"Gue tidur di mana?" Runa melipat kedua tangan di depan dada. Matanya tidak lepas dari Rafael yang berdiri di tengah-tengah kamar sambil melepas dasi.
Rafael mengembuskan napas kasar. Ia mendekati kasur, mengambil satu bantal, lalu melemparnya ke sofa.
Runa mengangkat kedua alis. Ia cukup mengerti dan cukup tahu diri, untuk tidak menjajah kasur yang terlihat nyaman dan menggoda itu. Ketika ada salah satu pihak yang harus dikorbankan, itu pasti dirinya.
"Sampe kapan lo mau jadi patung di situ?" ucap Rafael pada Runa yang masih berdiri di depan pintu.
"Kenapa?"
"Gue mau ganti baju."
"Terus?" Runa yang pikirannya masih di awang-awang, sama sekali tidak tanggap dengan maksud ucapan cowok itu.
Seketika kening Rafael berkerut. Namun, hanya sesaat karena detik berikutnya, cowok itu menyeringai lebar. Satu ide jahil yang didasari naluri lelaki, melintas di pikiran Rafael. "Gue nggak ngerti sama cewek. Katanya selalu teraniaya, ditindas, tapi nggak pernah berenti main api. Singa kalo disodorin daging ya, dimakan. Nggak disodorin aja mereka berburu, kok."
"Lo ngomong apa, sih?" Runa menautkan kedua alis.
Rafael terkekeh. "Gue ngerti kalo lo nggak bisa nahan nafsu sama gue. Nggak usah pake kode, to the point aja. Kan, gue udah pernah bilang, gue tuh fleksibel. Lagian lepas dari perjanjian, secara agama dan hukum kita udah sah. Nggak bakal ada yang marah. Kagak ada dosa juga. Tapi kalo penyesalan, gue nggak jamin."
Sinyal-sinyal itu akhirnya tertangkap oleh Runa. Cewek itu menelan ludah. Kemudian ia berdehem pelan, berusaha mempertahankan wibawa. "Kalo singanya itu elo, boro-boro gue sodorin daging. Begitu lo nongol, gue sambit lo pake golok!"
"Oh, ya?" Rafael pura-pura kaget. Tidak berapa lama, ia kembali menyeringai. "Kalo singanya bugil di depan lo, masih kuat ngangkat golok?"
Keringat dingin membanjiri wajah Runa. Detak jantungnya berpacu cepat. Namun ego yang tinggi, menentang keras menunjukkan sisi lemahnya.
Ini adalah tantangan, dan tidak pernah ada kata mundur di kamus Runa. Ia sudah kehilangan kebebasan karena pernikahan ini. Mana mungkin ia juga melepas harga diri.
Runa mengangkat dagu tinggi. Cewek itu tersenyum miring. "Lo mau pamer? Silakan, gue tontonin."
Rafael terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka reaksi Runa akan setenang itu, karena yang ada di pikirannya beberapa saat tadi, cewek itu akan menjerit sekencang-kencangnya, atau menunjukkan sikap bar-bar yang pada dasarnya mendarah daging di setiap cewek. Mencakar, menggigit, melempari barang, dan yang terakhir... lari keluar kamar!
Cowok itu berdecak. Benar-benar gila cewek ini...
Kemudian, Rafael menunduk. Ia menghela napas dan lagi-lagi... ia kembali menyeringai.
"Oke," jawab Rafael tenang.
Cowok itu menggerakkan kedua tangan kekarnya. Lalu, satu per satu kancing kemeja ia buka. Begitu Rafael melempar kemejanya, dan tubuh kekar yang selama ini digilai cewek-cewek satu sekolah terpampang di hadapan Runa, napas cewek itu terhenti. Kedua matanya melebar. Setengah mati ia menekan suara yang sudah berada di ujung lidah.
Cowok itu semakin memperkisruh keadaan, ketika tangannya bergerak turun ke ikat pinggang. Membuka kaitannya, menariknya lepas perlahan, dan membiarkan ikat pinggang itu jatuh ke lantai.
Runa bersidekap. Menunjukkan sikap tenang, cuek, tidak peduli. Padahal dalam hati... MAMPUS GUE!
Rafael menyadari kepanikan Runa. Cowok itu tersenyum miring. Digerakkannya tangan perlahan, slow motion, hati-hati, menuju kancing celana panjang yang menutupi senjatanya.
Dalam situasi menegangkan dan menyesakkan itu, masing-masing tidak ada yang tahu. Dua otak dengan pikiran yang beda, tetapi kompak melakukan hal yang sama. Memanjatkan doa tidak henti-henti dengan isi yang sama pula, ya Tuhan, tolonglah hamba-Mu ini!
Rafael melepas kancing celananya. Kemudian dengan gerakan sangaaaat pelan, ia turunkan resleting hingga akhirnya kedua tangan itu menarik celana turun, sengaja diperlambat untuk menyiksa si Runa. Di saat yang sama, untuk memperlama keselamatan dan kesuciannya.
Runa menelan ludah. Kepercayaan dirinya sedikit demi sedikit menguap. Sebagian dari hati kecilnya, yakin cowok itu tidak akan berani berbuat nekat. Namun sialnya, seluruh hati besar cewek itu berteriak agar mengibarkan bendera putih.
Kedua mata Runa kontan melotot saat tangan cowok itu kembali bergerak turun.
Semakin turun... turun... turun...
Begitu kain tipis berwarna hitam mulai terlihat dari balik celana panjang Rafael, bersamaan dengan itu, pekikan Runa yang tertahan pun terdengar.
Cewek itu melompat ke belakang. Tidak pakai mikir lagi, ia terbirit-birit ngacir ke kamar mandi yang ada di kamar Rafael--sambil menyerukan satu identitas baru untuk cowok itu--sebelum pintu kamar mandi dibanting keras. "GILA LO!"
Rafael tertawa puas. Kemenangan sudah diraih, hal itu cukup untuk membawanya ke mimpi indah malam ini.
***
"Rafael, papa mau bicara."
Suara Daniel menghentikan Rafael yang hendak menaiki Pajero Sport-nya. Dengan malas, cowok itu berbalik. Ia berdecak, lalu menatap pria separuh baya itu. "Ngomongnya entar sore aja deh, Pa. Udah jam enam lewat, bentar lagi Rafael telat."
Runa yang sudah duduk di kursi penumpang Pajero Sport Rafael, hanya bisa geleng-geleng kepala dengan cara bicara cowok itu yang terkesan ketus.
Daniel menghela napas. "Papa udah ngasih tau pihak sekolah tentang pernikahan kalian."
Runa ternganga, sedangkan Rafael masih menyetel muka datarnya. "Terus?" Cowok itu mengangkat kedua alis.
"Pihak sekolah nggak masalah asalkan kalian nggak lupa dengan tugas sebagai siswa. Jangan berbuat aneh-aneh di sekolah, jangan buat kehebohan juga," ucap Daniel lagi.
"Hmm." Tidak peduli masih ada yang ingin dibicarakan Daniel atau tidak, Rafael memasuki mobil. Tangannya bergerak hendak menutup pintu. Namun dengan gerakan cepat, ditahan Daniel yang memegang pintu tersebut. "Satu lagi. Papa lupa bilang udah beli rumah baru buat kalian berdua."
Perkataan Daniel berhasil menyita perhatian Rafael. Diliriknya ayahnya itu.
"Rumahnya emang nggak terlalu besar. Tapi, papa rasa cukup buat kalian sekarang. Jaraknya juga lebih dekat sama sekolah. Jadi, entar sore kamu sama Runa langsung pulang aja ke sana. Gimana?"
"Ngapain nanya pendapat Rafael? Biasanya juga Papa tentuin sendiri."
TERTOHOK!
Senyum lembut di wajah Daniel seketika memudar. Sedikit demi sedikit, kesedihan terpancar dari kedua mata yang sudah dihiasi keriput itu. Menyayat hati, meremukkan jiwa.
Rafael bukan tidak menyadari. Namun, ia berusaha mematikan hati. Pura-pura tidak peduli, pura-pura tidak mau menoleh, padahal ia sedang mencabik hatinya sendiri.
Runa mencengkram rok abu-abunya kuat-kuat. Ia cukup peka untuk tahu ketegangan di antara ayah dan anak ini. Tak ayal, hati Runa ikut gelisah. Berusaha mencairkan suasana, ia tersenyum. "P-pa, aku sama Rafael berangkat dulu, ya."
Senyum Daniel kembali. Dalam hati, ia lega atas kehadiran malaikat penyelamat ini. "Iya, hati-hati."
Begitu pegangan Daniel lepas, Rafael langsung membanting pintu keras. Tanpa menengok lagi, diinjaknya gas kuat-kuat meninggalkan pekarangan rumah Daniel.