Chereads / ASTERIA; goddess of dream / Chapter 6 - 06: Being Secretary

Chapter 6 - 06: Being Secretary

Dengan setelan jas berwarna abu-abu, Sura menteng tas laptop berwarna kuning telur. Begitu mencolok dipadukan dengan stiletto hitam di kakinya. Di hari pertamanya, jam delapan ia sudah duduk di ruangan miliknya yang berhadapan dengan ruangan Kani.

Seorang wanita mengetuk pintu, Sura mempersilakan masuk. Setumpuk map diletakkan atas meja. "Ini dokumen perluasan lahan di Kalimantan juga beberapa kesepakatan kerjasama dengan perusahaan otomotif."

Sura mengangguk paham. "Kamu Shinta?"

Terlihat terkejut tapi wanita itu membenarkan. "Iya, Dari Divisi dua di lantai tiga."

"Terimakasih, ya."

"Iya, saya permisi." Shanti keluar.

Masih pagi dan setumpuk map sudah di atas meja, ini baru satu divisi, seingatnya masih ada tiga divisi yang harus memberikan beberapa dokumen penting di mejanya.

Meraih gagang telepon, Sura menekan angka dua guna menghubungkan dengan bagian keuangan.

"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?"

"Iya, saya Suraduhita." Matanya fokus menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan bulan ini dan kemarin.

"Tolong kasih saya laporan keuangan bulan ini dan kemarin yang hardfile, ya? Terimakasih."

"Baik, Bu."

Meletakkan kembali ke tempatnya. Sura berdiri, membawa map ke ruangan Kani. Ia membuka dengan bahunya. "Permisi, Pak."

Pintu kembali tertutup. Ketukan pada setiap langkah membuat atensi Kani berpindah padanya. Sura meletakkan tumpukkan map di sebelah komputer yang menyala.

Ia melirik gelas kosong, belas kopi. "Terlalu pagi minum kopi. Mau saya buatkan yang lain?"

Kani mendongak. "Kamu bisa?"

Sura mengangguk, lalu undur diri. Ia melangkah ke dapur bersih yang tersedia di lantai lima. Sibuk meracik, seseorang masuk ke dalam ruangan.

"Sekretaris baru, heh?" Sura menoleh sekilas, lalu mengangguk.

Membiarkan laki-laki itu melakukan yanh diinginkan selama tidak merugikan. Namanya Wana, dari bagian operasional perusahaan yang ruangannya memang di lantai yang sama.

Wana berdiri di sampingnya, membuat segelas kopi. Sura masih mengaduk bubuk matcha yang sudah dicampur dengan susu full cream dan vanilla sirup dalam mangkuk kecil.

"Kamu beri apa Bos Kani sampai memilihmu jadi sekretaris?"

Apa begini jika perempuan sengan mudah mendapat pekerjaan dengan gaji besar? Diremehkan seakan menjual badan.

Sura memutar tubuh, balas menatap Wana yang terlihat sekali meremehkan. Ia menyandarkan pinggul pada meja pantry, matanya lekat memandang dari ujung kepala hingga kaki. Hela napas ia lepaskan, Sura sedang menahan kesal.

"Apa sebelum wawancara sudah beri hadiah pada, Bos?"

Gadis itu tertawa hingga membungkuk, dua tangannya bertumpu pada tepian meja. Wana mengernyit bingung, sebelum terkekeh pelan.

"Jadi benar, eh?"

Sura kembali menegakkan tubuh, mengibaskan rambut kebelakang lalu mengusap air mata dengan ujung jarinya.

Dalam sekejap ekspresinya berubah datar, tatapan mata yang tajam, dua tangannya dimasukkan dalam saku celana.

Dagunya terangkat. "Merasa lebih baik dariku, eh?" Sudut bibirnya terangkat, senyum tipis tapi jelas melukai ego lelaki.

Sura menggeleng pelan, kembali memindahkan matcha latte ke cangkir. Ia sadar jika Wana menatapnya marah.

Wana semakin mendekatkan diri, hingga bahu keduanya menempel. Gerakan tangkas dari Sura, memelintir lengan kanan Wana dan meletakkan di belakang punggung.

Ia tidak peduli jika lengan ini patah, tapi menyentuh pantat seorang perempuan tanpa ijin itu pelecehan. Wana mendesis menahan sakit, kali ini Sura benar-benar marah.

Kakinya menendang lutut belakang hingga Wana berlutut, membuat lengan semakin naik dan sakit.

"Sudah berapa perempuan yang anda perlakuan seperti ini?" Sura menekan lutut di tengkuk Wana.

"Aku tidak peduli jika menurutmu memegang pantat merupakan hal biasa, tapi ini tetap akan aku bawa ke pengadilan." Ia menyentak kasar, berlalu dengan cangkir di tangan kanan.

Setiap langkahnya menggambarkan kemarahan, namun ketika membuka pintu ruangan bosnya, senyum ramah kembali dipasang.

Meletakkan secangkir matcha latte di sebelah tangan kanan Kani, Sura meletakkan tangan di belakang punggung.

"Jika saya melaporkan salah seorang karyawan anda atas tindakan pelecehan, apa itu akan berpengaruh kepada nama baik perusahaan dan harga saham?" Pertanyaan Sura membuat fokus Kani pecahan.

Laki-laki itu melepaskan kacamata, menatapnya dengan wajah bertanya.

"Pelecehan?" Sura mengangguk.

"Di dapur ada kamera pengawas?" Kani mengangguk.

"Anda bisa cek sekarang, namanya Wana, karyawan bagian operasional perusahaan, memegang pantat saya tanpa ijin dan saya tidak menyukai itu. Sebenarnya tidak perlu ijin pendapat anda, karena setuju atau tidak, saja tetap akan melaporkan dia."

Penjelasan Sura membuat Kani berdiri, menarik lengannya menuju ruang pengawas cctv. Membuka tanpa ketukan, tiga orang dibuat terkejut.

"Tolong putarkan rekaman cctv di dapur bersih lantai ini, 30 menit lalu."

Salah seorang mengangguk. Kani menumpukan lengan di tepi meja, Suta hanya menyaksikan dari dekat pintu, menyimpan tangan ke dalam saku celana.

Terlihat angkuh padahal itu normal.

Sura menghela napas, marah setiap mengingat yang dilakukan oleh Wana.

Kani menoleh marah. "Kalian yang mengawasi setiap hari, kan?" Tiga petugas keamanan itu mengangguk.

"Apa ini pertama kali terjadi?" tanya Kani terdengar dingin.

Mereka terlihat ketakutan, Sura memalingkan wajah, bosan. Merasa jika keputusannya mengatakan masalah tadi kepada Kani adalah hal yang salah, karena berbuntut panjang.

"Nanti akan kami periksa yang lain, Pak."

Kani mengangguk. "Kirim aku rekaman yang tadi, ada yang harus dilaporkan hari ini."

Beriringan kembali ke ruangan Kani, Sura menoleh. "Jadi laporan tindak pelecehan atas nama perusahaan?" Kani mengangguk.

"Bisa saja kamu bukan yang pertama." Sura mengangguk paham sebelum pamit kembali ke ruangannya.

Menghempaskan diri ke kursi kerja, memijat pelipisnya. Baru di hari pertama, tapi kenapa ia merasa perusahaan ini banyak masalah.

"Permisi."

"Ya." Levi, perempuan karyawan divisi keuangan yang tadi pengangkat telepon.

Menyerahkan setumpuk kertas laporan keuangan. "Saya juga sudah kirim file berisi data transfer uang perusahaan dua bulan terakhir."

Sura mengangguk memberikan senyum manis. "Sekalian nanti kirim laporan keuangan dua periode terakhir."

"Baik," kaya Levi sebelum pamit.

Ini bukan bagiannya, tapi tidak bisa menahan diri untuk turun tangan. Bagaimana Kani tidak menyadari hal ini, jelas-jelas ada dana hilang selama dua bulan ini.

Laporan keuangan selama dua periode masuk. Ia segera membukanya, matanya melihat dengan teliti, otaknya bekerja cepat.

"Ternyata sudah terjadi setahun terakhir," gumamnya.

Sura mencetak file, menyandarkan punggung sembari menunggu semuanya selesai. Setelah setiap lembar tercetak, segera ia rapikan, membawa semua kertas laporan keuangan ke ruangan Kani.

Kakinya terasa pegal karena bolak-balik berjalan.

Ia mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilakan. Mata Kani memandang kertas di pelukan Sura dengan alis terangkat.

"Ada yang harus ku periksa lagi?"

Sura mengangguk. "Kali ini benar-benar membuatku ingin mengurus sendiri keuangan perusahaanku nanti."

Kedua alis Kani terangkat. Sura meletakkan kertas-kertas tadi di hadapan atasannya, menyebar hingga memenuhi meja. Jari-jarinya menunjuk semua kesalahan dalam setiap laporan, menunjukkan uang-uang yang seharusnya tidak keluar.

"Apa anda sengaja membiarkannya?"

"Aku menyadari di satu periode terakhir," jawab Kani.

Sura mengangguk. "Karena di periode sebelumnya, transfer yang dilakukan dalam nominal kecil, mungkin orang ini merasa aman dan di setiap transfer berikutnya, nominal semakin besar.

Kani setuju. Sura memeriksa jam yang melingkari pergelangan tangan kanan. "15 menit lagi anda ada pertemuan pemegang saham, saya akan menyiapkan materi presentasi."

"Terimakasih." Sura mengangguk.

Dihari pertamanya begitu sibuk hingga jam pulang, ada lima pertemuan yang harus dihadiri tadi. Juga membahas kegiatan sosial yang akan diselenggarakan bulan depan di panti asuhan.

Sura meregangkan badan. Sepuluh menit lagi jam pulang, tapi tidak yakin dirinya termasuk. Ia masih memastikan materi-materi presentasi untuk tiga pertemuan esok hari.

Melepaskan kacamata, ia memijat pangkal hidung. Dalam hati coba menyemangati diri, meningkatkan ini tidak lebih parah daripada skripsi.

Ponselnya bergetar tanda ada telepon masuk dengan Raden sebagai penelepon.

Sura mengangkatnya. "Kenapa, Den?"

"Gue udah di warkop depan kantor lo, nih."

"Kenapa gak ngomong dulu tadi? Kalau ternyata gue lembur, gimana?"

Terdengar Raden menghela napas di seberang sana. "Jangan paksain diri."

"Gak kepaksa, ini emang kerjaan gue," katanya dengan mata masih terfokus dengan layar laptop.

Seseorang mengetuk pintu, Sura mendongak, menatap Kani berdiri di ambang pintu. "Ini masih hari pertama, kamu boleh pulang," kata Kani sebelum pergi, bahkan ia belum menjawab apa-apa.

Sura mengedikkan bahu. "Gue tutup teleponnya. Mau beres-beres, terus pulang."

"Oke." Ia memasukkan ponsel ke kantung jas.

Membereskan kertas-kertas di atas meja dan dimasukkan ke dalam laci. Sura berdiri sambil menggeram pelan, punggung terasa pegal. Di kantor yang mulai sepi, ketukan stiletto pada lantai terdengar nyaring.

Sura memeluk tas laptop berwarna nyentrik. Bergabung dengan beberapa karyawan terakhir dan memasuki lift.

"Selamat sore, Bu. Hati-hati di jalan." Ia mengangguk dan memberikan senyum manis pada karyawan yang berpisah di pintu.

Jalanan ramai karena sudah waktu pulang. Ia melihat Raden berdiri di seberang jalan dan berlari menyeberang. Laki-laki yang mengenakan jaket denim hitam itu merangkul punggung Sura dari samping, membawanya merapat.

Mereka menyeberang jalan, berlari kecil namun hati-hati. Raden membiarkan Sura masuk ke dalam mobil dan menyusulnya.

"Gak jadi lembur?" Sura menggeleng.

"Katanya baru hari pertama, disuruh pulang sama si Bos."

Raden mengangguk paham. Sura melepaskan kacamata, menyandarkan punggungnya, melelahkan, tapi ini membuatnya semakin ingin jadi seorang pemimpin.

...