Chapter 2 - Singa Lapar

"Iya, mama sama papa salah karena nggak ngasih tau kamu dulu. Mama minta maaf soal itu. Tapi kalo kami bilang, emangnya kamu bakal dateng?" 

"Ya, nggaklah, Ma!" 

"Nah, kan...." 

"Ma, ngapain sih, pake dijodohin segala? Kesannya Runa nggak laku banget. Ngenes, Ma! Padahal Runa bisa kok, cari pacar sendiri. Runa juga bukannya nggak pernah pacaran. Sampe saat ini mantan pacar Runa udah ada tiga." 

"Nah, itu dia. Itu tuh yang buat papa langsung terima tawaran Pak Daniel. Semua cowok yang kamu bawa pulang nggak ada yang menuhin kriteria papa. Apalagi pacar pertama kamu. Siapa dia namanya? Ruler?" 

"Rully, Pa," koreksi Bu Melinda. 

"Iya! Si Rully-Rully itu. Cowok kok, pake anting? Nggak sekalian pake rok dia," gerutu Pak Rudi kesal. 

"Pa, itu namanya trend. Keren, Pa! Rully kan, anak band! Namanya juga jaman modern. Papa sih, kalo nonton maunya film silat jaman dulu doang. Rumah bilik udah berubah jadi gedung pencakar langit aja Papa nggak nyadar kali."  

"Runa! Jaga omongan kamu kalo bicara sama orang tua!" hardik Melinda.

Seketika Runa menunduk. Bibirnya manyun. "Maaf," ucapnya pelan dengan kepala tertunduk. 

"Anak jaman sekarang itu terlalu gampang terbawa arus. Nyontoh kok, budaya barat? Ngefans itu harusnya sama Pak Soekarno, mati-matian membela Indonesia. Atau nggak, Pak Gusdur, memperjuangkan keanekaragaman bangsa. Jangan malah anak band kamu gila-gilain," oceh Rudi lagi. 

"Papa juga nggak setuju sama pacar kedua dan ketiga Runa!" protes Runa tidak terima. 

"Oh, kalo Angga sama Reno mama juga nggak setuju. Angga kerjaannya jadi DJ. Mama denger dia sering minum. Reno apalagi, katanya dia pernah dikeluarin dari sekolah karena bawa senjata tajam dan rokok ke sekolahnya, kan?" timpal Melinda. 

"Ini semua buat kebaikan kamu Runa. Anak papa kan, cantik. Papa nggak mau kamu dimanfaatin lelaki. Papa cuman mau nyelamatin kamu dari para buaya darat di luar sana," ucap Rudi lagi. 

"Nyelamatin dari buaya darat tapi kok, dilempar ke kandang singa?" gerutu Runa pelan. Sangat pelan! Namun ternyata, masih tertangkap oleh pendengaran Rudi dan Melinda. 

"Kamu bilang apa, Sayang?" tanya Melinda. 

Runa berdecak kesal sambil melipat tangan di depan dada. "Ma, Rafael itu playboy sejati. Mama sama Papa nggak tahu aja kelakuan dia di sekolah. Ceweknya banyak. Bertebaran! Wihhh... nyaingin pasir di pantai kali. Yang terakhir Runa denger aja, sekarang Rafael lagi pacaran sama empat cewek. Em-pat ce-wek! Bayangin tuh. Musuh cewek banget kan, tuh cowok?"

"Tapi, Rafael mainnya fair. Dia terang-terangan, nggak sembunyi-sembunyi. Itu sih, salah ceweknya aja yang mau. Lagipula papa juga tahu kok, kalo semua pacar Rafael itu cuman status doang. Nggak ada yang beneran di hati." 

"Aduh, Pa...." 

"Pokoknya papa nggak mau tahu. Besok kamu minta maaf sama Rafael." Final! Ya, sudah. Kalau sudah begini mau bicara pakai logat betawi pun, kagak bakalan dianggap. 

Dengan malas, Runa menyandarkan kepala. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Matanya terpejam, berusaha menghindari pembicaraan agar posisinya tidak jatuh semakin dalam. 

*** 

Seperti biasa, pagi itu Melinda sibuk menyiapkan sarapan di dapur, sedangkan suami tercinta—Rudi—menyesap kopi di meja makan, tidak lupa sambil memegang buku bacaan wajib di pagi hari, koran. 

Tidak lama kemudian, Runa terburu-buru menuruni anak tangga. Ia mengambil roti panggangnya di atas meja. Makan secepat kilat, langsung menegak susu hangatnya kemudian.  

"Pelan-pelan, Sayang," ucap Melinda sambil meletakkan sarapan suaminya ke meja. 

"Buru-buru, Ma. Runa udah telat, nih." Runa menghampiri Melinda. Dikecupnya pipi wanita itu pelan, selanjutnya pipi papanya, Rudi. "Runa berangkat dulu, ya!" ucap cewek itu sambil lari ke pintu keluar. 

"Inget, Rafael!" ucap Rudi dengan kedua mata tidak lepas dari koran. 

Runa memutar bola mata malas. Kemudian, ia berlari keluar. 

"Kamu berangkat sama siapa ke sekolah?" tanya Rudi. 

"Sama Dita! Entar Runa dijemput di pengkolan." Sayup-sayup, suara Runa terdengar dari ruang tamu. Rudi dan Melinda menggeleng pelan. 

Setelah mereka tidak lagi mendengar suara putrinya, kedua orang itu berpandangan. Melinda menghela napas. "Papa udah bilang ke Runa?" 

"Nanti dia juga tau sendiri," jawab Rudi tenang sambil kembali menyesap kopinya. 

***

"Duh, lama banget sih, si Nenek!" gerutu Runa tidak sabaran sambil melirik arloji di tangan kiri. Jam enam lewat lima belas menit. Tiga puluh menit lagi bel sekolah berbunyi. Padahal perjalanan dengan mobil dari tempat Runa berada, makan waktu tiga puluh lima menit. Tamat sudah. 

"Naik bus aja, Neng," saran Mang Dudut, penjaga warung di pengkolan. 

Runa hanya nyengir menanggapi ucapan Mamang itu. 

Tiba-tiba mobil sedan hitam mewah, berhenti tepat di depan Runa. Kening cewek itu berkerut. Matanya menyipit. Ia menunduk, berusaha mengintip ke dalam mobil. Namun, kacanya terlalu gelap. "Orang yang mau jemput Eneng kali," celetuk Mang Dudut. 

Runa menoleh ke arah si Mamang. Wajah cantiknya nampak kesal. "Ya, kali, Mang! Taksi aja kagak kebayar. Boro-boro nyewa Mercy!" 

Tidak berapa lama kemudian, beberapa orang berjas hitam turun dari mobil. Mereka melirik Runa. Kemudian, mengeluarkan secarik foto dari kantong jas. Melirik Runa lagi, lalu mengangguk serempak. Sampai akhirnya, mereka mendekati cewek itu. 

Wajah Runa memucat. Apalagi ketika dua orang ber-jas hitam, memegang kedua lengan cewek itu. "Mang! Mamang! Tolongin Runa, Mang!" panik Runa. 

Mang Dudut kalang kabut. Ia hendak menghampiri Runa, beberapa saat mundur lagi. Niat maju, mundur lagi. Kemudian, ia komat-kamit berdoa agar diberi perlindungan dan kesaktian sesaat oleh Yang Kuasa. Begitu dia memantapkan hati untuk menolong cewek malang itu, eh... dia langsung dihadang oleh salah satu orang berjas hitam yang body-nya, WAW, nyaingin Big Show, Bro! 

"Apa?" pelotot si Big Show KW galak. 

"Itu... anu...aduh, Neng Runa...," jawab Mang Dudut gagap. Ya jelas, leluhur Mang Dudut kan, kurcaci. Makin ke sini keturunannya makin ngenes lagi. Udah kecil, pendek, cuman tinggal kulit dan tulang doang! 

"MAMANG! HELLLEEPPP!" Terlambat... Runa sudah didorong masuk ke dalam mobil. Kemudian mobil itu melaju kencang, tidak ada kesempatan cewek mungil naas itu melarikan diri. 

*** 

"Aduuuh... kamiu bening benyong! Eike sampe salting!" 

Kedua mata Runa melotot. Mulutnya menganga. Kaget. Bingung. Apalagi ketika berhadapan dengan manusia luar biasa di hadapannya. Cantik, mulus, modis. Gila, oke bangeeeeet! Tapi kok, berjakun ya? 

"Gue di mana?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Runa. 

"Aduh, Cin! Udah siang! Kamiu ke mana ajijah? Ini salon eike," jawab si cewek, eh si cowok. Eh, si manusia ajaib sambil menawil dagu Runa.