"Kenapa lo nglihatin Zi terus Bim? lo naksir sama dia?"
"Apaan sih lo, siapa juga yang naksir. Ngliyatin emang ga boleh Gan?"
"Dari mata turun ke hati Bim. Ati-ati lo bisa jatuh cinta beneran sama Zivana. Tapi gue yakin lo ga bakalan bisa dapetin tu cewek. Dia anti sama cowok bro. Dia muslimah sejati bro. Salaman sama cowok aja ga mau. Emang gue panuan apa sampe ga mau salaman sama gue."
"Lo itu bukan mahromnya dia mamen, makanya dia ga mau salaman sama lo. laki-laki menyentuh perempuan yang bukan mahrom, sama saja menyentuh api neraka. Ngerti ga lo?"
"Iya ya gue ngerti pak Ustadz. Gue ga bakal menang deh ngelawan lo. Tapi Zivana itu keren ya? dia salah satu anggota mahapala cewek yang gesit banget. Udah cantik, pinter, sholehah, pinter masak lagi. Sayang ga ada cowok yang bisa ngedeketin dia." Gani sahabat Bima di kampus sengaja memuji Zivana untuk mengetahui respon sahabatnya itu.
"Udah jangan muji dia terus." ucapan Bima terdengar ketus.
"Ah cemburu lo ya?"
"Udah deh Gan. Ayo buruan berangkat. Itu lho sudah pada nunggu di truk."
"Iya-iya."
Mereka akan mengikuti kegiatan pecinta alam di luar kota selama tiga hari. Meski sebenarnya Bima masih memikirkan masalah yang sedang dihadapi oleh sahabatnya. Kehadiran Zivana mampu mengalihkannya dari masalah pelik yang dihadapi Aliya.
*****
"Alhamdulillah akhirnya sampai di rumah juga. Aku kangen sama bantal dan guling di rumah nih. Mama bakalan marah kalau aku bilang cuma kangen sama bantal dan guling." Bima tersenyum saat tiba di rumahnya dengan mengendarai ojek online. Bima tak sabar ingin bertemu dengan mamanya. Dia rindu dengan masakan mamanya yang tiada duanya. Walaupun menu masakan itu-itu saja tapi bagi Bima masakan mamanyalah yang paling juara.
Saat akan masuk ke dalam rumah, Bima melihat ada mobil lain yang terparkir di halaman rumahnya. Dan dia tahu mobil siapa itu.
"Assalamualaikum." Bima mengetuk pintu dan mengucap salam meski dalam keadaan terbuka. Hanya jawaban salam lirih yang ia dengar. Pandangannya terarah pada beberapa orang yang sedang duduk di ruang tamu. Ada Aliya juga di sana yang matanya terlihat sembab.
"Plak!!!" Indira menghampiri Bima dan menamparnya.
"Awww... Ma, ada apa sih?" Bima yang datang dan tiba-tiba ditampar, merasa tidak tahu kesalahan apa yang ia perbuat hingga Indira menamparnya.
"Keterlaluan kamu, Bim. Kamu sudah mengecewakan Mama. Mana janjimu yang katanya patuh, katanya tidak akan mengecewakan mama? mana buktinya?" Kania marah dan menangis dalam waktu bersamaan.
"Mah sudah Mah... Jangan seperti ini. Biarkan Bima istirahat dulu. Dia kan capek baru pulang." Satya mencoba menenangkan sang istri yang terlihat begitu emosi. "Ayo duduk dulu, Mah." Satya mendudukkan Indira kembali di sofa. Indira memijit kepalanya. Benar-benar sulit menerima kenyataan ini.
"Duduk Bim. Om mau bicara sama kamu." Arman, ayah Aliya mencoba untuk bijaksana. Meski kini sebenarnya dia juga ingin menampar Bima. Tapi kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.
"Sebenarnya ada apa ini Pah, Om? Kenapa Mama tiba-tiba menampar Bima? aku salah apa?"
"Kamu bilang kamu salah apa? masih berani kamu tanya seperti itu Bim? Mama tidak menyangka kamu bisa melakukan hal sebejat ini." Indira menangis histeris saat mengucapkan hal itu pada Bima.
"Hal bejat apa Ma? Aku tidak mengerti."
"Sudah-sudah Dira. Tenangkan dirimu. Bima, Om ke sini minta pertanggung jawabanmu untuk menikahi Aliya. Kami syok saat mendengar anak kami hamil di luar nikah. Dan Aliya bilang kamu yang menghamilinya."
"Enggak.. Aliya... Apa maksudmu dengan semua ini? Kenapa jadi aku yang kamu fitnah?" Aliya tidak berani memandang Bima. Dia menunduk dan menangis.
"Cukup Bim!! Mama tidak pernah mengajari kamu lari dari tanggung jawab. Sekarang dengan entengnya kamu bilang Aliya memfitnahmu."
"Ma, tolong percaya sama Bima. Aku tidak pernah melakukan hal itu pada Aliya. Dia hamil dengan orang lain. Bukan denganku."
Plak!!! kali ini gantian Eva, mama Aliya yang menampar Bima.
"Kamu pikir Aliya cewek murahan Bim? Dia yang bilang sendiri kalau kamu yang menghamilinya. Anakku itu anak rumahan. Dan satu-satunya laki-laki yang paling dekat dengannya adalah kamu. Tega ya kamu ngomong seperti itu, setelah apa yang sudah kamu lakukan pada anak saya."
"Tapi sungguh Tante, aku tidak berbohong. Aku tidak pernah menyentuh Aliya. Dia hamil anaknya Vano, Tan."
"Vano siapa? kamu jangan melempar kesalahan pada orang lain Bim." Eva bertambah murka. Dia benar-benar tak terima dengan apa yang dilakukan Bima pada anaknya.
"Al, ngomong donk Al. Jangan diem saja. Katakan kalau kamu tidak hamil anakku."
"Aku... hamil... anak... Bi...Ma.." Aliya berkata dengan terbata-bata disertai tangisan.
"Astaghfirullah... Aliya.. tega kamu lakukan ini sama aku. Selama ini aku selalu menjagamu. Jangankan menghamili. Menyentuhmu saja tidak pernah aku lakukan. Tapi kenapa kamu tega melakukan ini sama aku?" Aliya masih menunduk. Dia tidak berani melihat Bima.
"Nikahi Aliya Bim. Sebelum perutnya semakin membesar." Indira mengatakan itu dengan lirih. Dia tak mampu lagi mengatakan apapun saat ini. Hanya perasaan kecewa dan marah yang mendominasi.
"Ma, aku mohon percaya sama aku. Aku tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti itu, Ma. Tolong Ma." Bima berlutut di depan Kania. Berusaha menggenggam tangan mamanya namun ditepis dengan kasar.
"Ini yang mama takutkan Bim. Mama kira kamu adalah anak yang penurut. Kenapa kamu lakukan itu pada Aliya? kenapa kamu tidak datang pada Mama dan menikahinya? dari pada kalian berbuat zina seperti ini?"
"Baiklah kalau tidak ada yang percaya pada Bima. Aku tidak akan tanggung jawab. Karena bukan aku yang melakukannya. Aku akan cari Vano dan membawanya ke hadapan kalian. Dan kamu Aliya. Persahabatan kita cukup sampai di sini saja. Aku tak menyangka kamu tega memfitnahku seperti ini."
"Om kasih kamu waktu satu minggu untuk membuktikan Bim. Jika dalam satu minggu kamu tidak bisa membuktikan, kamu harus menikahi putriku."
"Iya Om. Pegang kata-kataku."
Bima meletakkan tas ranselnya lalu mengambil motornya. Tak peduli dengan rasa lelah yang saat ini menderanya. Namun dia harus segera menemukan Vano untuk bertanggung jawab.
*****
"Indira.." panggil Satya
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya ternyata adalah peribahasa yang benar. Tetapi kenapa Bima harus memilih pohon yang sama denganmu? Aku sekuat tenaga melindungi putraku agar jangan sampai sepertimu, tapi apa? Dia malah mengikuti kebodohanmu." Indira terus mengoceh di depan suaminya saat mereka berdua di dalam kamar saat ini. Ya mereka dulunya juga pernah terlibat hubungan terlarang. Dan itu yang disesali Indira karena Bima melakukan hal yang sama seperti mereka.
"Maafkan aku.. Kalau saja.."
"Sudah tidak usah bicara lagi Mas. Aku muak mendengarnya. Bima lahir di luar nikah itu karena kamu. Dan sekarang dia melakukan kebodohan yang sama denganmu. Aku ini salah apa? hingga aku harus berhadapan dengan dua lelaki bejat seperti kalian." Indira menangis, menumpahkan semua perasaan sesak dalam dadanya.
"Aku mohon, dengarkan Bima. Dia tidak mungkin melakukan itu. Dia sangat menghormati wanita, Indira."
"Sekuat-kuatnya iman seseorang, bisa saja goyah kalau setan sudah menggoda mereka."
"Bima anak kita. Kamu yang melahirkan dia. Kamu yang mengenal dia sejak dia lahir. Menurutmu, apa dia mungkin melakukan itu?"
"Aku malas berdebat Mas. Kamu urus saja anak itu. Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi tentang dia."
Satya hanya bisa menghela nafas panjang menghadapi istrinya. Dia sudah mengerti watak Indira seperti apa. Keras dan teguh pendirian. Dia hanya berharap Bima bisa membuktikan ucapannya.