Keluarga Arman kini bersiap dengan acara pernikahan Aliya yang hanya menghitung hari. Dan sejak Devano datang melamar Aliya, gadis itu sanhat bahagia. Dia mempersiapkan semuanya dengan kebahagiaan. Arman dan Eva pun juga tertular aura bahagia dari Aliya. Bima dan kedua orangtuanya yang dikabari beberapa jam setelah pertemuan itu, ikut berbahagia. Bima berharap Devano sungguh-sungguh dengan keputusannya. Agar Aliya tidak merasa sedih lagi.
"Selamat ya, Al. Sebentar lagi akhirnya kamu mau menikah," ucap Bima saat melihat Aliya sudah berdandan cantik dengan kebaya warna putihnya dengan sanggul sederhana namun terlihat elegan dan cantik.
"Iya Bim, makasih banyak. Semua karenamu juga. Kalau kita tidak bertemu Zivana, mungkin Kak Vano tidak akan kembali untuk menikahiku."
"Apa kamu percaya dengannya, Al?"
"InsyaAllah aku percaya, Bim."
"Ya sudah aku mendukung setiap keputusanmu."
"Eh, gimana perkembangan hubunganmu dengan Zivana, Bim? kapan kamu akan mengutarakan perasaanmu padanya?"
"Secepatnya, Al. Kalau aku sudah memastikan dia juga suka sama aku, aku akan segera melamarnya." Bima tersenyum-senyum membayangkan dirinya melamar Zivana.
"Segeralah Bim. Nanti keburu diambil orang. Kamu nyesel lho."
"Iya, Al tenang saja. Aku gentle koq. Hehehehe."
"Keluarga Vano datang jam berapa?"
"Sebentar lagi mungkin. Aku hubungi kak Vano dari tadi ga tersambung."
"Oh ya sudah. Aku keluar dulu ya. Aku coba telpon Zivana." Aliya mengangguk.
Bima keluar kamar Aliya dan menelpon Zivana. Pembicaraan mereka kali ini sangat serius.
Sesat kemudian keluarga Vano datang. Membuat Aliya berseri-seri. Sebentar lagi, dia akan resmi menjadi istri Vano.
********
"Saya terima nikah dan kawinnya Davina Aliya Rosa binti Arman Wicaksana dengan mas kawin tersebut tunai."
"Bagaimana para saksi sah?"
"Saaah..."
"Barakallah... "
Aliya mencium punggung tangan laki-laki yang baru saja sah menjadi suaminya. Suami yang sebenarnya tidak diharapkannya. Zivana yang melihat semua itu terpaksa keluar ruangan karena tak sanggup melihat perjanjian seorang laki-laki dengan Tuhannya untuk meminang seorang perempuan yang baru saja dikecewakan oleh kakak kandungnya sendiri.
'Keterlaluan kamu, kak.' ucapnya lirih, airmatanya berderai. Karena tak sanggup melihat laki-laki yang dicintainya kini sudah menjadi milik orang lain. Meski terpaksa.
"Aliya, ayo cium tangan suamimu Nak," Indira menyuruh Aliya yang tampak ragu mencium punggung tangan Bima. Yang kini sudah sah menjadi suaminya. Meski buku nikah mereka terpaksa harus diganti karena perubahan nama calon mempelai laki-laki. Ya Vano tidak datang pada acara pernikahan yang seharusnya dilaksanakan hari ini.
FLASHBACK ON
"Halo Zi, sudah sampai mana?"
"Maaf Bim, kak Vano menghilang. Dia tiba-tiba saja pergi tanpa kabar. Sejak semalam dia bilang mau keluar. Dan sampai saat ini dia belum pulang."
"Maksudmu Vano kabur?"
"Aku ga tau. Ayah sedang mencari. Bagaimana ini Bim? Padahal tinggal tiga puluh menit lagi ijab qabul akan segera dimulai." Mendengar penuturan Zivana, membuat Bima benar-benar frustasi. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa pada kedua orangtua Aliya tentang hal ini. Dia mondar mandir setelah menutup telepon dari Zivana.
"Ada apa Bim?" Arman yang melihat gelagat Bima tidak biasa segera mendekati pemuda itu dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Eh.. Om.. itu.. emm.. anu Om.."
"Mau ngomong apa sih kamu Bim? sepertinya ada yang membuatmu tidak nyaman."
"Iya, Om.. Barusan Bima menelpon Zivana, adiknya Vano. Katanya sejak semalam, Vano tidak pulang Om. Zivana kebingungan. Ayahnya sedang mencari Vano."
"Astaghfirullah.. sudah kuduga.. Vano hanya mempermainkan pernikahan ini. Kalau bukan karena demi kebahagiaan Aliya, aku juga tidak ingin Vano menikahi Aliya, Bim. Kalau sudah begini bagaimana ini?"
"Ada apa Man, Bim?" Satya tiba-tiba menghampiri mereka berdua setelah melihat raut wajah keduanya yang tampak panik.
"Vano kabur, Sat. Bagaimana ini? Tamu-tamu sudah pada datang. Penghulu juga sebentar lagi sampai. Apa harus dibatalkan saja?"
"Om, itu keluarga Zivana datang." Bima segera berlari menghampiri Zivana dan kedua orangtuanya.
"Bagaimana Zi? Vano mana?"
"Maaf, kami belum menemukannya, Bim. Ayahku sudah mengerahkan banyak orang untuk mencarinya. Tapi belum ketemu."
"Bagaimana ini Pak Fatih? anak anda benar-benar sudah mencoreng muka saya. Saya kurang sabar apa menghadapi Vano? kalau tahu semua akan seperti ini, lebih baik Aliya seorang diri saja. Tidak perlu dinikahi oleh Vano." Arman benar-benar marah pada Fatih.
"Maaf Pak Arman. Semua ini salah saya. Harusnya semalam saya melarang dia pergi. Selama ini dia tampak antusias dengan pernikahannya. Tapi saya juga tidak tahu dia bisa tiba-tiba menghilang seperti ini."
"Lalu saya harus bagaimana ini Pak Fatih. Saya malu di depan banyak orang. Belum lagi saya harus menguatkan mental Aliya agar tidak down. Apa Vano memang ingin anak saya mati pelan-pelan?"
"Man, penghulu sudah datang. Bagaimana? apa kamu mau membatalkan pernikahan Aliya?" Satya segera menemui penghulu mewakili Arman. Arman terdiam dia memijit pelipisnya. Pening sekali rasanya. Eva dan Aliya belum mengetahui hal ini.
"Jangan dibatalkan, Om. Biar Bima saja yang menikahi Aliya. Aku tidak ingin Aliya sedih dan terpukul." Perkataan Bima barusan tentu seperti hantaman batu yang sangat keras di hati Zivana. Benarkah Bima akan melakukan hal itu? lalu bagaimana dengan hatinya? Zivana menunduk dan menitikkan airmata. Dia tak kuasa menahan perih di hatinya.
"Kamu serius Bim?"
"Iya Om Bima serius." Bima mengabaikan perasaannya pada Zivana demi sahabatnya yang sangat disayanginya. Aliya lebih membutuhkan dirinya ketimbang Zivana. Entahlah Bima hanya ingin berkorban demi Aliya. Bima berjalan mendekati Kania meminta restu dari Mamanya.
"Ma, ijinkan Bima menikahi Aliya ya, Ma. Vano kabur. Dan Aliya pasti akan sangat terpukul dengan kejadian ini. Biarkan Bima menikahi Aliya, Ma."
"Bima, kamu serius dengan apa yang kamu katakan, Nak? Menikah itu tidak untuk main-main Bima?" Indira sampai meneteskan airmata. Dia sebenarnya tidak ingin putranya bertanggung jawab atas apa yang tidak ia perbuat.
"Ya Allah bagaimana ini, Aliya pasti terpukul kalau tahu Vano kabur." Eva yang sudah berdandan dan mengenakan kebaya, tak tega dengan nasib yang dialami putrinya.
"Baiklah, Mama merestuimu, Nak. Kalau memang ini jalan yang terbaik untukmu dan Aliya, mama ikhlas. Tapi ingat Bima, kamu ikhlas menerima anak Aliya yang bukan darah dagingmu?"
"InsyaAllah Mah. Bima ikhlas." Indira memeluk Eva dan mereka menangis. Ingin rasanya Indira melarang. Tapi dia mencoba berada di posisi yang sama dengan Eva. Bagaimana jika itu terjadi dengan anaknya sendiri. Dia tidak bisa menghalangi niat baik Bima.
FLASHBACK OFF.
Aliya memandang Bima dengan tatapan sendu. Dia yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba saja harus dihadapkan dengan situasi ini. Dinikahi oleh sahabatnya sendiri. Apa pantas Bima menikahinya? Bima terlalu baik untuknya. Alit melihat Zivana yang berdiri di depan pintu rumah dengan deraian airmata.
"Bim, lihat Zivana.. Dia menangis."
Bima menoleh ke arah Zivana. Dan gadis itu langsung menghapus airmatanya. Lalu segera pergi menjauh.
'Jangan pergi cinta.'