Pagi ini Sura sudah siap dengan seragam putih merah, juga dengan topi yang terpasang dikepala. Sarapan sudah habis, bersamaan dengan Raden yang meneriakkan namanya.
Sura tersenyum manis, menyambut lambaian tangan sepupunya. Ia mencium tangan kakek dan nenek, pamit berangkat sekolah, di hari pertamanya di sekolah dasar.
Sepasang bocah berjalan beriringan, dengan seragam yang masih kaku dan sepatu hitam yang masih legam. Sekolahan hanya berjarak lima rumah, waktu tempuh hanya lima menit.
Ramai, banyak orangtua yang mengantar. Sura menggandeng tangan Raden, semakin ke dalam banyak anak-anak yang lebih tua, terlihat menatap setiap murid baru.
Keduanya masuk ke dalam kelas, duduk memilih meja nomor dua dari depan, baris paling kanan, dekat dengan pintu.
Sura melihat para orangtua yang menganta hingga kelas atau menunggu di luar. Teringat janji bunda, harusnya hari ini mengantarnya ke sekolah, tapi malah minggu lalu ia lebih dulu mengantar sang bunda pulang.
Pembelajaran hari ini berlangsung dengan baik, berkenalan dengan guru yang ramah dan teman-teman yang baik. Hari ini, juga akan jadi hari yang Sura ingat, karena dengan berani, ia mengangkat tangan, mengajukan diri menjadi ketua kelas saat yang lain saling menengok.
Sura keluar dengan wajah senang, begitu juga dengan Raden yang menatapnya kagum. Seperti kata ayah, jangan ragu untuk jadi pemimpin hanya karena jenis kelamin.
Sepanjang jalan pulang, Raden begitu cerewet, berulang kali mengatakan bahwa Sura begitu hebat dan keren saat mengangkat tangan.
Bahkan bocah itu langsung berteriak, berlari masuk ke rumah kakek. Menceritakan semua yang terjadi di sekolah. Sura tertawa, meletakkan sekolah di atas kursi meja makan.
"Halo, Bu Ketua," goda kakek berkebun di samping rumah.
Sura tersenyum malu, duduk diambang pintu samping rumah penghubung ruang makan dan kebun sayuran milik nenek.
"Apa cita-cita kamu, Sura?"
Ia terdiam, matanya memandang lurus, mencari jawaban di dalam kepala.
"Sura pernah bilang ke ayah, ingin jadi bos, tapi gak tau bos apa."
Kakek tertawa kecil. "Bangun usaha, kamu jadi pemimpin dan pemilik, kalau mulai sukses, pekerjakan karyawan, jadi bos."
Otak bocahnya menganggam itu mudah. Terdengar ringan tanpa ada gambaran hambatan. Jadi ketika sekarang ia beranjak dewasa, masa kanak-kanak adalah waktu terbaik yang pernah dirasakan.
Seperti kata Ratna, Suraduhita Sranti benar-benar tumbuh menjadi perempuan cantik dan berpendidikan. Prinsipnya begitu erat digenggam, kepalanya tidak pernah menunduk takut.
Ia lulus sebagai pemegang nilai tertinggi, dengan gelar sarjana manajemen. Kakek Nenek yang empat tahun lagi memasuki usia 70, menatap dengan bangga. Bahkan keduanya tidak dapar menahan air mata.
Ajie sekeluarga juga datang, bersama Raden yang tinggal menunggu wisuda minggu depan. Ratna dan Sura saling berpelukan, berkali-kali memberikan kecupan.
"Gimana? Lega?" Sura mengangguk semangat.
Melepaskan pelukan Ratna, ia menerima sebuket bunga dari Raden sebelum merangkulnya.
"Duluan gue, kan, Den?" tanyanya hanya sebatas menggoda.
Raden mendengus pelan, pura-pura kesal. Nyatanya bocah cerewet ini sudah tumbuh jadi laki-laki tampan. Sura tertawa pelan, sangat suka jika sepupunya sudah mengerutkan kening.
Ia melepaskan rangkulan pada bahu Raden, meminta tolong pada salah satu teman untuk mengabadikan momen dalam gambar.
Sura berdiri di tengah, di antara kakek dan nenek. Memasang senyum terbaiknya, ini benar-benar hal bahagia. Pulangnya, mereka mampir ke rumah makan Nakula, merayakan kelulusan.
Bima menyambut dengan pelukan, ia sudah lulus setahun lalu dan membantu ayahnya mengelola rumah makan yang sudah membuka cabang di sekitar ibu kota.
Mereka duduk melingkar di meja bundar, Nakula benar-benar menyiapkan semua makanan.
Diapit dua sepupunya yang sekarang sudah jadi pria tampan, Sura merasa waktu berlalu cepat. Seperti baru kemarin hari pertama sekolah dan sekarang jadi hari pertama bebas dari segala beban kuliah.
"Udah nemu lowongan kerja?" tanya Bima ketika melihat Sura menguncir rambut sebahu yang tadi tergerai.
Semua atribut wisuda di tinggalkan dalam mobil, sepatu pantofel saja sudah berganti converse kuning yang nyentrik. Hanya kebaya yang masih setia Sura kenakan, karena terlalu lama jika harus mengganti pakaian.
Gadis itu menoleh, menatap Bima walau tangan kanannya mengambil lauk yang berada di dekatnya. "Lusa wawancara buat lowongan HRD, minggu depan wawancara manajemen operasional," jawabnya.
"Secepet itu?" sahut Raden.
Sura mengangguk. "Udah jodoh sama gue, Den."
Suasana makan yang terasa hangat, tidak selalu bisa terlaksanakan.
"Gak pengen kuliah lagi, Ra?" tanya Dewi buat ia tertawa kecil.
Ia menggeleng, menelan makanan sebelum menjawab. "Libur dulu, deh, Te. Baru juga wisuda, masih kerasa capeknya," jawab Sura mengundang tawa.
"Kalau gak dapet kerjaan, di kantor Om aja, Ra," kata Nakula.
Sura menggeleng lagi. "Gak, Om. Nanti Bima iri gajiku lebih tinggi."
Wajah kesal Bima membuat mereka tertawa, apalagi Raden, suaranya terdengar paling keras hingga buat Ratna mengomel.
Dalam ramainya suasana, diam-diam Sura menghela napas. Semua keluhan selama hidupnya disimpan sendirian, bukannya tidak ingin berbagi, tapi paham orang lain juga memiliki masalah pribadi. Sura hanya tidak ingin jadi manusia yang terlalu banyak mengeluh, tidak ingin terlihat rapuh.
Ujian sebenarnya sudah menghadap di depan mata, bukan lagi kertas-kertas yang dihadapi, tapi dunia dan beragam sifat manusia.
Sura tidak ingin memprediksi, ia hanya ingin menjalani dengan usaha sepenuh hati. Ambisinya masih sama, jadi pemimpin, tidak harus jadi yang tertinggi, selama harga diri tidak diinjak-injak.
"Sura," panggil Raden.
"Kenapa?"
Raden mendekatkan tubuh, kemudian berbisik, "Pacar gue minta dikenalin ke Ayah, Bunda."
Keningnya mengernyit bingung. "Emang belum kenal?" tanyanya balas berbisik.
Keduanya saling menjauh dan saling tatap, Raden menggeleng. Sura melengos, mendecak pelan sebelum menatap Raden dengan wajah sebal.
"Kenapa gak dikenalin? Biasanya sebulan jalan, langsung dibawa ke rumah."
"Yang satu ini ngebet nikah."
Sura menutup mulutnya, mencoba menahan tawa. Ia begitu paham sifat Raden yang masih ingin berkarier tanpa ingin ada tekanan dan tuntutan dari hubungan serius seperti pernikahan.
"Kenapa, Ra?" tanya Bima yang terlihat penasaran.
Ia menggeleng, memilih melanjutkan makan tanpa menanggapi lebih lanjut pernyataan Raden. Sura setuju, pernikahan merupakan hal serius yang memerlukan banyak pertimbangan dan berbagai kesiapan.
Sura saja belum punyaa gambaran tentang kehidupan pernikahan, tapi jika menemukan seseorang yang tepat dalam waktu dekat, ia akan mempertimbangkan jika sosok itu mau menunggunya menyelesaikan segala ambisi yang sudah dibangun sejak kecil.
Impian jadi seorang pemimpi, karena itu bukan sesuatu yang tidak mungkin.
"Tunjangan kematian orangtua lo, sama uang hasil jual rumah, mau buat apa, Ra?"
Pertanyaan Bima membuat otaknya berpikir. Suatu perusahaan yang belum banyak ditemukan tapi menjanjikan.
"Kalau gue buka agensi, gimana?" tanyanya buat semua orang di meja terdiam.
...