Runa berdecak kesal. Kedua mata tajamnya menyorot Rafael. "Bokap lo itu mikir apa, sih? Kita tuh masih SMA. Ijazah aja belom dapet."
Rafael mengedikkan bahu cuek sambil kembali mengancingkan jasnya.
"Gue mau buat perjanjian sama lo," ucap Runa.
Seketika cowok itu menoleh ke arah Runa. Kedua alisnya terangkat. Pandangan matanya mengikuti gerakan cewek itu yang sedang berjalan mendekati meja, mengambil kertas dan pulpen yang memang tersedia di sana, kemudian duduk di salah satu sofa.
"Duduk lo di situ," ucap Runa ketus sambil menunjuk sofa di hadapannya.
Rafael mengerutkan kening. Diam-diam ia bersikap awas. Bukan cuman cewek yang mesti hati-hati. Cowok juga banyak yang teraniaya. Apalagi sama cewek model Runa ini, cewek yang sulit ditebak. Tidak terbaca. Di balik tubuh mungilnya, wajah anggunnya, tersembunyi sebilah belati yang siap menancap tepat ke jantung lawan.
"Lo duduk aja di situ susah banget, sih?"
"Perjanjian apa maksud lo?" Akhirnya Rafael putuskan mengikuti permainan Runa. Ia membanting tubuhnya ke sofa yang ditunjuk cewek itu. Kedua matanya menajam. Sekecil apa pun pergerakan cewek itu, tidak lolos dari pengamatannya.
Runa menarik napas panjang. "Lo tahu kan, gue nentang keras pernikahan ini? Pengennya sih, gue unjuk rasa. Tapi, kurang sekutu. Satu lawan tiga, ya, jelaslah gue kalah. Sekalipun lo gabung sama kubu gue, tetep aja masih kalah jumlah. Apalagi posisinya bos sama anak buah. Orang tua kita bosnya, gue sama elo anak buah. Eh, nggak, deh. Kita cuman kuli! Soalnya pendapat kita sama sekali nggak dianggap!"
"Terus?" Rafael menaikkan kedua alis.
"Jadi...." Runa mengangkat kertas yang masih putih bersih di tangan kanan. "Karena protes terang-terangan pasti nggak bisa, nggak ada cara lain selain jalan belakang. Gue sama lo tetap nikah. TER-PAK-SA! Cuman di depan, cuman status, cuman sebuah perjanjian! Dan yang namanya perjanjian, pasti ada batas waktunya."
"Gue ngerti. Jadi, lo mau kita cerai setelah beberapa waktu menikah, kan?"
"Nah! Pinter lo!" ucap Runa sambil menjentikkan jari. "Gimana? Deal, nggak?"
Rafael mengedikkan bahu. Cuek. "Oke, nggak masalah."
"Bagus! Emang lo harus nggak masalah." Cewek itu tersenyum lucu, memunculkan kedua lesung pipinya.
"Berapa lama waktunya sampe kita cerai?"
"3 tahun aja gimana?" usul Runa.
Rafael menyeringai. Sifat usilnya muncul. "Lo yakin nggak rela nikah sama gue? Satu hari itu ada dua puluh empat jam, 86,400 detik, dan satu tahun itu ada 365 hari. Apalagi tiga tahun? Lo sebenarnya suka sama gue, kan? Bilang aja, gue fleksibel, yang penting lo akur sama cewek-cewek gue yang laen."
Runa kontan melotot. Cewek itu mendengus marah. "Minggu depan kita ke pengadilan bawa surat cerai!"
Rafael terkekeh sambil geleng-geleng kepala. "Lo pikir bokap gue sama orang tua lo nggak bakal curiga kalo secepet itu?" Cowok itu memajukan tubuhnya ke arah Runa. Ia kembali menyeringai. "Sampe lulus SMA, enam bulan dari sekarang. Itu penawaran dari gue!"
"OKE!" Saking semangatnya, Runa tiidak sadar menggebrak meja keras. Rafael yang melihatnya sontak terkekeh pelan. Tiba-tiba cowok itu teringat sesuatu. Kembali ditatapnya Runa. "Ada lagi!"
"Apa?" Runa yang sedang sibuk menulis kontraknya dengan Rafael, mengangkat kepala dan menatap cowok itu.
"Karena elo yang terang-terangan minta pernikahan kita cuman hitam di atas putih, gue juga mau minta privasi. Lo nggak boleh ikut campur urusan pribadi gue. Gue jalan sama siapa, lo nggak boleh ngatur. Dan jangan coba-coba minta gue putus sama cewek-cewek gue!"
Cewek itu meletakkan satu tangan di depan dada. Tubuhnya membungkuk. Dengan laga seorang ajudan yang sedang hormat pada rajanya, Runa berkata, "boleeeeh... Silakan Protelemus XVI Rafael Dafano Yang Terhormat. Silakan jalan sama selir-selir lo, atau lo mau tambah selir? Yang ngipasin lo sama nyuapin anggur ke mulut lo kurang? Nggak apa-apaaa... tambah aja lagi. Sampe bisa ngebentuk satu kerajaan kalo perlu."
"Ya, udah, masukin itu ke perjanjian kedua!"
"Sip!" jawab Runa sambil mengacungkan jempol. Kemudian, ia kembali menulis. "Nah, sekarang giliran gue. Gue nggak mau jadi cewek teraniaya. Gue mau merdeka. Sama kayak elo, jangan coba-coba ngusik privasi gue, dan kalo suatu saat nanti ada cowok yang gue suka, buat gue nyaman, lo harus lepasin gue."
"Deal," jawab Rafael cepat. Sama sekali tidak pakai mikir lagi. "Udah? Sini gue tanda tangan."
"Eits, entar dulu." Runa menjauhkan kertas yang hampir disambar Rafael.
"Apa lagi, sih?" sahut cowok itu sewot.
Runa mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. "Materai! Biar sah di mata negara!"
Rafael mendecakkan lidah. "Nggak sekalian pake cap jari?" Niatnya sih, mengejek Runa. Namun, ia kembali dibuat tercengang ketika Runa mengangguk dengan polos. "Brilliant juga ide lo."
Cowok itu menggeleng heran. Apa sih, isi dari otak cewek ini?
"Nih, tanda tangan!"
Rafael mengambil kertas di tangan Runa. Setelah menorehkan tanda tangan di atas materai, tidak lupa dengan cap ibu jari, mereka berjabat tangan, pertanda bahwa kesepakatan telah dicapai. Bersamaan dengan itu, pintu tiba-tiba dibuka.
Secepat kilat, Runa melepas tangannya dari Rafael. Dengan keahlian yang membuat gerakannya tidak kasat mata, ia simpan rapi kertas perjanjian mereka.
"Kalian lama banget. Acaranya udah mau mulai loh," ucap Daniel yang sudah berdiri di pintu.
"Iya, Om. Eh, maksud Runa, Pa...," ralat Runa cepat begitu Daniel menajamkan matanya.
"Yuk." Rafael berdiri, lalu mengulurkan tangan ke arah Runa. Tidak ada pilihan lain untuk cewek itu selain menyambut uluran tangan Rafael, terutama dalam radius pengawasan Daniel.
***
"Jari kamu kenapa, Rafael? Kenapa ada tinta biru gitu?" tanya Daniel heran.
Rafael seketika menyeringai. Ia melirik Runa yang sedang digandenganya di sebelah kanan. "Abis ikut pemilu, Pa"
Kening Daniel berkerut. Belum sempat ia bertanya lagi, pintu grandballroom telah dibuka, menampilkan para tamu yang langsung berdiri menyambut pasangan muda itu, diiringi tepuk tangan meriah hingga menggema ke penjuru ruangan.
"Hebat! Udah berapa lama Papa nyiapin ini semua diem-diem?" gumam Rafael pelan, lebih pada diri sendiri. Namun Runa yang berada persis di sebelahnya, mau tidak mau dengar ucapan cowok itu.
Runa menebarkan pandangan berkeliling. Hampir semua yang hadir, tidak dikenalnya. Kemungkinan mereka keluarga besar Dafano, atau nggak teman bisnisnya Daniel.
Ia lalu menangkap sosok kedua orang tuanya, sedang berdiri di sebelah panggung. Mama-papanya tersenyum haru. Namun, Runa dapat melihat sedikit rasa bersalah dari raut wajah Melinda.
"Senyum," bisik Rafael di telinganya, hingga Runa tersentak kaget. "Kalo wajah lo kayak prajurit siap maju ke medan perang gitu, orang-orang bisa ngira gue nganiaya elo."
Dengan perasaan kesal bercampur sedih dan hati yang tidak dapat dibuat ikhlas, Runa menarik ujung bibirnya kaku.