Menikah tanpa cinta sangatlah berat. Tapi Bima berusaha untuk melakukan semuanya dengan ikhlas. Kini dia harus mengubur dalam-dalam cintanya pada Zi. Sudah satu bulan Bima dan Aliya menikah. Dan selama satu bulan itu pula, Bima tidur terpisah dari Aliya. Dia belum bisa jika harus tidur berdua. Meski cepat atau lambat dia harus bisa menerima kehadiran Aliya dan memberi nafkah batin sebagaimana mestinya. Tapi tidak untuk sekarang. Selain karena kondisi kandungan Aliya yang lemah, juga karena dia belum bisa mencintai istrinya.
"Nanti sepulang kuliah, aku langsung ke pabrik ya, Al.."
"Iya Bim. Hati-hati."
Sejak menikah, Satya memberikan pekerjaan untuk Bima. Sekarang dia mengurusi pabrik pengolahan makanan instan peninggalan Kakeknya. Kini Satya memberi kuasa pada Bima untuk mengurus salah satu pabriknya.
Bima tahu dia sekarang harus mandiri karena ada istri yang harus dia nafkahi. Dia harus membagi waktu antara kuliah dan kerja. Dan hari ini dia harus kuliah seorang diri karena Aliya tidak enak badan. Dengan hubungan halal seperti sekarang, Bima jauh lebih leluasa melindungi dan menemani istrinya.
Bima masih mengendarai motornya. Satya sempat ingin memberi Bima mobil dan rumah namun tidak Bima terima. Selain karena rumah mertuanya yang tidak cukup jika untuk memarkir dua mobil, juga karena Bima ingin membeli dari hasil keringatnya sendiri.
Sudah satu bulan ini, Bima tidak pernah melihat Zivana di kampus. Entah kemana gadis itu. Bima memang belum pernah mengungkapkan cinta pada Zivana. Tapi entah kenapa Bima merasa Zivana juga memiliki perasaan yang sama. Kalaupun benar, apa gadis itu sekarang sedang sakit hati karenanya hingga menghindar dan tak mau bertemu dengannya?
Baru saja dia sampai di parkiran kampus, dia melihat Zi sedang melepas helmnya. Dengan cepat Bima memarkir motornya. Dia ingin menemui Zi. Sekadar ingin menanyakan Devano.
"Assalamualaikum, Zi," salam Bima membuat Zi kaget. Enggan menoleh karena dia tahu siapa pemilik suara itu. Hingga Bima berjalan maju dan berdiri tepat di depan motor Zi.
"Wa'alaikumsalam.. Bim."
"Kamu kemana saja? koq tidak pernah kelihatan?"
"Aku ga kemana-mana. Aku masih kuliah koq tiap hari."
"Oh ya? aku koq ga pernah ngliyat kamu, Zi?"
"Iya aku sering di perpus koq sekarang. Maaf ya Bim. Aku harus segera masuk ke kelas."
"Bentar Zi. Kabar Devano bagaimana? apa di sudah ketemu?" Setelah acara pernikahan, Indra sengaja memutuskan hubungan dengan keluarga Devano. Termasuk kedua orangtuanya. Bima maklum karena Indra pasti sangat sakit hati dengan kejadian waktu itu.
"Dia sudah pulang. Dan Ayah ibuku marah besar sama dia. Sampai sekarang mereka tidak mau bicara dengan Kak Vano. Udah dulu ya. Aku buru-buru." Zi segera menjauh dari Bima lalu setengah berlari meninggalkan Bima sendirian. Zi tidak bisa membendung airmatanya. Orang yang ia cintai kini sudah jadi milik orang. Itulah kenapa dia menghindar. Dia takut akan lebih susah melupakan Bima jika dia masih bertemu dengan lelaki itu.
'Zi, maafkan aku. Aku tahu dari sorot matamu. Tapi apa aku terlalu percaya diri jika menganggapmu menyukaiku?. Jika memang benar, aku ingin sekali minta maaf. Kalau saja kakakmu tidak kabur di hari pernikahan, mungkin tidak akan seperti ini jadinya.'
Bima berjalan menuju gedung tempat ia akan kuliah hari ini. Dia baru semester awal. Masih lama perjalanannya. Apalagi sekarang dia punya tanggung jawab. Dia harus kuliah yang bener, biar bisa lulus tepat waktu.
Dua mata kuliah sudah ia jalani hari ini. Lelah, tentu saja. Tapi dia harus segera berangkat ke pabrik untuk bekerja. Dia mengambil motor kesayangannya terlebih dahulu. Berharap bisa bertemu Zivana lagi. Tapi ternyata tidak ada. Bima kecewa. Dia benar-benar berusaha melupakan gadis itu. Dia tidak ingin menyakiti istrinya jika ia masih berharap pada Zivana. Ini sudah menjadi konsekuensi dari keputusan yang sudah dia ambil.
Baru keluar dari gerbang kampus, Bima melihat seorang yang dengan santainya bersendau gurau, tertawa terbahak bahak hingga membuat Bima sakit hati. Bagaimana bisa orang itu bersenang-senang di atas penderitaan Aliya. Yang juga terpaksa menikah dengannya.
Tanpa pikir panjang Bima langsung membelokkan motornya ke cafe yang ada di depan kampus. Orang itu bersama teman-temannya tidak menyadari kehadiran Bima. Dengan tatapan tajam, Bima menghampiri Devano yang sedang menyesap kopinya.
"Uhuk-uhuk!!" Devano tersedak saat Bima menepuk pundaknya dari arah belakang.
"Apa-apaan lo? Lo Bima kan?"
"Iya, kenapa? gue ke sini mau ngobrol empat mata sama lo. Gue ga mau cari ribut. Tapi lo musti tahu tentang ini."
"Gue ga mau ngomong sama lo. Pasti soal cewek gatel itu." Mendengar Devano menghina Aliya, Bima naik darah. Dia mencengkram kerah baju Devano dan menatapnya dengan tajam. Semua teman-teman Devano sampai terkejut dengan sikap Bima yang begitu berani terhadap Devano.
Mereka berusaha melewati, tapi Bima enggan untuk melepaskan cengkramannya.
"Jangan pernah lo hina Aliya lagi. Lo udah bikin dia menderita. Gue ke sini karena gue pengen lo tahu. Kalau Aliya sekarang sudah jadi istri gue. Dan jangan pernah coba-coba buat deketin dia lagi. Karena gue yakin lo bakal nyesel suatu hari nanti karena udah nyia-nyia in Aliya. Lo ga kan pernah gue ijin buat nyentuh anaknya Aliya. Lo itu pecundang.. Lihat saja nanti lo bakal menyesali semua yang udah lo lakuin."
"Gue ga akan menyesal, Bima. Gue malah bersyukur lo mau nikahi perempuan itu. Setidaknya gue sekarang bisa bebas main sama temen-temen gue. Gue bisa kuliah lagi sama deketin cewek-cewek lagi. Selamat ya lo udah dapet bekas gue."
"Bughh!!" Bima benar-benar tak terima Devano lagi-lagi menghina istrinya. Semua yang ada di sana terkejut dengan sikap Bima yang tiba-tiba memukul Devano. Hingga pemilik cafepun ketakutan.
"Berhenti jelekin Aliya.. Gue cuma mau peringatin elo.. Jangan pernah temuin Aliya atau anaknya sampai kapanpun. Karena gue ga akan pernah ngizinin hal itu." Bima melepaskan cengkramannya. Dia puas sekali sudah memukul Devano. Zivana tiba-tiba berdiri dekat pintu masuk cafe. Tadinya dia ingin melerai. Tapi mendengar Bima begitu membela Aliya habis-habisan di depan kakaknya, Zivana akhirnya diam mematung di sana.
Bima melihat Zivana sekilas, tanpa menegur, Bima langsung pergi begitu saja mengambil motornya. Mata Zivana berkaca-kaca melihat sikap Bima barusan yang tak lagi mau menyapanya. Akankah dia kuat jika terus berada di kota itu, di kampus itu? Zivana pikir mungkin dengan pergi menjauh, dia bisa melupakan Bima lebih cepat. Ya pergi mungkin akan lebih baik untuknya.
*********
Apakah Zi benar-benar akan pergi.
Mereka ini saling mencintai tapi tak mementingkan ego. Bima tetap menjaga perasaan istrinya. Sedangkan Zivana juga memilih melupakan dari pada berharap terlalu jauh.
Apakah suatu saat mereka bisa bersatu?
Author pun tak tahu.
kalau kalian bagaimana?
Yuk komen dan vote.