Merapikan rambut lurus sebahu, tidak lupa memastikan wajah yang berhias mekap tidak ada noda. Sura terlihat cantik dalam balutan jas hitam yang melapisi kemeja putih dan disandingkan dengan celana bahan berwarna senada.
Bahu kanannya tergantung tote bag, sedang tangan kiri menenteng sepatu stiletto, padahal kakinya sudah terbungkus sepatu converse kuning kesayangan.
Sura keluar, kaki jenjangnya menghampiri kakek dan nenek yang sedang sarapan di ruang makan. Merangkul dari belakang, ia menyematkan kecupan di pipi nenek. "Pagi, Neneknya Sura yang cantik dan awet muda."
Sapaan itu membuat nenek tertawa. Sura beralih merarzvrcdngkul kakek. "Selamat pagi, Kakek yang sebentar lagi 70 tahun."
Ia tertawa mendengar kakek menggerutu. "Nenek kamu puji awer muda, kenapa ke kakek malah ngingetin kalau udah tua?"
Sura mengambil tempat duduk di hadapan keduanya, meletakan sepatu didekat kaki kursi sebelum menyantap makanan yang dimasak nenek, hanya sederhana, sepiring nasi goreng atau kadang setangkup roti.
"Berangkat jam berapa?" Karena masih mengunyah, Sura mengangkat dua tangannya dan menekuk dua jari di tangan kiri.
Nenek menyelesaikan sarapan lebih dahulu, meminum segelas air lalu bertanya, "Jadi diantar Raden?"
Sura mengangguk, menyelesaikan kunyahan terakhir. "Mau nungguin katanya."
"Nunggu sampai selesai wawancara?"
"Iya."
Ia berdiri, merapikan alat makan dan membawa ke dapur. "Biar Nenek aja yang cuci piringnya, Ra. Kamu mending ke rumah Raden aja," kata nenek.
"Oke." Sura kembali menenteng stiletto. Mengecup pipi kakek dan nenek sebelum pamit.
Rumah keluarga Raden memang hanya berjarak tiga rumah, begitu dekat karena Ratna tetap ingin merawat orangtua.
Cuaca hari ini terasa hangat, matahari tertutup awan dan langit begitu cerah. Gerbang masih tertutup, tapi mobil Raden sudah keluar garasi.
"RADEN! MAIN YUK!" teriak Sura sambil membuka gerbang.
Tanpa permisi, ia masuk ke dalam rumah. Gadis itu sudah dianggap sebagai anak oleh Ratna yang menginginkan seorang putri, tapi keputusan Tuhan merupakan sebaliknya.
"Pagi, Tante," sapanya pada Ratna yang sibuk mencuci piring di dapur.
"Pagi, Sayang."
Sura berdiri, menyandarkan punggung pada meja pantry. Memperhatikan punggung sang tante, yang masih berkutat dengan alat makan.
"Raden di mana, Te?"
"Masih tidur, tuh."
Wajah Sura berubah kesal dalam sekejap. "Untung masih jam tujuh. Mungkin kalau aku gak ke sini, pasti lupa udah janji mau nganterin wawancara," gerutunya.
Ratna memutar tubuh, menatap Sura dengan wajah terkejut tapi juga marah. "Kamu bangunin aja. Siram pakai air juga gapapa."
Sura mengangguk setuju. Dilepaskannya sepatu di tangan, melangkah lebar ke kamar Raden. Pintu penuh dengan berbagai macam stiker, langsung dibuka.
Cahaya remang karena gorden belum dibuka dan Raden yang masih bergelung dengan selimut. Sura memandang penuh kekesalan, ia mematikan AC, lalu membuka gorden selebar-lebarnya. Membiarkan sinar matahati mengusik tidur sepupunya.
Ia berdiri di samping ranjang, memukul lengan Raden dengan rasa kesal. "Bangun, lo!"
Laki-laki itu membuka mata, walau jelas belum sepenuhnya sadar. Jika saja bukan sosok Sura yang berdiri di hadapannya, Raden akan melanjutkan tidurnya, tapi karena ini seorang Suraduhita, Raden sudah duduk bersila walau mata setengah terpejam.
Sura menarik kedua lengan sepupunya, sekuat tenaga mendorong raga setengah tidur itu masuk ke dalam kamar mandi. Menempatkan laki-laki itu di bawah shower dan menyalakannya.
"SURADUHITA!" Gadis itu terbahak sambil berlari gesit keluar dari kamar, begitu bahagia mendengar teriakan Raden.
"Kamu apain anak tante, Ra?" tanya Ratna ketika Sura kembali ke ruang makan.
Sambil melepaskan jas, Sura masih mencoba menghentikan tawa. "Aku taruh di bawa shower, terus nyalain air dingin," jawabnya buat Ratna tertawa.
"Besok bisa Tante coba." Sura mengangguk setuju, ia duduk di atas kursi, menunduk untuk menganti converse dengan sepatu hak setinggi lima centimeter.
Ia kembali menegakkan badan. "Katanya, Raden mau nungguin sampai selesai, Te. Gapapa?"
Ratna mengambil duduk di depan keponakan. "Gapapa, Ra. Daripada di rumah gak ada kegiatan."
Tidak lama, yang jadi topik obrolan keluar dari kamar, rapi dengan celana baggy hitam dipadukan dengan hoodie sewarna dengan converse Sura.
Raden menoleh. "Ayo, Ra," katanya berlalu.
"Babay, Tante."
Sura berlari kecil, menyusul Raden yang membukakan pintu mobil untuknya. Ia masuk setelah mengucapkan terimakasih, meletakkan sepatu di dekat kaki, tas di atas dashboard dan jas pada pangkuan.
Raden menginjak pedal gas, meninggalkan rumah, memasuki jalan dengan santai. Mereka berangkah setengah jam lebih awal dari waktu janjian.
"Lo mau nunggu di parkiran?" Raden menggeleng.
"Ada warung kopi di depannya."
Sura mengangguk, matanya menjelajah setiap tempat-tempat yang dilewati. Jalanan ramai lancar, kebanyakan para pegawai.
Tepat jam delapan lebih limabelas menit, Mobil Raden berhenti di parkiran warung kopi yang letaknya berseberangan dengan perusahaan tempatnya melamar pekerjaan.
Keduanya turun, Sura meminta Raden untuk memegang tasnya sebentar ketika ia memakai jas.
Mereka berdiri di tepi jalan, Raden merangkul pinggang Sura, membawanya menyeberangi jalanan yang ramai. Laki-laki itu mengantar hingga pintu lobi, merapikan rambut Sura.
"Semangat," kata Raden sebelum berlalu.
Gadis itu terkekeh pelan. Menghela napas dalam-dalam lalu membuka pintu. Sura memasang wajah ramah, namun matanya begitu tegas.
"Saya Suraduhita Sranti," katanya di depan meja lobi.
Salah satu perempuan keluar dari balik meja. "Mari saya antar."
Sura mengangguk, mengekor di belakang. Dibawa naik ke lantai teratas, diantar hingga depan pintu. Ini yang membuat ia mengerutkan kening, apa wawancara untuk posisi HDR langsung ditangani oleh pemimpin perusahaan?
"Saya permisi." Ia kembali menutup mulutnya, pertanyaan kembali ditelan.
Sura mengendikkan bahu acuh, setiap perusahaan punya peraturannya sendiri. Setelah memastikan penampilannya, Sura mengetuk pintu kaca.
"Silakan."
Menarik napas dalam, Sura masuk. Ketukan pada setiap langkah begitu terdengar dalam ruangan hening yang diisi lima orang dengan jabatan tertinggi. Ia membungkuk sebelum duduk atas kursi yang berada di tengah ruangan.
"Suraduhita Sranti, baru lulus dua hari lalu dengan nilai cumlaude." Semua fokus dengam data diri di map, tapi tidak dengan laki-laki yang duduk di tengah, tepat berhadapan dengannya.
Sura mengangguk, membenarkan. Terlihat begitu santai, menatap langsung para pimpinan secara bergantian.
"Apa pengalamanmu di dunia kerja?"
Ia mendeham pelan, menegakkan punggung dan tersenyum hingga lesung pipitnya muncul. "Seperti yang ada di formulir, saya baru wisuda dua hari lalu. Pengalaman itu milik kalian yang selama ini berkutat dengan dunia bisnis."
Laki-laki di depannya menaikan alis, terlihat tertarik dengan jawabannya. Seseorang yang Sura kenal bernama Kanigara Banu. Pria sukses baru saja berusia 30 minggu lalu, baru saja memegang perusahaan pusat enam bulan terakhir setelah berhasil menyelamatkan anak perusahaan yang hampir sekarat.
Kani mencondongkan tubuh ke depan, melipat siku di atas meja. "Suraduhita itu bahasa sansekerta yang berarti bidadari."
Semua berhenti bergerak, ucapan Kani tidak diduga. Sura mengerjap, sebelum tertawa kecil dan berkata, "Iya, anda benar."
"Jadi, jika kamu tidak memiliki pengalaman, apa yang kamu bawa?"
"Saya bawa masa depan perusahaan yang menjanjikan," jawab Sura begitu lugas dan tegas. Tidak ada ragu atau takut dalam matanya, seperti tidak ada yang mampu menjatuhkan.
Kani mengangguk paham, senyum tidal mampu disembunyikan, tapi tidak bisa ditebak maknanya.
"Apa kelemahan kamu?" Sura menoleh, menatap wanita yang duduk di ujung kanan.
"Saya terlalu kaku dan butuh waktu lama beradaptasi di lingkungan baru."
"Lalu apa keunggulanmu?" tanya seseorang di ujung satunya.
"Cekatan namun tepat dalam menentukan pilihan dan dapat diandalkan." Sura menjawab dengan jelas, begitu meyakinkan.
Kani tersenyum. "Di sini tertulis kalau cita-citamu adalah jadi seorang pemimpin."
Gadis itu mengangguk tegas, matanya terlihat ambisius. "Ya, jadi pemimpin itu keren."
"Mau coba?" tanya Kani memunculkan kerutan tanda tanya pada semua orang.
"Sekretarisku cuti melahirkan selama tiga bulan ke depan. Jadi penggantinya, lihatlah pemimpin bekerja."
"Oke," katanya menerima tawaran.
Kani menepuk tangan sekali, berdiri sambil mengancingakan jas. "Kalian lanjutkan wawancara untuk HRD. Perempuan ini ikut denganku."
Sura berdiri, membungkukkan badan sebelum mengikuti Kani keluar. Tidak ingin di belakang, ia mempercepat langkah hingga berjalan sejajar.
Ketika sudah di dalam lift, Kani menoleh. "Hari kamu bisa pulang, nanti akan ada yang mengirim jadwal kegiatanku seminggu ke depan."
"Baik, Pak."
Keduanya saling tatap. "Kamu bisa temani saya sarapan?"
Sura mengerjap, sebelum tersenyum dan mengangguk. "Kebetulan saya ditunggu di warkop depan. Bapak bisa sarapan di sana."
Kani mengangguk pelan, menurut pada Sura, karena perutnya sudah lapar, semalam melewatkan makan malam.
Keduanya menyeberang jalan. Masuk ke dalam warkop modern yang banyak dikunjungi anak muda. Sura mengedarkan pandangan, menghampiri Raden yang sibuk memainkan ponsel di pojok ruangan.
"Mari, Pak," ajak Sura, berjalan mendahului.
"Raden."
Atensinya teralih ketika Sura duduk di sebelahnya dan Kani duduk di hadapan keduanya.
"Udah?" Sura mengangguk, mengulurkan tangannya kedepan, menunjuk Kani.
"Ini Kanigara Banu."
"Raden."
"Kani."
Kedua laki-laki itu berjabat tangan. Sura meletakkan dagu di atas bahi Raden. "Kunci mobil lo mana?"
Raden mengeluarkan kunci mobil dari saku jaket. "Nih." Sura menerimanya, lalu pamit.
Stiletto tidak pernah bersahabat dengan kakinya. Ia membuka pintu mobil, menukar sepatu hak tinggi dengam sepatu kesayangan.
Sura kembali bergabung, mendengarkan obrolan Raden dan Kani yang sedikit-sedikit bisa ia mengerti. Kebanyakan tentang olahraga juga tidak ketinggalan perihal otomotif.
"Udah pesen, Den?"
Raden mengangguk. "Tadi waktu lo ganti sepatu."
Kani langsung melirik ke bawah, melihat sepatu converse berwarna nyentrik membungkus kaki Sura.
"Kamu kalau gak nyaman pakai stiletto, pakai sepatu nyentrik ini juga gapapa, Sura," kata Kani sambil menatap bawahannya.
Sura tertawa pelan. "Terimakasih, loh. Tapi itu gak adil kalau cuma saya, kan? Gimana kalau semua karyawan boleh pakai sepatu yang nyaman untuk mereka?"
"Kamu benar-benar ingin jadi pemimpin, ya, Ra?"
Gadis itu mengangguk cepat. "Saya akan punya perusahaan sendiri, lima tahun lagi," kata Sura begitu percaya diri.
Kani tersenyum. "Saya tunggu tawaran kerjasamanya, ya, Ra?"
Sura mengangguk sambil memamerkan gigi kelincinya. "Anda akan jadi yang pertama."
...