Menunggu Kani dan Raden menyelesaikan sarapan, Sura sibuk membuka e-mail yang baru masuk, diterimanya dari perusahaan tempatnya bekerja selama tiga bulan ke depan. Ia menandai kegiatan yang dirasa penting, juga menghitung jarak waktu dari satu kegiatan ke kegiatan setelahnya.
Sura meletakkan ponsel di meja, mengambil tali rambut dan kacamata dengan frame transparan. Menguncir rambut lalu memakai kacamata, Sura menyelipkan poni ke belakang telinga. Ia merasa jadwal Kani minggu ini sedang sibuk-sibuknya.
"Sura."
Gadis itu mendeham untuk menjawab panggilan Raden.
"Mau pulang belum?" Sura menegakkan kepala, menyadari bahwa piring merela sudah bersih.
Kani meminum teguk terakhir, lalu berdiri. "Saya duluan." Sura dan Raden mengangguk.
Ia membereskan barangnya, memasukkan ke dalam tas sebelum menarik lengan Raden keluar warung.
"Temenin gue liat gedung, ya?" Sambil menerima kunci mobil, Raden menatap dengan wajah kebingungan.
Sura mendahului masuk ke dalam mobil. Membiarkan Raden membawa mobil bergabung dengan kendaraan lain, sebelum mengarahkan ke tempat tujuan.
"Lo mau beli gedung apa gimana?" tanya Raden dengan maksud bercanda.
Sambil melepaskan jas, Sura mengangguk. "Daripada kalau sewa pertahunnya harga naik, sekalian aja dibeli, lagipula agak di pinggiran kota, gak semahal di pusat."
Wajah Raden terlihat sekali terkejut, dari dulu memang begitu transparan, mudah sekali di tebak isi kepalanya hanya dengan menatap.
"Mau ngapain beli gedung?"
"Gedung ini tertawat, kok. Baru seminggu ini bener-bener kosong, punya dua lantai bawah tanah dan lima lantai ke atas. Rencana kalau udah setuju sama harga dan surat-surat udah jadi, mau gue renovasi dulu. Mungkin tiga bulan jadi, kan?" Sura menoleh menatap Raden.
"Gue mau buat agensi buat mereka yang tertarik dengan dunia modeling, gue juga mau usaha jadi EO," lanjutnya membuat Raden membulatkan mulut.
"Lo beneran, ya?" Sura memukul bahu Raden dengan kepalan tangan.
"Gue udah rencanain ini dari kelas dua SMP, tau. Waktu lo lagi nakal-nakalnya, gue udah punya rencana masa depan," katanya.
Raden mendecak kagum. "Emang lo udah punya kenalan buat kerjasama?"
Sura mengangguk. "Gue ikut organisasi waktu kuliah, jadi punya banyak temen dari berbagai jurusan. Gue punya temen tata boga, akuntansi, teknik juga ada. Kebanyakan emang udah biasa urusin event kalau ada acara kampus."
Matanya memandangi lalu lalang kendaraan. "Gue paham sih, masa-masa awal pasti susah, tapi seengaknya gue berjuang sama orang-orang yang tepat."
Raden menoleh sekilas. "Tapi lo tiga bulan ke depan sibuk."
Ia mengangguk membenarkan. "Iya, jadwal Pak Kani seminggu kedepan hectic banget, yakin deh banyak lembur." Walaupun terdengar mengeluh, Sura menoleh dengan senyum cerah.
"Tapi gajinya gak main-main, Den. Bisa buat dana cadangan."
Raden mengangguk pelan, paham bahwa semua keputusan Sura diambil setelah pertimbangan, benar-benar tidak ingin mengalami kerugian.
Butuh waktu satu jam untuk sampai. Sura turun dengan senyum lebar, kakinya melangkah diekori Raden.
Di dalam, Sura disambut oleh pemilik gedung.
"Kenapa mau dijual, Pak?" tanya Raden.
"Kami mau pindah ke gedung yang lebih besar dan di tengah kota, Mas."
Sura sibuk menyusuri setiap ruangan tiap lantai. Kepalanya sudah memiliki gambaran pada setiap lantai, begitu menyenangkan hanya sekedar membayangkan.
Mereka naik ke lantai teratas, Raden berdiri di sebelah Sura. "Lo mau nyicil apa gimana?"
"Rencananya mau bayar tunai, tapi karena butuh banyak interior, gue akan kasih uang muka setengah dari harganya. Cari donatur, buat tambahin modal, tapi enggak mau kalau pinjam ke bank," jawabnya.
Di usia yang masih muda, rencana lima tahun ke depan sudah tertata rapi di kepala, seperti dokumen yang tersusun rapi di rak buku.
Sura tersenyum puas, mereka kembali ke lantai dasar. "Nanti saya kabari lagi, Pak."
"Baik, terimakasih." Sura menjabat tangan pemilik gedung, sebelum keluar.
Keduanya berdiri di depan mobil. "Lo emang udah yakin sama gedung ini atau punya gedung lain?"
"Rencananya lantai satu mau gue buat caffe, Den." Sura masuk ke dalam mobil.
"Terus?" Raden memasang sabuk pengaman, sebelum kembali melaju di jalanan.
"Buat pemula terlalu besar, gak, sih?" Ia terlihat bingung.
"Setelah tinjau langsung, gue ngerasa gak butuh lantai bawah tanah. Tiga lantai cukup kayaknya." Sura menengok, menatap Raden, "iya, gak?"
Raden mengangguk. "Lantai pertama lo buat Caffe, lantai dua jadi tempat latihan modeling, lantai atas buat tim Event Organizer. Udah, kan?"
Gadis itu mengangguk setuju. Ia melepas tali pada rambut, membiarkan surainya tergerai. Melepaskan kancing pada lengan kemeja, Sura menggulung hingga siku.
"Lo gak merasa ini terlalu cepet, Ra?"
Sura menggeleng. "Gue udah rencanain dari umur 14 tahun."
Raden bungkam. Sura dan ambisinya seperti tidak ada tandingan, keras kepala tapi penuh rencana. "Jangan terlalu memaksakan diri, ya, Ra? Setiap manusia punya batasnya masing-masing."
"Kalau terlalu hati-hati karena batas, kita gak akan tau ada hal apa di luar batas itu, Den."
Sura dan pemikirannya. Raden tidak menyalahkan atau membenarkan, menjawab saja sudah tidak ada minat karena tau akan berakhir debat.
"Mampir ke rumah makan punya Om Nakula dulu, Den. Kita cari gratisan." Raden terbahak.
Gadis itu tau kalau ia jadi kesayangan keluarga.
Mereka kembali ke pusat kota dengan jalanan padat karena memasuki waktu makan siang. Sura mengerucutkan bibir, merasa bosan sudah sepuluh menit terjebak kemacetan.
"Ini kalau gue jalan kaki udah sampai kali, ya, Den?" Tangan kiri Raden terangkat, mencubit pipi gembil Sura.
"Yakin mau jalan tujuh kilometer?" Sura buru-buru menggeleng.
"Belum sampai udah pingsan duluan."
"Lebay." Sura menjauhkan tangan Raden dari pipinya.
Matanya melempar tatapan tajam, seperti mengibarkan bendera permusuhan. "Jangan pegang-pegang," katanya terdengar ketus.
Raden tersenyum lebar, begitu senang jika Sura merasa kesal. Wajahnya masih lucu sudah berkepala dua. Setelah melewati lampu merah, jalanan lebih lengang, hal itu membuat Sura menghela napas lega.
Tidak sampai sepuluh menit, mobil sudah terparkir di depan rumah makan. Dari luar, meja-meja terlihat penuh, selalu seperti itu jika berkunjung di jam istirahat.
Keduanya turun, Raden mendorong pintu, membiarkan Sura marhk lebih dahulu. Mereka menghela napas lega ketika bertemu rasa sejuk di ruangan ber-AC.
Sura berjalan, mencari meja kosong. Menyerah, ia memutar tubuh menghadap Raden dengan wajah melas. "Mejanya udah penuh, Den," katanya terkesan merengek.
Raden terkekeh kecil melihat sepupunya yang mandiri masih bisa bertingkah seperti bocah. Merangkul bahu Sura, mengajaknya naik ke lantai dua, yang ternyata sama penuhnya.
Sura mendecak, matanya benar-benar fokus menyapu setiap sudut. Dengan cepat, ia menarik lengan Raden, berlari kecil untuk menempati meja dekat jendela. Ketika pantatnya menempel pada kursi, ia menghembuskan napas lega.
Begitu dramatis di mata Raden.
Ia menegakkan tubuh. "Bima gak ada, ya?"
"Enggak liat tadi," jawab Raden sambil meletakkan ponsel di atas meja.
"Yah, Den. Tas gue di jok belakang," kata Sura.
Raden tertawa pelan. "Loh, katanya cari gratisan?"
Di bawah meja, Sura menendang betis Raden, tidak sekuat tenaga, tapi tetap saja sakit terasa.
"Bima gak ada, mau gratisan gimana?" gerutunya sebal.
"Gue yang bayar."
"Emang gitu pengennya gue," kata Sura membuat Raden mendelik kesal.
"Yaudah, lo yang balik ke lantai satu buat pesan," titah Raden sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Ingin protes, tapi ia telan kembali. Sura menendang betis Raden lagi sebelum beranjak, kembali turun ke lantai pertama untuk makan siang.
Sura memesan satu paket sate ayam, dan ikan bakar sambal matah untuk Raden.
"Silakan di tunggu, Kak. Nanti kami antar ke lantai dua." Sura mengangguk.
Kembali ke lantai dua, dalam hati memaki Raden yang dengan santai memainkan ponsel disaat ia kelelahan naik turun tangga.
...