Chereads / JANGAN PERGI CINTA / Chapter 19 - TIDAK MERASA BERSALAH.

Chapter 19 - TIDAK MERASA BERSALAH.

Bima menatap sendu mengingat kepergian Zivana tadi. Dan di sinilah dia sekarang. Di kamar Aliya. Aliya masih belum percaya kalau dirinya kini menjadi istrinya Bima. Bukan Vano. Padahal sejak seminggu yang lalu dia berharap menikah dengan Vano. Tapi kenyatannya sekarang malah menjadi istrinya Bima. Sahabat yang tidak pernah terbayang olehnya menjadi suaminya.

"Kenapa kamu mengorbankan dirimu untukku, Bim? kamu tidak perlu melakukan semua ini untukku. Semua ini bukan main-main Bim."

"Aku tidak bisa membiarkanmu kecewa lagi karena Vano tidak datang saat pernikahan kalian, Al."

"Biar saja aku malu, Bim. Memang mungkin aku pantas mendapatkannya. Kalau sudah begini,  bagaimana hubunganmu dengam Zivana?"

"Sudahlah, Al. Aku akan melupakan dia. Sekarang kita suami istri, dan aku akan menjagamu."

"Kenapa kamu selalu berkorban untukku, Bim? Padahal ini salahku sendiri." Aliya menangis, dia masih mengenakan kebaya putihnya. Dan untuk pertama kalinya Bima merengkuh Aliya dalam pelukannya.

"Aku tidak mau melihatmu menderita, Al. Dulu waktu kita kecil aku selalu membuatmu menangis. Tapi setelah kita dewasa, aku menyayangimu sama seperti aku menyayangi Karina. Aku tidak mau melihatmu sedih. Apalagi dengan kondisimu seperti ini."

"Terimakasih, Bim. Bagaimana bisa aku membalas kebaikanmu? Bima, kalau aku sudah melahirkan nanti, kamu boleh menceraikanku. Aku ingin kamu bersama dengan Zivana. Aku juga ingin melihatmu bahagia."

"Sudahlah, Al. Pernikahan itu tidak untuk dipermainkan. Jangan bilang kata cerai lagi. Sudah jangan memangis lagi. Gantilah bajumu. Untuk sementara, aku tidur di bawah saja ya. Kamu tidur di atas."

"Iya Bim." Bima keluar dari kamar karena Aliya akan berganti pakaian. Walau Bima tahu menikahi wanita yang pernah berzina hukumnya makruh atau sebaiknya tidak dilakukan, Bima melakukan itu karena sayangnya dia pada Aliya. Meskipun dia belum bisa memberi nafkah batin pada Aliya. Dia hanya ingin melindungi Aliya dan janin yang ada dalam kandungannya.

"Mau kemana Bim?" Arman menegur Bima saat Bima akan keluar dari rumah."

"Mau duduk di teras depan, Om."

"Bim, kamu ini sudah jadi menantu Om. Jadi mulai sekarang kamu panggil Om, Papa dan tante Eva Mama ya."

"Iya, Pah."

"Bim, ada yang perlu Papa omongin sama kamu?"

"Tentang apa Pah?" Bima dan Arman duduk di tepian teras rumah Arman. Rumahnya kini sudah bersih. Orangtua Devano sudah mengurus semuanya. Mulai dari tenda dan katering. Lalu ada yang membersihkan saat selesai. Semua Fatih yang mengurusnya. Keluarga Arman hanya menyediakan tempat.

"Terimakasih kamu sudah mau berkorban untuk Aliya. Papa tidak tahu harus membalas kebaikanmu dengan apa. Tapi hari ini kamupun secara tidak langsung telah menyelamatkan kami semua dari omongan miring para kerabat dan tetangga."

"Tidak apa-apa Pah. Bima ikhlas. Bima hanya ingin melindungi Aliya."

"Entah apa yang dipikirkan Devano. Lelaki itu benar-benar keterlaluan. Kenapa dia harus datang dan meminta cepat-cepat menikahi Aliya kalau pada akhirnya tidak datang di hari pernikahan mereka?"

"Sudahlah Pah. Tidak usah diungkit lagi tentang Devano. Sejak Aliya bilang Devano mau menikahinya, aku sudah curiga. Tapi aku tidak mau merusak kebahagiaannya Aliya."

"Bim, jujur Papa senang karena pada akhirnya kamu yang menikahi Aliya. Papa tahu kamu seperti apa. Dan Sejak dulu Papa dan Papaku memang menjodohkan kalian. Hanya saja kalian tidak ada perasaan cinta satu sama lain. Hingga akhirnya Aliya menyukai lelaki yang salah."

"Ini takdir, Pah."

"Sekali lagi terimakasih Bim."

*******

Fatih benar-benar murka saat sampai di rumah. Dia mendapat makian dari Arman karena sikap putranya yang tidak bertanggung jawab. Pergi tanpa kabar dan membiarkan dia malu di acara sepenting itu. Dia menyesal karena telah memberikan separuh perusahaan sebelum hari pernikahan. Dia mengira Devano sungguh-sungguh dengan pernikahan ini. Tapi ternyata tidak.

"Sabar ya Yah.. Kita tunggu Devano pulang. Biar dia menjelaskan semuanya."

"Ayah menyesal punya anak sepertinya, Bund. Dia itu tidak punya hati. Bagaimana bisa dia melakukan semua ini pada kita? Ayah malu dengan keluarga Pak Arman, Bund." Fatih dan Arini belum sempat mengganti pakaian mereka. Fatih terlanjur marah dan ingin menanti anak laki-lakinya itu pulang.

Zivana yang melihat kedua orangtuanya kecewa dengan sikap kakaknya memilih untuk menyendiri di kamar. Dia menumpahkan semua perasaan sesaknya sedari tadi. Melihat laki-laki yang dicintainya kini sudah menjadi milik orang dalam ikatan pernikahan merupakan hal yang sangat menyakitkan. Meski dia tidak tahu perasaan Bima padanya seperti apa, namun Zivana terlanjur mencintai Bima meski dalam diam. Dan kini harapannya untuk menjadi istri Bima, kandas sudah.

"Hik hik hik.. Semua gara-gara kamu, kak. Kenapa kamu lakukan semua ini padaku? Apa salahku sama kamu? Hingga kamu mengecewakan kami seperti ini?" Zivana menangis seorang diri. Dia harus belajar untuk ikhlas menerima ketentuan sang pencipta. Semua terjadi begitu cepat. Tanpa bisa dicegah.

Zivana mengganti pakaiannya lalu mengambil air wudhu untuk menurunkan emosinya. Dia berharap bisa secepatnya melupakan Bima.

Saat Fatih, Arini dan Zivana makan malam, tiba-tiba datanglah orang yang mereka tunggu-tunggu dari tadi. Lelaki yang sudah mengecewakan mereka semua hari ini.

Fatih menghentikan makannya saat melihat Devano pulang. Dengan langkah cepat, Fatih menghampiri putra satu-satunya itu.

"Plakkk!! Plakkk!!" Fatih menampar Devano di pipi kanan dan kirinya. Dia ingin memukul lagi. Tapi dicegah oleh Arini.

"Ayah tenang ya."

"Lepasin Ayah Bund. Anak ini harus diberi pelajaran. Dia sudah membuat Ayah malu hari ini."

"Ada apa sih, Yah. Anak baru pulang bukannya di suruh makan malah diinterogasi," ucap Devano tanpa rasa bersalah.

"Kamu ini Vano. Keterlaluan kamu. Kamu sadar atau tidak sudah mengecewakan kami semua, ha?"

"Tenang Yah. Semua akan Vano jelasin. Tapi nanti ya nunggu Vano mandi dan makan dulu."

"Duduk Vano. Jangan harap kamu bisa mandi dan makan kalau kamu belum mengatakan pada kami, kemana kamu pergi? Dan kenapa kamu tidak datang ke acara pernikahanmu? Cepat jawab!!"

"Iya Yah.. Iya.." Vano dengan terpaksa duduk tak berani menatap Ayahnya yang menatapnya tajam.

"Cepat katakan!! Kemana kamu pergi?"

"Tenang Yah. Vano hanya pergi main sama temen."

"Lalu kenapa kamu tidak datang di acara pernikahanmu dan Aliya?"

"Devano berubah pikiran, Yah. Vano masih belum ingin terikat dalam pernikahan."

"Kamu benar-benar ga punya otak, Vano. Kamu telah mempermalukan kami." Vano hanya bisa menunduk. Baginya tak ada yang perlu diucapkan pada kedua orang

"Kak, kamu puas kan sekarang? Kamu puas karena telah menyakiti kami semua. Terutama aku adik perempuanmu."

"Kalian ini kenapa sih marah-marah terus sama aku."

"Bisa-bisanya kamu sesantai itu setelah semua yang kamu lakukan."

"Aku tidak peduli, Zi. Aku masih ingin senang-senang."

"Plakkk!!!"

"Keterlaluan kamu Zi telah menampar aku." ucap Vani sambil mengusap-usap pipinya.

'Kamu sudah menghancurkan cintaku, Kak.'