Pria berjas hitam yang tadi membawa Runa, berdehem pelan. Ia melirik arloji di tangan kiri. "Dua jam. Cukup?" ucapnya pada si manusia ajaib.
"Cuil!" jawab si manusia ajaib sambil menjentikkan jari. "Ladies!" Si manusia ajaib menepuk tangannya tiga kali. Beberapa detik kemudian dari dalam ruangan, bermunculan manusia-manusia cantik yang sejenis dengan si manusia ajaib.
"Alamak, cakep bengeus," ucap si rambut keriting pirang.
"Helooo~ Susanti," ucap si rambut rebonding sambil menjulurkan tangan lentiknya. Kemudian, terkikik sendiri.
"Cucok! Cucok! Eike cucok sama kamiu, Cin." Kali ini yang rambutnya merah, sambil cipika-cipiki dengan Runa.
"Aduuh, tunda dulang kenalannya. Udah telat ini! Entar Cinta kena marah sama bos besar." Si manusia ajaib yang ternyata bernama Cinta, menarik Runa pelan. Ia mendudukkan Runa di sebuah kursi putar, berhadapan dengan cermin besar.
"Kulit kamiu mulus. Bening. Bulu mata kamiu lentik. Cuman tinggal alis eike rasa. Kenapa nggak pernah dirapihin sih, Cin?" Cinta menoleh ke teman-teman seperjuangannya. "Kita operasi dulu alisnya ini."
"Mau pake apa, Cin? Tang? Gergaji? Apa Obeng?" tanya si Susanti.
WHAAAAT? Kedua mata Runa kontan melotot. Para manusia ajaib yang sadar dengan wajah kagetnya Runa, sontak tertawa. Pelan, malu-malu. Tawa mereka merdu, euy!
"Nggak usah takut, Cin. Itu cuman istilah kita-kita doang," ucap Cinta. "Yuk, Ladies. Capcus!"
Mulailah perombakkan pada diri Runa. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, habis sudah ia diperlakukan seperti manekin. "Bedaknya jangan tebel-tebel, Nyong!" ucap si Cinta.
"Tenang aja sih, Cin," balas Susanti—yang diberikan mandat untuk merias wajah Runa—sambil berdecak kesal.
"Eike buatin nail art buat kamiu yauw. Mau 2d, 3d, apa 4d? Gambarnya mau apa? Gunung Himalaya aja ya, ihihihihi," ucap si rambut keriting pirang. Runa hanya tersenyum kaku menanggapi.
Setelah satu jam lebih yang terasa seperti 500 tahun bagi Runa, akhirnya mereka beres juga. Tinggal si Cinta yang masih pusing tujuh puluh keliling dengan rambut Runa. Bingung mau diapain nih rambut yang halusnya ngelebihin sutra. Dari dikeriting, dilurusin, dikeriting lagi. Tidak ada yang benar-benar WAH di matanya.
"Aduh, Cin. Jangan disanggul, dongs. Masih belia gini. Iket samping aza." Akhirnya Susanti turun tangan. Setelah berkolaborasi, kata sepakat pun dicapai. Keputusan final rambut Runa dikeriting, kemudian diikat menyamping.
Mereka berempat berdiri di depan Runa. Seperti menerawang cewek itu, mata mereka tidak henti-hentinya memerhatikan Runa dari atas, ke bawah, terus ke atas lagi. Sampai akhirnya, mereka memekik nyaring. Saling berpelukan, kemudian tersenyum puas. "Sempurna," ucap mereka serempak.
"Cin, ganti baju dulu, ya. Ada di ruang ganti bajunya. Tapi, eike nggak bisa bantu yauw. Bisa digantung bos muda eike ihihihihi," ucap Cinta sambil cekikikan.
Seperti terhipnotis, Runa mengangguk. Ia memasuki ruangan yang dimaksud. Kedua matanya tertuju pada gaun yang tergantung di dinding. Lagi-lagi seperti boneka tidak bernyawa, tidak bisa berpikir, tubuh Runa bergerak begitu saja dan mengganti pakaiannya.
Ketika selesai, Runa mematut dirinya di cermin. Kedua matanya berbinar. Kekaguman tidak bisa ia tutupi. Hasil karyanya Cinta and the team memang luar biasa. Elegan, tetapi natural. Belum lagi gaun putih menawan ini. Cantik. Ah, tidak! Kata itu tidak cukup. Luar biasa. Amazing!
Hanya dengan melihat pantulan dirinya saja, Runa merasa seperti seorang pengantin. Ah, ya! Itu dia! Eh, tunguuuuu dulu. "Pengantin...?" ucap Runa lirih pada diri sendiri.
Detik berikutnya, kedua mata bulatnya melebar. Tubuhnya gemetar. Ia terhuyung, mundur dua langkah hingga punggungnya menubruk dinding. "Oh Tuhan...," ucapnya lirih. Pasrah, sambil menutup mulut dengan kedua tangan.
***
Di ruang pengantin Hotel Gharudhamas, Rafael duduk di sofa dengan satu kaki ia naikkan. Kedua tangannya sibuk memainkan game di handphone-nya. Ia tampak tenang. Damai. Bertolak belakang dengan Daniel yang sejak tadi tidak bisa diam, jalan mondar-mandir sambil mengusap kepala berkali-kali.
"Runa, mana Runa? Kenapa dia belom datang?" gerutu Daniel. Terlihat gelisah. Pikirannya selalu saja tertuju pada para tamu, yang sudah memadati grandballroom Hotel Gharudhamas.
Pria itu menoleh ke Rafael. Ia mendengus marah. "Rafael! Kancing kemeja kamu yang bener! Kenapa kamu belom pake dasi? Jas kamu mana?"
"Hmm...." Rafael sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari game, membuat kerutan di kening Daniel semakin bertambah. "RAFAEL!"
Rafael berdecak. Ia melempar ponselnya asal ke meja. Dengan malas, ia melangkah ke arah nakas di sebelah jendela, tempat ia meletakkan jas dan dasi.
"Jangan berulah selama acara. Jangan lupa senyum ke tamu. Kalo bicara yang sopan. Intinya, JAGA SIKAP!"
"Papa kenapa sih, dari tadi nggak bisa tenang? Emangnya Papa yang mau nikah? Silakan. Sebagai anak berbakti, Rafael bersedia mengalah. Nggak papa... ikhlas, kok," oceh Rafael dengan kedua tangan sibuk memakai dasi.
"Jaga ucapan kamu! Udah mau jadi kepala keluarga sikap kok, masih kayak bocah?"
Tiba-tiba kegaduhan terdengar dari luar ruang pengantin, disusul dengan pintu yang dibuka kasar hingga membentur dinding dan menimbulkan suara keras, menampilkan sosok cewek yang sangat cantik bagaikan boneka. Pipi cewek itu memerah. Kedua mata bulatnya berkilat, menancap lurus ke kedua manik hitam Rafael.
"Runa! Hahaha, akhirnya kamu datang, Nak." Dengan senyum sumringah dan hembusan napas lega, Daniel menghampiri Runa. Ia menepuk-nepuk pundak Runa pelan layaknya seorang ayah pada putri kesayangannya.
Seketika Runa tersentak. Perhatiannya teralih ke Daniel. Cewek itu nyengir kaku, menampilkan deretan gigi rapihnya. "Siang, Om...," salamnya pelan.
"Om? Setengah jam lagi naik ke pelaminan, tapi masih panggil saya Om? Papa, Runa. Panggil saya papa."
Runa sontak melongo.
Daniel yang sadar dengan ekspresi Runa, kemudian tersenyum. Ramah, sopan, seolah-olah paham betul isi pikiran cewek itu. "Papa tahu, pasti kamu belum terbiasa, ya? Santai aja, atau jangan-jangan kamu malu manggilnya samaan kayak Rafael? Supaya kamu lebih nyaman, panggil Daddy juga boleh."
Runa meringis pelan. Rafael yang diam-diam mendengarkan, sampai memalingkan wajah untuk menyembunyikan senyumnya. Geli, sumpah. Daddy? Jangan-jangan Daniel nanti manggil si Runa Little Princess lagi!
"Om—"
"Papa!" potong Daniel, "atau Daddy?"
"Eh, iya, Pa... Runa mau ngomong berdua sama Rafael. Boleh?"
Daniel tersenyum jahil. Ia berdehem, sengaja dibatuk-batukin seolah-olah ada sebongkah batu yang tersangkut di tenggorokan. "Boleeeh... tentu boleh. Tapi, jangan lama-lama, ya. Tamu kalian udah ngumpul. Masa bintang utama telat? Kalo waktunya nggak cukup, tunda aja. Kan, masih ada entar malem," ujarnya dengan cengiran lebar.
Spontan Runa menutup wajah dengan kedua tangan. Kepalanya tertunduk malu. Di tempat yang sama, Rafael tidak lagi bisa menahan diri. Tawanya pecah mengiringi kepergian Daniel hingga keberadaannya benar-benar menghilang dari balik pintu.
Setelah tawa Rafael mereda, Runa mengintip dari sela-sela jari. Kemudian ia menurunkan kedua tangan, menunjukkan semburat kemerahan yang masih tersisa di pipi halusnya.