Hari ini, Sura ikut turun ke lapangan. Menggunakan kaos oversized berwarna biru pastel yang panjang lengannya hingga siku, dipadukan dengan jins hitam dan sepatu nyentrik kesayangan.
"Bu."
Terasa aneh sebenarnya jika mereka memanggilnya 'Bu' padahal seumuran. Aini berdiri disampingnya memberikan Handy Talkie kepada Sura.
"Rama udah di belakang panggung?" Aini mengangguk.
Melihat anak-anak yang sudah duduk di kursi dengan wajah gembira, ia tersenyum manis. Menoleh pada perempuan yang lebih pendek darinya, Sura bertanya, "Pihak dari perusahaan berapa orang, Ni?"
"Sudah dikonfirmasi hanya sepuluh orang, Bu. Mereka akan sampai 15 menit lagi."
Sura mengangguk, ia memilih menepi di sudut ruangan yang berlawanan dengan pintu masuk. Ada sekitar sepuluh orang yang ikut ke panti, menggunakan kaos yang sama dengan punggung bertuliskan ASTERIA CREW.
Melihat punggung mereka, membuat Sura tersenyum lebar, memberi selamat pada dirinya sendiri karena Tuhan memberikan orang-orang tepat dalam hidupnya.
Pembawa acara susah menaiki panggung, membawa suasana menjadi hangat, membuat anak-anak tersenyum nyaman. Petinggi perusahaan masuk disambut tepuk tangan dan sorak.
"Bagian dokumentasi mana, ya?" tanyanya lewat HT.
"Maaf, Bu. Ini lagi di WC bentar."
Sura tidak bisa menahan tawa, apalagi ketika yang lain bersautan menanggapi. Ia mendeham pelan untuk menetralkan tawa sebelum berjalan ke belakang panggung menghampiri Rama.
HT dimasukan saku belakang celana, Sura memutuskan mengambil alih kamera untuk sementara. Ia mulai mengabadikan gambar, memotret wajah bahagia penghuni panti.
Acara awal sebenarnya membosankan karena diisi dengan sambutan, mau bagaimana lagi, susunan acara ditentukan perusahaan. Kani naik kw panggung, mengambil alis microphone dari pembawa acara.
Sura membidik gambar, lalu menunduk untuk melihat hasilnya. Alisnya mengernyit, kenapa Kani tersenyum kearahnya yang posisi ada di kanan depan panggung?
Ia mengedikkan bahu acuh, mungkin tersenyum pada kamera. Menyelipkan rambut ke belakang telinga, Sura kembali sibuk mengambil gambar sampai ada yang menepuk bahunya.
Janu sudah kembali dari kamar mandi, Sura terkekeh pelan ketika laki-laki itu menyengir, wajah itu terlihat konyol dimatanya. Menepuk bahu Janu sebelum bergabung dengan Rama di balik panggung.
Sura duduk di sebelah kanan, menyilangkan kaki kanan di atas kaki kiri. Rama menoleh lalu bertanya, "Janu udah balik dari WC?"
Pertanyaan itu buatnyaa kembali tertawa, lalu mengangguk. "Udah, kemarin sok-sokan ikut makan rujak, padahal gak bisa makan sambel," jelasnya masih disela tawa.
"Kata Bima, lo udah lamaran?"
Sura mendecak sebal, menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Gosip apa yang sudah disebarkan oleh Bima?
"Bima bilang apa aja sih, Ram?"
"Lo udah dilamar sama laki-laki mapan."
Bukannya tidak ingin menikah, tapi ia lebih memikirkan kelangsungan hidup karyawan daripada kehidupan asmaranya. Usahanya masih di awal, perlu banyak perjuangan untuk benar-benar dikenal dan dapat kepercayaan dari masyarakat.
"Gue lebih mikirin hidup kalian, nikah belakang aja, calon juga belum ada," kata Sura dengan nada bercanda.
Rama tertawa kecil, kembali fokus dengan pekerjaan, dengan alat-alat sound system yang tidak Sura pahami.
Ia tidak disana hingga acara berakhir karena ketika istirahat makan siang, Sura harus kembali ke perusahaan, bertemu dengan designer lokal yang rencananya akan menggunakan jasanya.
Pintu mobil terkunci, kakinya berlari kecil sambil memakai jas hitam agar lebih sopan. Sampai di lantai tiga, Aini menyambutnya, berjalan beriringan dengan langkah cepat.
"Bu Wulan udah lama?"
"Belum, Bu. Sekitar lima menit."
Sura mengangguk, merapikan rambut sebelum membuka pintu ruangannya. Membungkukkan badan lalu berjabat tangan, sebelum duduk di sofa tunggal.
Mendengarkan dengan seksama semua konsep dan detail acara yang diinginkan Wulan, sesekali Sura membenarkan kacamatanya. pertemuan berjalan dengan lancar dan cepat, pembawaannya yang santai tapi sungguh-sungguh meluluhkan sosok Wulan yang menatap Sura dengan mata seorang ibu.
Bahkan ketika Sura mengantar hingga ke pintu keluar, Wulan memeluknya lebih dahulu dengan senyum lebar.
Setelah mobil tidak terlihat, ia menatap Aini. "Pastiin nanti rapat sama tim, semua detail lo sebutin, ya, Ni."
Perempuan itu mengangguk. Sura kembali masuk, bukan ke lantai atas tapi mampir ke kafetaria. Berdiri di depan kasir yang tersenyum lebar menatapnya.
"Siang, Bu."
"Siang, Abel," sapa Sura.
Matanya menyusuri menu yang terpasang di belakang sisi atas meja counter. Sedikit menyipit, membuatnya berpikir untuk pergi ke optik.
"Ice Americano, empat shot aja, sama cheesecake."
"Atas nama?" tanya Abel bermaksud bercanda.
Sura tertawa kecil. "Terserah kamu, Bel. Saya di meja dekat jendela, ya?"
"Baik, Bu."
Kaki jenjangnya melangkah, melewat setiap meja yang dipenuhi remaja. Beberapa melirik ke arahnya, entah apa yang menarik perhatian mereka.
Begitu duduk, Sura melepas jasnya, mengucir rambutnya tinggi-tinggi. Mengeluarkan ponsel dari saku, membuatnya sadar jika HT masih di saku dan diletakan atas meja.
Sura melepaskan kacamata sebentar, hanya untuk memijat pangkal hidung yang terasa pegal, kemudian dipakainya kembali. Menenggelamkan diri dalam setiap pesan di ponsel, terutama e-mail atau pesan whatsapp.
Sangat fokus sebelum atensinya terganggu oleh remaja laki-laki yang duduk di hadapannya tanpa permisi.
"Emang suka nongkrong di sini, ya?" Sura menegakkan kepala, satu alisnya terangkat, jelas sekali merasa terganggu.
"Kamu ngomong sama saya?" Remaja itu mengangguk, lalu mengulurkan tangan.
"Aku Juna, kamu siapa?" Meski enggan, Sura membalas uluran karena perihal kesopanan.
"Sura." Junaa mengangguk, melipat kedua tangan di atas meja. Memperhatikanya yang memilih kembali pada pekerjaan.
Namun rasa penasaran membuatnya terdorong untuk bertanya. Sura meletakkan ponsel di atas meja, menyangga dagu dengan tangan kirinya, balas menatap Juna.
"Kamu umur berapa, Juna?"
"18 tahun. Kamu?"
Tidak menjawab, Sura lebih memilih kembali bertanya. "Kelas 12, ya?" Juna mengangguk.
"Umur kamu berapa?"
Sura mundur, bersandar pada punggung kursi, wajahnya terkena sinar matahari. "Saya 23 tahun."
Juna melebarkan mata, terkejut dan tidak percaya. Mencondongkan tubuh menjadi lebih dekat dengan meja. "Serius?"
Ia mengangguk. "Saya udah kerja, Jun. Kamu juga ngapain ke meja saya?"
Mata cokelat yang semakin terlihat indah karena cahaya matahari, menatap begitu lekat. Juna mendeham pelan, lalu menjawab, "Aku pikir kamu kesepian."
Jawaban yang membuat Sura terbahak. "Lagi istirahat, Jun. Temen-temen saya lagi di lapangan, gak di kantor," ujarnya.
"Kamu kerja di Cafe ini?" Sura menggeleng, membuat Juna mengernyit bingung.
"Tapi kenapa baju bagian punggung ada tulisan ASTERIA CREW?"
Sura mendeham pelan sebelum menegakkan punggung, menyelipkan poni yang tidak ikut terkuncir di belakang telinga lalu menautkan tangan di atas meja.
"Jadi gini, Jun. Asteria itu nama perusahaan, gedung ini tempat kerjanya. Lantai satu ini buat kafetaria," jelasnya buat Juna mengangguk paham.
"Emang perusahaan apa?"
"Agensi modeling di lantai dua dan Event Organizer di lantai tiga."
Bibir remaja itu membulat kecil, Sura terkekeh kecil. Juna memiringkan kepala dengan wajah bertanya.
"Terus kamu kerja dibagian apa?"
"Saya—"
"Bu Bos!" Teriakan Abel membuat pengunjung menoleh.
Juna tertawa kecil. "Siapa coba yang pilih panggilan itu?"
"Saya gak pilih, Jun, tapi mereka terlanjur panggil begitu," kata Sura sebelum berdiri, memasukkan HT ke saku dan menggenggam ponsel di tangan kirim.
"Senang mengobrol dengan kamu, Jun." Ia mengusap kepala Juna sebelum melenggang, menghampiri Abel.
Menerima cup minuman. "Tolong kuenya di masukin paper bag, Be," pintanya sebelum menyedot kopinya.
Abel mengangguk, berlalu mengambilkan tas kertas. Sura menoleh sebentar, melihat Juna masih disana juga menatapnya. Menyerahkan uang ketika tas sudah ditangan, ia berlalu.
"Terimakasih, Bel."
"Sama-sama, Bu Bos."
Sura tidak pernah meminta untuk diperlakukan istimewa hanya karena ia seorang pemimpin, karena dia tidak akan mendapat jabatan ini tanpa memiliki karyawan yang percaya akan kinerjanya.
Kembali naik ke lantai tiga yang terlihat lebih sepi karena hanya ada sepuluh orang di sana.
Duduk berdiskusi di meja panjang, di tengah ruangan, Sura bergabung tanpa suara, mendengarkan hal-hal yang dibahas.
Menikmati kopi dingin, ia mendeham kecil karena perasaanya terlalu senang. Sura menggoyangkan gelas, berharap es sedikit mencair karena kopi tersisa setengah. Suara itu buat mereka menoleh, Sura terdiam, matanya mengerjap lucu juga kaget.
Reaksi itu buat karyawannya tertawa gemas. "Siapa yang percaya kalau Bu Bos udah 23 tahun?"
Sura menyengir, memamerkan gigi kelincinya juga lesung di pipi. "Kalian bahas acara lusa?"
Mereka kompak mengangguk. "Udah ada yang cek persiapan di lokasi?"
"Udah, Bu. Lima orang disana."
"Terus apa masalahnya?"
"Klien gak bisa kasih angka pasti banyaknya tamu. Gedung yang dipakai bisa muat untuk 700 orang, konsumsi sekitar 1000 porsi."
"Nikahan, kan?" Mereka mengangguk.
"Tamu undangan mereka berapa?"
"Kurang lebih 800 orang."
Sura terdiam sebentar, keningnya berkerut. "Itu tamu undangan dibagi gak, ya? Maksudnya di shift gitu, mungkin sebagian akad, sebagaian lagi resepsi."
"Gak ditentuin, Bu."
"Gapapa, tambah kursi aja."
"Baik, Bu." Mereka kembali diskusi.
Sura mengeluarkan kue keju, kesukaanya setelah black forest. Makanan manis seperti kebahagiaan untuknya, menjaga perasaannya agar tetap baik dan tenang.
"Nanti kalau Bu Bos nikah, pakai EO sendiri atau ke WO?" Sura hampir saja tersedak.
Mereka jelas-jelas menggodanya, karena para karyawan itu terlihat menahan tawa. Sura memicingkan mata. "Kalian kalau nikah harus pakai EO saya, loh. Nanti dikasih potongan kok, tenang aja," katanya buat mereka menghela napas kecewa.
"Kalian dapet hosip dari Bima, juga?"
"Siapa sih Bu yang ngelamar? Kerja apa?"
Sambil menghempaskan punggung, Sura menjawab, "Saya gak tau Bima lagi nulis skenario atau gimana. Lagipula, saya belum ada yang ngelamar, lebih pilih mikirin perusahaan biar kalian bisa gajian."
Kompak sekali mereka memberikan jempol pada Sura, membuatnya tertawa hingga menyipit.
"Nanti kita nikahnya rame-rame juga gapapa," lanjutnya membuat tawa mengisi keheningan lantai tiga.
...