Runa mematut dirinya di depan cermin. Ia menguncir rambut panjangnya, memastikan seragamnya telah rapi, kemudian tersenyum puas. "Beres."
Suara dari arah dapur menarik perhatian Runa. Kepala cewek itu menyembul keluar dari balik pintu kamarnya yang mungil, mengintip Rafael--yang juga sudah rapi dengan seragamnya--sedang membuka kulkas, lalu mengeluarkan sebotol jus, menuang ke gelas, dan meminumnya.
"Mau berangkat?" tanya Runa, masih menyembunyikan tubuh mungilnya di balik pintu.
"Menurut lo?" jawab Rafael tanpa menoleh. Kemudian, cowok itu mengambil tasnya yang ada di atas meja makan dan berjalan hendak meninggalkan dapur.
"Eh!" Panggilan Runa menghentikan Rafael. Cowok itu berbalik, menatap cewek yang kini berdiri dua meter di depannya. "Apa?" jawab cowok itu malas.
"Tuh, bawa!" Runa menunjuk kotak kecil di meja makan.
"Itu apa?" Rafael mengerutkan kening.
"Bekal buat di sekolah, duh! Lo nggak pernah liat bekal, ya?" Runa memutar bola mata.
"Buat gue?"
"Nggak usah ge-er! Itu sisa. Tadinya gue cuman mau buat satu, tapi kebanyakan. Jadi, dengan sangat terpaksa gue kasih ke elo. Inget, ter-pak-sa!" Runa melipat tangan di depan dada, dengan dagu terangkat tinggi.
Namun, reaksi lawan ternyata di luar prediksi. Bukannya marah atau kesal, Rafael malah mengedikkan bahu tidak peduli. "Oh... ya, udah kalo nggak rela," ucapnya lalu pergi.
"Ih!" Runa melesat ke arah Rafael. Karena tahu kekuatan tubuh mungilnya kalah jauh dibanding tubuh kekar Rafael, ia keluarkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua tangan untuk menarik ransel Rafael hingga cowok itu berhenti. "Kaku banget, sih, hidup lo! Nggak tahu orang bercanda, ya?"
Rafael menoleh. Dengan satu alis terangkat, ditatapnya Runa.
Runa mengambil kotak bekal di atas meja. Kemudian, dipaksanya bekal itu ke tangan Rafael. "Bawa! Ukir kejadian ini di ingatan lo! Jadi pas waktunya kita pisah nanti, jangan ngomong gue nggak pernah ngejalanin kewajiban!"
Rafael menyipitkan mata, mengangkat bekal itu tinggi lalu ditelitinya. "Gue mulai curiga ada racun di dalamnya."
Runa kontan melotot. "Kagak ada racun! Mahal! Kenapa harus bayar kalo ada yang gratis kayak mantra guna-guna supaya elo cinta mati sama gue, jadi budak gue!"
Rafael terkekeh. "Lo mau ikut?" Satu hal yang tidak disukai Rafael adalah merasa hutang budi. Untuk sedikit kebaikan yang cewek itu tunjukkan padanya, ia akan melakukan ini.
"Ke mana?" Kening Runa berkerut.
"Skydiving ke segitiga bermuda! Ya, ke sekolahlah!" Rafael berdecak kesal.
"Terus, gue diturunin di tengah jalan lagi? Gitu?"
Rafael mengedikkan bahu. "Mau gimana lagi? Kalo nggak gitu, situasi kita bisa ketahuan."
"Ih, nggak mau! Mending gue nungguin dijemput Dita. Lebih ikhlas dia daripada lo!" balas Runa ketus lalu berjalan meninggalkan Rafael menuju ruang tamu.
***
Siang hari, matahari sedang panas-panasnya. Meski demikian, tidak dapat menghentikan jam olahraga di SMA BELAJARBHARSAMA.
Runa mengusap keringat di kening. Diangkatnya tinggi-tinggi bola voli di tangan kiri, sedangkan tangan kanan bersiap melakukan service atas. Dalam satu tarikan napas, ia pukul bola keras-keras hingga meluncur melewati net dan jatuh tepat di wilayah lawan.
Sorak sorai terdengar dari pinggir lapangan. Terutama dari teman-teman cewek di kelasnya. Bahkan, sampai ada yang standing applause! Jarang cewek bisa olahraga, apalagi voli. Begitu ada yang berhasil menaklukan iblis bejat—begitu para cewek di kelas Runa menyebut permainan voli—itu, maka akan dianggap wanita perkasa selama seminggu!
"Bagus, Karuna!" puji Pak Dadang, guru olahraga.
Pak Dadang melirik arlojinya. Kemudian, ia meniup peluit, mengumpulkan anak-anak didiknya agar berbaris di lapangan. "Bapak mau rapat sebentar. Kalian jangan berulah. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya!"
***
Seperti kuda liar yang dilepas di padang rumput, siswa-siswi kelas XII IPS 4 berkeliaran tidak terkendali. Kebanyakan anak cowok menggunakan jam kosong dengan efektif, tanding basket, sepak bola, ada lagi yang latihan voli.
Beda lagi sama yang cewek. Mereka juga efektif. Bahkan, terkesan kreatif! Jam kosong itu mereka gunakan untuk melatih kecepatan mulut—bergosip—dan olahraga organ perut—makan. "Dit, bagi tempe lo, dong," pinta Runa sambil mencomot tempe Dita.
"Seandainya pelajaran kita kayak gini setiap hari, ya, Run," oceh Dita sambil mengunyah.
"Kalo kayak gini terus setiap hari, yang ada bokap lo rugi," balas Runa.
"Sok bijak lo! Elo juga kan, yang paling semangat tadi!" ejek Dita yang dibalas dengan cengiran Runa.
"Eh, Run, liat tuh kelakuan laki lo," tunjuk Dita dengan dagu ke arah taman dekat lapangan voli.
Runa menoleh. Dilihatnya Rafael duduk di bawah pohon rindang bersama selir 004, Anggri. Mereka tampak mesra, tertawa-tawa dan penuh canda. Mengabaikan mata-mata jahil yang tidak henti-hentinya mengawasi.
"Mana selir yang lain? Kok, cuman satu?" ucap Runa dengan mulut penuh tempe.
"Lo nggak ada rasa cemburu? Sedikit pun?"
Runa sontak terbahak keras, sampai tersedak dan terbatuk-batuk. Cepat-cepat ia minum air mineral dingin yang dibelinya di kantin. "Cemburu? Hah! Nanti, ya, kalo Hercules otot-ototnya udah atrofi."