Hotel Gharudhamas memang sudah tidak diragukan lagi kemewahannya. Ukiran dinding dengan gaya Yunani, disertai lampu yang ditata sedemikian rupa menambah kesan elegan di restoran hotel mewah itu.
Permainan orkestra mengalun merdu dari arah panggung. Menyejukkan tiap hati yang mendengar. Namun, tidak bisa mencairkan ketegangan suasana di ruangan itu.
Dua orang remaja duduk berhadapan. Sepasang mata tajam mereka bertemu, menghujam. Sama sekali tidak peduli dengan kepanikan tiga orang dewasa yang duduk di meja yang sama.
"Jadi... ekhm." Seorang pria dewasa berperawakan tegas coba mencairkan suasana. Dengan senyum yang dibuat ramah, ia menoleh ke arah suami-istri yang duduk di hadapannya. "Gimana makanannya Bapak Rudi? Ibu Melinda? Kalian suka?"
"I-iya... saya suka. Masakannya enak sekali. Terima kasih Bapak Daniel," jawab Pak Rudi dengan senyum kaku.
"Ibu Melinda?" kening Pak Daniel berkerut.
Wanita yang dipanggil Melinda sama sekali tidak bergerak. Diam, membeku. Mulutnya menganga, kedua matanya tidak lepas dari putrinya dan juga putra Pak Daniel.
Ada apa dengan sepasang remaja ini? Meski tidak satu pun dari mereka bersuara, sinyal - sinyal membunuh tidak henti-hentinya mengalir dari kedua orang itu, persis seperti dua orang jenderal dari dua negara yang bermusuhan, kemudian didudukkan di satu meja dalam suatu perjamuan makan malam.
"Bu Melinda?" panggil Daniel lagi. Pak Rudi menyikut pelan lengan istrinya. Sontak Melinda terperanjat. Ia mengerjapkan mata, kemudian tersenyum kaku ke arah Daniel. "Ma- maaf. Saya melamun."
"Tidak apa-apa. Gimana, Bu? Makanannya enak?"
"To the Point aja deh, Pa. Papa mau jodohin Rafael sama cewek satu ini, kan?" potong putra Pak Daniel sambil menunjuk cewek di hadapannya menggunakan dagu.
"RAFAEL!" bentak Pak Daniel.
"Ma, Pa, tadi katanya kita mau ke nikahannya Tante Sisca, temen kuliah Mama. Pengantinnya mana, Ma? Kok, Runa nggak ngeliat ada tamu lain?" ucap Runa dengan nada datar. Pandangannya tidak lepas dari Rafael, seolah-olah jika ia lengah sedetik saja, Rafael akan mengeluarkan taringnya dan mencabik cewek mungil itu.
Sontak Pak Rudi dan istrinya mati kutu. Kedua tangan mereka mendingin. Mereka saling menukar pandang, lalu menoleh ke arah pria di hadapan mereka.
Pak Daniel menangkap sinyal itu. Ia mengangguk pelan, lalu berdiri dan berkata, "hotel ini salah satu aset keluarga Dafano. Kalau Bapak dan Ibu tidak keberatan, saya akan mengajak kalian berkeliling di hotel ini."
Tidak perlu mikir dua kali, Pak Rudi dan istrinya cepat-cepat berdiri, lalu berjalan mengikuti Daniel meninggalkan putra-putri mereka dalam kesenyapan restoran itu.
Setelah hanya tinggal mereka berdua, setelah tidak ada lagi Pak Rudi dan istrinya, seluruh topeng kesopanan Rafael runtuh. Cowok itu mendengus. "Pernikahan temen nyokap lo? Lo tuh bego banget, sih! Mana ada acara nikahan jam dua belas malem, jam tutupnya restoran di hotel Gharudhamas! Malu gue kalo punya anak setolol lo!"
Ooooh.... ngajak perang terbuka rupanya. Boleeeeh... Runa menggebrak meja. Dengan mata dibuatnya melotot segalak mungkin ke arah Rafael, ia berkata, "heh! Jaga mulut lo! Bokap lo pasti udah frustasi banget ngadepin anak nggak tahu diri kayak elo! Saking putus asanya, dia sampe mohon-mohon ke mama-papa gue!"
"Emang. Saking nyaris gilanya bokap gue, dia bahkan nggak bisa nilai calon mantunya sendiri."
"Maksud lo apa?" sahut Runa galak.
Rafael tertawa sinis. Tawa meremehkan yang membuat kepala Runa seketika mendidih. Cowok itu mencondongkan tubuhnya ke arah Runa, mengintimidasi cewek itu, seakan menunjukkan siapa pemegang kendali di sini. "Gue tahu lo, Karuna Paramitha. Lo anak XII IPS 4 di sekolah gue, kan?"
"Dari mana lo tahu?" Runa mengangkat dagu tinggi-tinggi, berusaha agar tidak merasa tertindas oleh kehadiran Rafael.
Seketika cowok itu tersenyum miring. "Oh, gampang. Nama lo paling cepet ditemuin di papan pengumuman nilai. Lo kan, selalu nomor satu. Nomor satu paling belakang! Apes banget orang tua lo. Hari paling sial orang tua lo pasti hari kelahiran lo!"
Cukup! Ini lebih dari sebuah penghinaan. Ini namanya pelecehan. Pelecehan harga diri!
Tiba-tiba Runa berdiri. Dengan satu gerakan cepat, kilat, dan lihai, Runa menyambar gelas berisi es jeruk yang belum sempat diicipnya. Ia menyiram wajah Rafael dengan es jeruk itu. Telak! Sedikit pun, tidak memberi kesempatan untuk Rafael menghindar.
Cowok itu menggeram. Napasnya menggebu-gebu. Ia tatap Runa dengan sorot mata super dinginnya. Tiba-tiba ia berdiri, lalu memukul meja keras dengan kedua tangan. "ELO CARI MATI?"
Runa menantang mata elang cowok itu. Dengan jari telunjuknya, ia menunjuk Rafael tepat ke wajah. "Lo hebat! Elo Rafael Dafano! Elo punya otak, tampang, dan harta! Tapi, semua kehebatan lo itu jatoh karena nggak ditopang sama kelakuan!"
Runa berbalik meninggalkan Rafael. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju lift.
Di balik panggung, Daniel bersama dengan Rudi dan Melinda, terbengong-bengong. Kedua mata Rudi melebar, mulutnya menganga, kembaranlah sama wajah istrinya sekarang.
Setelah kesadaran kembali didapat, Rudi berdehem, berusaha mengembalikan wibawa. Kemudian, ia tersenyum malu ke Daniel. "Maafkan kelakuan putri saya, Pak. Biasanya Runa tidak seperti itu."
Daniel mengerjapkan mata berkali-kali. Kemudian, ia menoleh ke arah Rudi. "O- oh? Tak apaaa... saya mengerti. Namanya juga anak muda."
"Sepertinya mereka berdua tidak cocok, Pak. Putri saya terlalu liar untuk Nak Rafael. Lebih baik kita batalkan perjodohan ini, Pak," ucap Melinda sopan.
"JANGAN!" sanggah Pak Daniel cepat. Pak Rudi dan istrinya saling berpandangan. Seketika kening mereka berkerut bingung.
Perhatian Daniel kembali fokus pada putranya yang sudah basah oleh es jeruk. Wajah Rafael memerah menahan emosi. Cowok itu menggertakkan giginya, menggeram marah, kemudian membalik meja makan sampai piring dan gelas yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.
Daniel tersenyum penuh arti. Kemudian, tatapannya beralih pada Pak Rudi dan Bu Melinda. "Jadi, kita jalankan sesuai rencana, ya."
***
"Papa nggak pernah ngajarin kamu sekasar itu, Runa! Apa-apaan sikap kamu tadi? Pak Daniel itu atasan papa. Kamu mau papa dipecat?" Rudi yang duduk di kursi kemudi memutar kepalanya, menatap Runa yang duduk di belakang.
"Papa sama mama yang kelewatan! Jangan mentang-mentang Pak Daniel itu bos, terus Papa langsung main setuju aja buat jodohin Runa! Runa manusia, Pa. Runa punya pikiran, hati, juga bisa nentuin sendiri," jawab Runa emosi. Cewek mungil itu melipat tangan di depan dada. Wajahnya cemberut.
"Runa!"
"Sayang, kamu lagi nyetir. Liat ke depan." Melinda mengusap lengan suaminya pelan, berusaha menenangkan pria itu.
Rudi mengembuskan napas kasar. Ia kembali fokus menyetir.
Kemudian, Melinda tersenyum lembut. Ia menoleh dan menatap putri semata wayangnya.