kulit ayam, menyisihkan di tepian piring.
"Buat gue ya, Ra?" Tangan Raden sudah terulur, tapi dengan cepat ia pukul.
Sura menatap tajam. "Punya gue," tekannya.
Dua sepupunya itu tertawa senang, bahagia jika berhasil buat Sura kesal. Kembali melanjutkan makan dengan tenang, sebelum pulang, perusahaannya jadi tujuan.
Ia mempimpin, seakan berjalan dengan pengawal. Lantai pertama ramai dengan para remaja, cahaya ruangan yang hangat dan pemilihan interior kebanyakan dari bahan kayu, menambah kesan kekinian yang dicintai anak muda.
Beberapa pegawai yang berpapasan menyapa yang dibalas dengan senyum ramah. Sura membawa Raden dan Bima ke ruangannya di lantai tiga.
Menyapa beberapa temannya yang masih banyak yang bekerja, berkelompok, mendiskusikan sesuatu. Sura membukakan pintu ruangannya mempersilakan sepupunya untuk masuk.
"Kalian tunggu di sini aja, ya. Kalau mau makan turun ke bawah." Sura berlalu, bergabung dengan tim EO.
Ia berdiri di belakang Rama, tangannya bertumpu pada sandaran kursi. "Ada kendala?"
Rama memutar kursi, membiarkan Sura duduk di kursi sebelah. Langsung berhadapan dengan kertas-kertas untuk kelangsungan event pertama mereka minggu depan.
Ekspresinya begitu serius hingga alisnya mengkerut. Meneliti setiap permintaan dan konsep yang diinginkan.
"Vendor udah deal semua, kan?"
"Udah."
Sura menegakkan kepala. "Mereka sengaja kasih uang lebih?"
Rama mengiyakan. "Iya, kata Pak Kanigara bonus."
Ia terdiam, lalu tersenyum tipis. Laki-laki itu menepati ucapannya sendiri. Acara yang diadakan merupakan perayaan ulang tahun perusahaan, diselenggarakan di salah satu panti asuhan.
"Persiapannya udah berapa persen?"
"85%, Bu. H-3 kita pasang tenda dan menata meja."
Sura mengangguk paham. "Pastikan aman untuk anak kecil, ya?"
"Baik, Bu."
Ia beranjak. "Waktu pemasangan tenda, saya ikut ya," katanya sebelum berlalu ke ruangannya.
Mengetahui ruangannya kosong, Sura memilih turun ke lantai dua terlebih dahulu sebelum menyusul dua saudaranya yang pasti menikmati kudapan di lantai satu.
Lantai ini terdiri dari tiga ruangan. Yang paling besar adalah tempat latihan berdinding cermin, yang terdapat tempat ganti di dalamnya. Ketika lift terbuka, ia langsung disambut karyawan di meja kerja.
"Selamat sore, semuanya."
"Sore, Bu."
Sura melangkah lurus, ke ruang latihan, seorang karyawati langsung mengekor. 20 orang terdiam sebentar sebelum menghadapnya dan membungkuk.
Ia tersenyum sambil mengangguk, mengisyaratkan untuk kembali berlatih. Kebanyakan dari mereka merupakan remaja di bangku SMA yang timnya datangi.
"Apa ada pentas modeling dalam waktu dekat?"
"Dalam waktu tiga bulan, Bu, ada designer lokal yang akan mengadakan pameran."
"Jangan sampai lepas."
Setelah karyawati mengangguk, Sura berbalik, keluar dari ruangan. Tersenyum kearah mereka yang menyapa sebelum pintu lift tertutup.
Ia menghampiri dua sepupunya, bahkan piring-piring di meja sudah bersih. Sura menggeleng pelan, menepuk bahu Raden.
"Ayo pulang," katanya.
"Sekarang?" Sura mengangguk.
Mereka pulang, dengan senyum senang karena perut kenyang apalagi ia yang bayar.
"Besok gue kalau cari makanan ke kantor lo aja ya, Ra?" Gadis itu memukul kepala Bima.
"Gue tutup pintunya buat lo," katanya ketus.
"Lewat pintu belakang," sahut Bima.
Sura mendecak pelan, memilih diam memainkan ponsel. Lebih baik daripada meladeni Bima yang jelas-jelas memancing emosi.
"Katanya lo udah ada yang lamar, Ra?" tanya Raden.
Gadis itu menyimpan ponsel, masih mencerna pertanyaan. "Lamaran kerja banyak, Den," jawab Sura membuat tawa dua laki-laki itu pecah.
"Nikah, Ra," timpal Bima.
"Ngawur!" seru Sura.
"Lima tahun lagi," lanjutnya.
"Loh, yang ngelamar kemarin lo suruh nunggu lima tahun lagi?" Sura mendecak kesal mendengar pertanyaan dari mulut Bima.
"Siapa yang dilamar, sih?" sambil melipat tangan di depan dada, "gue masih mau ngurusin masa depan karyawan, jadi perusahaan EO yang sukses dan dipakai buat acara-acara besar," lanjuta Sura, benar-benar serius.
Raden mendeham pelan. "Itu rencana lo, Ra. Waktu itu juga pernah bilang kalau lo akan bangun perusahaan tiga tahun lagi, tapi nyatanya tiga bulan." Laki-laki itu melirik Sura dari cermin atas.
"Sekarang lo rencana nikah lima tahun lagi, siapa yang tau Tuhan nentuin lima minggu lagi?"
Gadis itu mendesah pelan, tidak suka dengan topik obrolan yang dibahas. Bima menoleh ke belakang, membuat laki-laki itu mendapat lirikan tajam.
"Lo udah jadi pemimpin, Ra. Tentunya lo butuh keturunan buat jadi penerus."
Dia benar-benar marah.
"Belum waktunya mikirin penerus, Bim. Yang harua gue pikirin adalah cara agar perusahaan gue bisa diwariskan dan sanggup bertahan sampai anak gue siap."
"Gue masih 23 tahun, jalan takdir dari Tuhan masih panjang dan masih banyak yang harus gue lakuin biar orang-orang yang udah kasih kepercayaan sama gue, bisa dapet imbalan yang pantas."
Belum selesai, Sura kembali berkata, "Gue bangun usaha atas dasar kemanusiaan dan kepercayaan. Keuntungan yang gue dapet juga dari mereka dan untuk mereka. Gue perempuan, gue pemimpin dan gue bangga akan itu."
...