Siang itu sangat terik. Runa dan Dita menahan rasa terbakar di kulit selama hampir satu jam duduk di halte depan sekolah. Tidak berapa lama menunggu, sebuah bus datang. Beberapa orang serempak berdiri, terburu-buru naik dan memperebutkan kursi yang terkenal langka di jam pulang sekolah seperti ini.
Namun, Runa dan Dita tetap bergeming, dengan tatapan hampa mengiringi kepergian bus yang dapat mengantarkan mereka ke rumah.
Runa lalu berdiri dan mengembuskan napas kasar. Tangannya mengepal kuat. Emosi yang telah mencapai ubun-ubun nyaris membuatnya memekik nyaring, karena harus menunggu mobil suami tercinta yang tega membuat sang istri terpanggang oleh panas Sang Surya.
Dita berdecak kesal. "Run, lo ke rumah gue aja kalo lo nggak tahu alamat rumah baru lo. Sialan emang Rafael! Tadi, dia sendiri yang chat nyuruh elo nunggu di sini pulang sekolah. Gue yakin sekarang dia lagi hangout sama salah satu selirnya."
"Nggak mungkin, Dit. Lo jangan suudzon gitu. Selir doang mah nggak level. Kalo Ratu-nya, baru iya! Dia pasti lagi manja-manjain ratunya yang suaranya kayak orang dicekik itu. 'Sayang, suara kamu kenapa? Pita suara kamu diseruduk truk, ya? Aku beliin permen pereda tenggorokan, ya'."
Dita sontak terbahak. "Bener banget lo! Tapi, kalo cewek drama gitu, sih, permen pereda tenggorokan mah kurang. Langsung ke klinik kali, atau dokter spesialis?"
"Spesialis penyakit jiwa," timpah Runa yang lagi-lagi membuat Dita terpingkal-pingkal. Sampai megangin perut!
Tiba-tiba sebuah Pajero Sport hitam berhenti tepat di depan halte. Runa dan Dita sontak menoleh. Apalagi ketika kacanya diturunkan dan memunculkan wajah Rafael. "Cepet naik!" perintah cowok itu seenak jidat.
Runa berdecak. "Sumpah, Dit. Gue selalu takut kalo deket-deket Rafael. Takut kesabaran gue habis, akal sehat gue hilang, terus gue bekep dia sampe kehabisan napas pas lagi tidur."
Dita terkekeh, kemudian memukul lengan Runa pelan. "Udah sono lo cepet naik! Tenang aja, kalo sampai bener kejadian, gue kunjungin lo tiap hari di penjara."
Runa melotot galak. "Awas, ya, lo!" Cewek itu berdiri. "Gue duluan, ya!"
"He-eh! Hati-hati, Neng!" ucap Dita pada Runa yang sedang memasuki mobil Rafael.
***
"Kalo nggak bisa, nggak usah sok buat janji! Bilangnya mau pulang bareng. Eh... tahunya ngaret sejam lebih!" oceh Runa. Cewek itu melipat tangan di depan dada. Kedua matanya menatap lurus ke jalan.
Rafael melirik Runa. Cowok itu mengedikkan bahu. "Gue kan, bilang pulang sekolah. Tapi, gue nggak bilang jam berapanya. Lo-nya aja yang terlalu semangat pingin ketemu gue. Begitu bel bunyi, lo langsung cabut ke halte."
Nah, sialan banget kan, tuh cowok! Runa melengos. Napasnya menggebu-gebu. Ia kepalkan kedua tangannya kuat-kuat, berusaha menahan tangannya yang sudah gatal pingin mencakar atau menjambak monyet di sebelahnya ini.
"Tahu deh, yang sibuk. Lo kan, harus ngejalanin tugas sebagai sopir dulu. Hari ini yang lo anterin pulang selir nomor berapa? Apa Ratu-nya yang lo anter? Mending ganti mobil lo sama Kopaja aja sekalian. Biar muat banyak. Jadi, nggak usah bolak-balik!" sindir Runa yang hanya membuat Rafael menyeringai.
***
Mobil Rafael memasuki sebuah kompleks perumahan mewah. Tidak lama, ia berhenti di depan rumah tipe minimalis yang didominasi warna putih.
Rafael melepas seatbelt-nya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia turun dari mobil. Menoleh pun tidak, dan jangan harap cowok itu akan membukakan pintu untuk Runa. Melihat Rafael memasuki rumah minimalis itu, Runa yakin ini rumah yang dibelikan Daniel.
***
"Di rumah ini kagak ada orang. Pembantu juga nggak ada. Papa nawarin beberapa pelayannya buat kerja di sini. Tapi, gue tolak. Gue nggak mau perjanjian kita nanti ketahuan," ucap Rafael sambil melangkah ke ruang TV. Cowok itu melempar tas sekolahnya ke sofa.
Ia menoleh ke arah Runa. Dilihatnya cewek itu masih terkagum-kagum dengan interior rumah minimalis itu. Rafael mendecakkan lidah. "Lo dengerin gue nggak, sih?"
Runa sontak terperanjat. Ia berdehem lalu mengangkat dagu. "Denger, kok! Ya, baguslah kalo kita cuman berdua di rumah ini. Berarti gue nggak perlu sekamar sama lo!"
Rafael bersidekap. Tatapannya tidak lepas dari Runa.
Seketika kening cewek itu berkerut. "Apa?" tanya Runa.
"Cuman ada satu kamar di rumah ini."
Cewek mungil itu melongo. "Nggak mungkin! Rumah sebesar ini masa iya kamarnya cuman ada satu?"
Rafael mengangkat bahu. Ia lalu berjalan, menaiki tangga sambil berkata, "ada kamar tamu, tapi dikunci. Kuncinya ada di mana, gue nggak tahu. Mungkin sama papa. Kalo lo minta kuncinya, gue berani jamin nggak bakal dikasih. Yang ada, dia malah curiga"
"Ya, udah! Gue tidur di sofa!"
Ucapan Runa berhasil menghentikan langkah Rafael. Cowok itu memegang pagar pembatas tangga, kemudian menyandarkan tubuhnya di sana. "Yakin mau tidur di luar?"
"He-eh!" jawab Runa mantap. Kedua matanya menyala. Sifat keras kepala cewek itu terbaca oleh Rafael.
Cowok itu terkekeh geli. "Segitu takutnya ya, lo sama gue?" ucap cowok itu pada diri sendiri. Begitu pelan hingga Runa tidak mendengar jelas. "Lo bilang apa tadi?"
Rafael mengangkat bahu. "Gue punya tawaran lain buat lo. Bukan tawaran bagus, sih. Tapi, masih mending daripada lo tidur di luar. Kayak lagi ngungsi aja lo."
Runa mengangkat kedua alis. "Apa?"
Rafael merogoh saku celananya. Kemudian, mengangkat sebuah kunci. "Cuman ini yang berhasil gue ambil tanpa sepengetahuan p
papa. Kamar pembantu. Letaknya ada di belakang, deket dapur. Mau, nggak?"
Runa terperangah, kemudian menggigit bibirnya. Ragu, tapi susah nolak juga. Lagian, tidur di luar juga tidak aman. Tidak ada kunci, yang artinya Rafael masih bisa mondar-mandir ketika cewek itu tidur.
Setelah menghela napas, akhirnya Runa membuka telapak tangan. "Sini kuncinya."
Rafael tersenyum miring. Dilemparnya kunci itu lalu ditangkap mulus oleh Runa. "Semoga tidur lo nyenyak... Mbok Runa," ledek Rafael. Cowok itu kembali menaiki tangga, dan Runa dapat mendengar tawa Rafael yang menggema.
"Sial. Pertama kalinya dia manggil nama gue, tapi ada embel-embel Mbok-nya," gerutu cewek itu kesal.