Tidak seperti hari biasa, dirinya yang biasanya berbalut baju casual, sekarang mengenakan gaun sepanjang mata kaki. Berjalan dengan anggun, membuatnya mudah di temukan di antara kerumunan berkat warna kuning telur kesayangannya.
Setelah dua hari merayakan di panti asuhan, dan kemarin memberikan potongan harga untuk semua produk di kafetaria.
Rambut sepunggung yang digerai, Aini tadi menghampiri untuk menyelipkan jepitan rambut di atas telinga kiri. Melihat dari kepala lalu kebawah, kesan anggun akan hilang karena converse nyentrik terpasang dikakinya.
Sura memastikan perayaan ini tidak ada alkohol karena mereka akan tetap bekerja esok hari. Bukannya tidak ingin memberi hari libur, tapi permintaan jasa yang semakin banyak, membuat karyawan juga bertambah. Vendor dimana-mana harus siap, karena bisa saja setiap hari ada orang-orang yang membutuhkan mereka.
"Sura!" Ia menoleh, mendapati Raden berlari dengan dramatis ke arahnya.
Memeluk begitu erat dan memutar tubuh mereka. "Den, berhenti, Den!"
Mereka jelas jadi perhatian. Raden menurunkan Sura, memamerkan gigi tanpa merasa bersalah.
Belum puas dengan aksi yang membuatnya pusing, Raden menangkup wajah Sura, terlihat sekali gemasnya.
"Asteria udah lima taun, lo udah 28 kapan nikah, Ra?"
Sura menghempaskan tangan Raden dari wajahnya. Menatap dengan mata kesal juga malas, ia memlih melenggang pergi. Menepi dari tengah ruangan, mengambil sepiring kudapan manis sebelum duduk.
Sepupunya tetap saja mengekor, hampir kepala tiga tapi tetap saja menyukai wajah kesal Sura.
"Lo harus mulai pikirin penerus sekarang. Keuangan perusahaan lo terus naik, kan? Bahkan lo udah beli gedung lagi."
Sura memilih diam, menikmati kudapan dan mendengarkan musik yang dimainkan band-band lokal yang sering dipakai untuk EO.
Hingga lagu dari Bruno Mars, Just the Way you are dimainkan. Membuat karyawannya berseru senang juga bertanya-tanya.
Raden berdiri dari duduknya. "SIAPA YANG LAMARAN, NIH?!"
Sura ikut berdiri, meletakkan piring di atas kursi tempatnya tadi duduk, sedikit berjinjit karena penasaran, membuktikan apa benar-benar ada yang sedang melamar. Memanjangkan leher, ketika sorakkan semakin keras. Mau bagaimana lagi, karyawan laki-laki memang lebih tinggi darinya yang hanya 160.
Raden meliriknya, terkekeh kecil melihat sepupu kesayangan didera rasa penasaran. "Kalau lo dilamar, terima atau tolak?"
"Tergantung orangnya siapa."
"Kanigara?" Sura menoleh, menatap tajam. Tumitnya turun, sudah tidak tertarik dengan sorak di tengah sana.
"Suraduhita Sranti."
Namanya menggema keseluruh ruangan. Membuat mereka mendadak hening, termasuk pemilik nama yang mematung. Menatap Raden yang menahan tawa saat ia meminta penjelasan lewat matanya.
"Siapa, Den? Heh?" bisiknya sambil menggerakkan tangan Raden, memaksa untuk menjawab yang hanya dibalas tawa.
Baru kali ini Sura merasa menyesal menggunakan warna kesukaannya. Warna mencolok membuatnya mudah ditemukan diantara kerumunan yang kebanyakan memakai pakaian berwarna gelap.
Perlahan, ia menyembunyikan diri di belakang punggung lebar Raden. Sepertinya percuma karena karyawan menyingkir, memberikan jalan agar seseorang yang menyerukan namanya menemukan Sura.
"Nyesel gue pakai warna ini," gumamnya membuat Raden tertawa pelan. Tidak bisa berpindah karena Sura mencengkram lengan begitu erat.
Tangan kanannya ditarik dengan lembut oleh seseorang yang dua tahun ini dekat, namun Sura selalu menolak. Kanigara sudah tiga kali melamarnya, tapi terlalu sulit bilang 'ya'.
Membawanya ke tengah ruangan, dilihat ratusan mata. "Sura, ini ke empat kalinya," kata Kani membuat mereka berseru tidak percaya.
"Saya gak tau alasan apalagi kalau kali ini juga penolakan." Sura menundukkan kepala, menyembunyikan wajah dengan rambutnya.
Ini memalukan, ia sungguh tidak menyukai situasi yang harus menghadapkan dengan pilihan yang tidak ia pikirkan. Lebih baik bertemu dengan klien yang rewel dan punya banyak keinginan.
Tidak punya pengalaman apapun dalam percintaan, Sura terlalu fokus dengan semua rencana membangun mimpinya, mewujudkan jadi sosok pemimpin, yang sekarang sudah dimilikinya.
"Saya tau kalau kamu gak suka cara seperti ini." Kani menggengam tangannya, membawanya keluar dari lingkaran manusia, menjauhi keramaian.
Membawa Sura ke belakang kantor yang sudah diubah jadi taman hijau. Tempat favorit para karyawan saat suntuk mengerjakan tugas di dalam ruangan.
Ia melepaskan tangannya, berjalan lebih dulu, membiarkan Kani mengikuti. "Waktu remaja, saya terlalu sibuk belajar tentang bisnis. Di masa kuliah sibuk dengan organisasi dan tugas sebagai mahasiswa." Sura memutar tubuh, memandang Kani dua meter di depannya.
"Dua hari setelah lulus, saya kerja sama kamu."
"Dan bangun perusahaan kamu," sahut Kani.
Sura mengangguk setuju. "Saya pikir kita ini rekan bisnis," katanya buat Kani tertawa kecil.
"Astaga, Ra. Kamu gak sadar kalau dua tahun terakhir saya tertarik sama kamu sebagai perempuan, bukan rekan bisnis." Kani melangkah mendekat.
Ia yakin, Raden sedang menertawakan kepayahannya dalam asmara. Tidak punya pengalaman, dan Sura setuju.
Lima tahun kenal dengan Kanu yang benar-benar memperlakukannya begitu istimewa di dua tahun terakhir.
"Ra, saya serius sama kamu, bukan lagi hubungan sebatas pacaran, saya menawarkan pernikahan."
Merinding rasanya.
Sura mengerti watak Kanu yang tidak pernah main-main, dia tipe laki-laki serius dan teguh pada prinsip, sosok penyayang juga perhatian.
Lelaki dambaan.
Ia menggerakkan kakinya, gelisah. Tidak paham dengan perasaan yang dimiliki. Menundukkan kepalanya sebentar sebelum menatap Kani, tepat di mata.
"Bisa kosongkan waktu untuk besok? Menemaniku jalan-jalan seharian?"
Jika itu satu-satunya jalan untuk Sura mengerti perasaannya sendiri, Kani mengangguk mengiyakan.
...
Pagi itu, jam delapan, Kani datang menjemput. Memakai celana jin hitam dipadukan kaos kebesaran dengan warna cerah favoritnya, Sura masuk ke mobil dan meletakkan tas di atas dashboard.
Canggung.
Kani terlihat tampan dengan busana santai, sebatas hoodie berwarna maroon dipadukan celana hitam.
Astaga, apa jantungnya berdebar tidak normal?
"Kita pergi kemana?" tanya Kani.
Kita? entah kenapa Sura suka kata itu.
"Aku gak tau."
"Bioskop? Hari ini ada film bagus."
Sura mengangguk setuju, tapi kau tidak tau jika yang dimaksud film bagus oleh Kani adalah Titus.
Si tikus itu.
Satu jam lebih di dalam bioskop, ketika film selesai, Sura mengajak Kani untuk mampir ke Gramedia. Ingat, dulu waktu masih di bangku SMA paling tidak sebulan sekali pergi kw sini.
Kani tidak protes saat Sura begitu fokus membaca sinopsis di sampul belakang, bahkan laki-laki itu terus mengekor. Sesekali melihat buku yang sampulnya menarik perhatian.
Sura berdiri di depan rak buku best seller, mengambil satu untuk dibaca sinopsisinya. Kani berdiri di belakang, meletakkan dagu di atas bahunya. Ia menahan napas sebentar, ini membuatnya gugup tapi mencoba bersikap biasa saja.
Sudah 9 tahun lalu umur belasan, tapi rasanya ia lebih payah dari para remaja tentang hal-hal romantis.
Satu jam adalah waktu yang dibutuhkan Sura hanya untuk tiga judul buku. Kani membawanya ke kasir, tidak memperbolehkan Sura membayar dengan uang sendiri.
Intinya, seharian dengan Kani, walau hanya ke tempat sederhana, tapi meninggalkan kesan menyenangkan untuknya.
Hingga tugas matahari digantikan bulan, mereka duduk berhadapan menikmati makan malam. Tidak ada lagi kesan kaku ataupun rasa canggung, mereka benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih.
Ketika Kani menelan tegukan terakhir, Sura berkata, "Datang ke rumah dan bilang ke kakek kalau kamu mau melamarku."
Laki-laki itu terdiam, menatap dengan wajah tak percaya, lalu mendeham pelan, menetralkan perasaan senang yang begitu besar.
"Sebenarnya aku udah datang lima tahun lalu."
Oke, sekarang Sura yang terkejut.
Jadi, Bima tidak berbohong tentang ia yanh sudah dilamar?
Astaga, sudah selama ini Kanigara menunggu kata 'ya' dari mulutnya?
...