Sudah seminggu sejak mereka jalan berdua waktu itu, tapi tidak ada komunikasi lebih lanjut. Kani seperti menghilang dan Sura memilih menyibukan diri.
Laki-laki itu tidak datang, tapi tidak ada yang perlu disesalkan walau ada rasa mengganjal dan tidak nyaman di dalam dirinya.
Sura menghela napas, memijat pelipisnya. Pekerjaan semakin banyak, tanggal kalender banyak dilingkari. Perusahaan semakin besar, banyak yang mengajukan kerjasama sebagai vendor ataupun menawarkan menanam investasi.
Ia tidak punya hari libur, jam kerjanya juga fleksibel. Pekerjaan yang mengandalkan acara, tidak mungkin memberlakukan hari libur.
Merasa tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, Sura pamit pulang. Beberapa hari terakhir, jadwal tidurnya kurang dari tiga jam, makan sesukanya, kerja seterusnya.
Mereka menatapnya khawatir, tidak pernah melihatnya dalam keadaan seperti ini. Sura mengendarai mobilnya, begitu fokus agar tujuannya tidak berubah.
Jalanan ramai lancar, membuatnya hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai rumah. Ada mobil asing di halaman rumah kakek, Sura tidak peduli mungkin tamu kakek.
Kepalanya terasa berat, penglihatannya sedikit berkurang ketika sampai di depan pintu. Sura membuka, membuat orang-orang di ruang tamu memberikan atensi padanya.
Kani dan orangtuanya.
Laki-laki itu berdiri, hendak menghampiri, tapi Sura lebih dulu ambruk ke lantai. Rumah itu riuh, jeritan dari ibu Kani dan nenek.
...
Ketika membuka mata, langit sudah gelap di lihat dari jendela, tapi bukan kamarnya, tapi ruang rawat inap. Semua orang yang tadi di rumah, masih setia hingga Sura sadar.
"Sura?" panggil nenek yang duduk di kursi samping ranjang.
"Kata dokter, aku sakit apa?" tanyanya sambil memijat pelipis yang sedikit pening.
"Tipus."
Sura menghela napas, yakin sekali akan absen dari kantor hingga seminggu. Ia menoleh, mendapati Kani di sisi ranjangnya yang lain.
Bahkan dia masih memakai kemeja batik, walau rambut tidak serapi tadi.
"Maaf, ya?"
Sura mengerutkan kening. "Kenapa minta maaf?" tanyanya.
"Tiba-tiba ilang seminggu," jawab Kani.
Perempuan itu tertawa pelan lalu menggelengkan kepala. "Gapapa, Ka. Aku sakit karena beberapa hari terakhir kerjaan hectic banget, banyak tinjau lokasi."
Tangan kanan Kani terangkat, mengusap kepalanya, memandang dengan mata khawatir dan itu buat Sura merasa dicintai.
"Maaf juga, baru sempat datang untuk lamaran resmi hari ini." Perkataan Kani membuat Sura menoleh kecil ke orangtua laki-laki di sebelahnya.
Mereka duduk di sofa, tersenyum ramah, meningatkan tatapan ayah dan bunda.
"Lamarannya diterima gak, Ra?" tanya kakek, lebih tepatnya menggoda cucunya yang tidak pernah mengenalkan kekasih.
Definisi jomblo dari lahir.
"Emang udah dilamar?" Sura balik bertanya.
Mereka tertawa. "Tadi siang mau telepon kamu, suruh pulang. Eh, ternyata udah di depan pintu, baru mau ditanya, malah tumbang," jelas nenek.
Bibir pucatnya tertawa kecil, kembali menatap Kani yang tidak mengalihkan pandangan. Ini membuat Sura salah tingkah, perempuan yang hampir di kepala tiga walau terlihat masih di pertengahan 20 itu menggenggam lengan Kani erat.
"Kenapa liatnya gitu, sih?" gumamnya.
Kani tertawa kecil, gemas dengan tingkahnya. "Emang kenapa?"
Sura mendecak pelan. "Kalau udah gini nikahnya bulan depan aja, ya?" tanya perempuan di usia 50-an.
Membuatnya tersenyum malu. "Mau pakai EO sendiri atau WO aja?" Papa Kani ikut menggoda.
Perempuan itu tertawa malu, menutup wajahnya dengan tangan yang bebas dari selang infus.
Tawa mereka pecah melihat wajah pucat itu sedikit berwarna. "Hei," panggil Kani sambil mencolek lengannya.
Sura bingung, hendak membelakangi Kani berarti menghadap ke arah para orangtua. Alhasil, ia berbaring telentang, menurunkan tangan dan menatap langit-langit kamar, paham kalau masih diperhatikan.
"Ra." Sura melirik Kani, yang kini berubah serius.
"Kamu mau, kan, jadi pengantin saya? Jadi ibu untuk anak-anak saya? berdua bareng saya sampai kita gak bisa lagi sama-sama?"
Ini manis sekali.
Kani menggengam tangan Sura, menatap dengan sungguh-sungguh. "Mau kan, setiap buka mata liatnya muka saya? tidur pun liat saya lagi. Setiap hari liat saya, mau, kan, Ra?"
Astaga, Sura tidak bisa menahan air mata yang tiba-tiba ingin keluar. Matanya basah, berkedip sekali saja akan jatuh.
"Saya gak bisa kasih janji buat perempuan seperti kamu, yang udah begitu tangguh hadapi semua realita, tapi, Ra, kamu mau janji terus bareng-bareng sama saya, kan?"
Pipinya basah tanpa bisa berpikir untuk menjawab. Sura tau jawabannya, tapi bingung cara mengatakannya.
Ketika ruangan begitu hening dan hanya diisi isak tangisnya, Kani menunggu jawaban perempuan yang sudah dibuat menangis bahagia.
Sura mengangguk, tanpa ragu memberikan sisa usia untuk dihabiskan bersama Kani. Laki-laki yang lima tahun didekatnya, memberikan perhatian istimewa yang tidak pernah didapatkan sebagai perempuan.
Kani menutup mulutnya, menahan diri agar tidak bersorak, terlihat tidak percaya dengan jawaban yang dilihat. Mereka mengucap syukur, begitu haru walau harus di terlaksana saat Sura berbaring di ranjang rumah sakit.
Ketika para orangtua berbincang, berbagi cerita juga ide tentang pernikahan yanh akan dibahas lebih lanjut, Kani duduk di tepi ranjang, tangan keduanya saling menggenggam. Saling curi pandang dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan.
"Cepat sembuh," kata Kani bersamaan dengan genggaman yang semakin erat.
...
Sepuluh hari dirawat, empat hari istirahat di rumah. Ini hari pertamanya mulai bekerja, istimewa diantar oleh calon suami.
Memikirkan itu sudah berhasil membuat wajah segarnya bersemu. Matanya melirik Kani yang fokus menyetir dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancung itu.
Jalanan lengang dan cuaca cerah, Sura bersenandung pelan, kembali mengalihkan atensi pada ponsel ditangan kiri.
Ketika mobil mulai memasuki area kantor dan turun ke parkiran, Kani berkata, "Jangan sibuk sampai lupa makan."
Sura memasukkan ponsel ke dalam tas, menatap Kani yang mencari tempat parkir kosong.
Laki-laki itu mematikan mesin, melepas sabuk pengaman mereka berdua, melepas kacamata sebelum balas menatapnya.
"Oke?" Sura mengangguk.
Berjalan beriringan naik ke lantai pertama. "Kamu ada kerjaan apa pagi-pagi?"
Sura menoleh, membiarkan tangan kokoh itu memeluk pinggangnya. "Sedikit longgar karena acara biasanya diadain di akhir pekan atau mungkin akhir bulan."
"Ke kafetaria dulu, ya?"
Setuju.
Ia menemani Kani, melangkah masuk kafetaria. Karyawan berseru, antara senang melihatnya lagi dan Kani yang memeluknya atau mungkin keduanya.
"BU BOS!" seru mereka yang menarik perhatian pelanggan.
Sura tertawa pelan menambah anggun gaun biru selututnya. Ia melangkah mendekat ke counter sambil meletakkan telunjuk di depan bibir, mengisyaratkan mereka untuk tenang.
"Ibu udah sembuh?" Ia mengangguk, membiarkan Kani memilih makanan dengan karyawan lain.
"Kapan sah, Bu?"
"Masih direncanakan," bisiknya.
"Kamu mau makan apa?" Kani berdiri dibelakangnya, Sura menoleh lalu menggeleng.
"Aku udah sarapan."
Kani menatap dalam. "Beneran?"
Sura tertawa kecil, menepuk pipi Kani yang terlihat sekali tidak percaya. "Beneran."
"Oke," katanya sambil membayar makanan yang dipesan.
"Nanti diantar aja, Bu," kata karyawan yanh buat Sura tertawa, tapi mengangguk saja.
Duduk berhadapan di sudut ruangan, Kani tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Sura.
Gadis converse.
Pesanan diletakkan atas meja. Ia hanya memandang Kani yang mulai menyantap sarapan.
"Itu apa?" tanyanya.
Kani menegakkan kepala. "Banana cheese cake. Mau?" Sambil mengulurkan sesendok kue.
Sura mengangguk, menerima suapan. "Enak?" Ia mengangguk lagi.
"Nih." Kani menyerahkan sendok padanya, paham jika perempuan itu butuh lebih dari sesendok.
Ia memamerkan gigi kelincinya, membuat Kani merasa gemas. Laki-laki itu memilih meminum segelas cokelat hangat, lalu memakan macaroon.
Menatap Sura yang dengan bahagia menghabiskan kue.
"Ra."
Perempuan itu menoleh. "Kenapa?"
"Terimakasih mau jadi cinta saya sampai tua."
Sura menggengam tangan Kani di atas meja.
"Terimakasih mau menjadi rumah saya."
...