Hari ini, tepat tujuh hari orang tua Sura berpulang ke pangkuan Tuhan. Ia berusaha tetap tegar di hadapan semua orang karena tangis hanya untuk diri sendiri.
Rumah begitu ramai, para saudara dan tetangga berlalu lalang di dalam rumah, sibuk menyiapkan makanan untuk dibagikan di lingkungan perumahan, karena esok Sura sudah pindah ke rumah kakek.
Meninggalkan semua kenangan masa kanak-kanaknya, tapi paham jika hidupnya masih harus melewati perjalanan panjang.
Raden dan Bima begitu tenang ketika dibiarkan bermain balap mobil menggunakan playstation. Sura terlihat lebih ceria, begitu semangat mendukung siapa saja yang lebih unggul.
Lusa, ia sudah mulai bersekolah, walau harus pindah ke tempat yang lebih dekat dengan rumah kakek, setidaknya Sura jadi satu sekolahan dengan Raden.
Karena Ratna merupakan si bungsu, jadi memutuskan untuk membeli rumah yang dekat dengan orangtuanya, agar bisa merawat dan memastikan tetap sehat.
Sura itu gadis kecil ramah yang pemalu, tapi ia ingat nasehat bunda yang mengatakan, ingin Sura jadi gadis pemberani dan tidak ragu untuk memimpin teman-teman dalam kebenaran serta keadilan.
"Sura gak mau ikut main?" tanya Bima, menoleh padanya yang duduk di antara dua sepupunya.
Sura menggeleng sambil memamerkan gigi kelincinya, "Gak, Bima sama Raden aja," jawabnya.
Bima mengangguk pelan, kembali fokus pada permainan.
"Sura, Raden boleh minta tolong?"
Ia menoleh, menatap Raden yang masih fokus dengan layar LED televisi, lalu bertanya, "Minta tolong apa?"
"Tolong amilin air putih, Raden haus." Sura mengangguk, lalu berdiri.
"Bima juga, ya?" sahut bocah yang lebih tua setahun darinya dan Raden.
"Oke," jawab Sura.
Gadis kecil itu melangkah ke dapur, begitu banyak orang hingga membuatnya bingung akan meminta tolong pada siapa.
"Loh, Sura ngapain ke dapur, Sayang?" tanya Ratna yang baru saja datang.
Sura mendongak, tingginya hanya sebatas perut tantenya. "Boleh minta tolong ambilin air minum, dua gelas?"
Ratna tersenyum lalu mengangguk. "Tunggu sebentar, ya?"
Sura mengangguk, menepikan dirinya dekat kursi meja makan. Menunggu Ratna mengambilkan dua gelas air minum.
"Ini, Sayang," kata Ratna sambil mengerahkan dua gelas plastik untuk Sura pegang di tangan kanan dan kirinya.
"Nanti kalau mau makan, bilang ke Tante, ya?" Sura memberi senyum lebar sambil menganggukkan kepala.
Ia kembali ke ruang keluarga, meletakkan dua gelas tadi di antara Raden dan Bima. "Ini minumnya."
Kedua bocah itu menoleh bersamaan lalu berkata, "Terimakasih, Sura."
Bocah berbalut dress sebetis berwarna biru gelap, mengangguk, sebelum kembali duduk. Dinding-dinding di rumah ini sudah bersih karena bingkai foto sudah dimasukkan ke dalam kardus dan dibawa ke rumah kakek.
Begitu menyedihkan jika teringat bagaimana tubuh kedua orangtuanya terlempar, bersimbah darah dan kenyataan bahwa mereka pergi bersama adik yang selama ini Sura minta dalam setiap doa.
Ia seorang kakak, yang kehilangan adik sebelum menyadari kehadiran.
Matahari di atas kepala perlahan condong ke barat, dapur sudah rapi, kotak-kotak kertas berisi makanan sudah diletakan ke dalam mobil Ajie, siap dibagikan.
"Sura mau ikut, gak?" tanya Ratna di halaman rumah, Raden dan Bima sudah mendahului masuk mobil.
Begitu senang mengetahui akan berkeliling.
Sura tersenyum. "Gak, Tante. Sura di rumah aja sama kakek, nenek," jawabnya.
Ratna mengangguk, sebelum menyusul sang suami masuk mobil. Kendaraan roda empat itu perlahan menjauh. Rumah sudah sepi, hanya tersisa Nakula dan Dewi, orang tua Bima.
Mereka masih mengobrol di ruang keluarga. Dari pelataran, samar-samar Sura mendengar, tentang rumah ini yang berhasil di jual, juga tentang Nakula yang menawarkan diri mengurusnya.
Sura menunduk, mengayun-ayunkan kaki bergantian. Mendengar kakek yang menolak dan memilih mengurusnya bersama nenek. Sejujurnya, ia merupakan bocah penurut selama itu hal yang benar dan baik untuk semua orang, tapi untuk pembahasan ini, semua pilihan terasa merepotkan orang lain.
Ketika suara obrolan sudah tidak lagi terdengar, Sura masuk, mendapati ruang keluarga hanya tersisa nenek dan Dewi.
Ia mendekat, duduk di sebelah tantenya yang langsung menyambutnya dengan rangkulan. "Sura udah makan, Sayang?"
Sura mengangguk, "Udah, Tante, tadi bareng-bareng sama Raden, sama Bima," jawabnya.
"Kamu mandi duluan aja, Sura. Nanti malah rebutan sama yang lain," kata nenek.
Ia mengangguk, turun dari sofa dan melangkah ke dalam kamar. Menyalakan lampu walau harus sedikit berjinjit, lalu Sura membuka tas ransel, karena pakaiannya sudah dikemas.
Sura membersihkan diri dan mengganti dress tadi dengan baju serupa, namun berwarna putih. Ia menyisir rambutnya, lalu menguncir sebisanya.
Setelah rapi, Sura duduk di tepi ranjang. Saat sendirian seperti ini, baru terasa kesepiannya. Di dalam kepalanya, seperti terputar film, kenangan dengan orangtua, hangat pelukan bunda atau ketika dalam gendongan ayah.
Perpisahan yang tidak bisa disangkal adalah milik Tuhan.
Lamunannya terhenti, ketika suara mobil memasuki halaman. Buru-buru, Sura mengelap matanya yang basah, sebelum keluar kamar dan menyambut sepupunya.
Raden dan Bima berlarian, berlomba jadi yang pertama masuk kamar mandi. Ratna menepuk kepala Sura yang berdiri di ambang pintu, mengajaknya kembali masuk.
"Wah, Sura udah wangi, ya?" Ia mengangguk sambil memamerkan lesung pipit.
Sura punya senyum yang manis.
"Kamu pasti kalau udah besar jadi perempuan hebat dan cantik," kata Ajie yang berjalan di belakang keduanya.
Sura menoleh ke belakang, "Aku ambil suksesnya aja, Om. Masalah cantik, semua perempuan itu cantik," katanya.
Ratna tertawa kecil. "Tuh, Yah, dengerin. Semua perempuan itu cantik."
"Iya, apalagi Bunda," kata Ajie buat dua perempuan beda generasi itu tertawa.
"BUNDA! TOLONG AMBILIN HANDUK!"
"BIMA JUGA!"
Ratna membiarkan Sura duduk di kursi. "Tante ambilin Raden sama Bima handuk dulu, ya?"
Sura mengangguk, membiarkan tantenya pergi, bergabung dengan kakek dan Nakula yanh sudah kembali, sedangkan nenek dan Dewi yang menyiapkan makan malam.
Sura mendengarkan obrolan para pria yang sebenarnya tidak begitu dipahami, tapi ia mengerti kalau kakek sedang memberikan nasehat pada Nakula yang sedang merintis usaha.
"SURA!" teriak Bima yang lebih dulu selesai dan bergabung dengannya pada obrolan pria dewasa.
Bima duduk di sampingnya, mengayun-ayunkan kaki hingga menimbulkan ketukan dari tumit yang berbenturan dengan kaki sofa.
"Sura, cantik," kata Bima.
Sura mengangguk, "Iya, Sura kan perempuan, jadinya cantik."
"Sura besok tinggal di rumah kakek?"
"Iya."
"Sekolahnya sama Raden?"
"Iya."
Bima diam, membuat Sura menoleh, "Emang kenapa?"
Bocah itu menggeleng, "Gapapa, yang penting, Sura gak boleh sedih."
Sura tersenyum lebar sembari mengangguk, "Sura gak sedih, kok. Kan, aku masih punya Bima, Raden, Tante, Om, Kakek, Nenek dan temen-temen yang sayang sama Sura."
Karena sesedih apapun kenyataannya, yang orang lain perlu lihat adalah senyumnya.
...