Satya dan Arman berlari menyusuri lorong rumah sakit. Mereka hendak menemui Bima yang sekarang sedang menemani Aliya yang masih terbaring di ruang perawatan. Aliya harus diinfus karena dehidrasi.
"Bima, bagaimana kondisi Aliya? Maaf Om terlambat." Arman sudah tahu semuanya dari Satya kalau Aliya tidak hamil anaknya Bima. Sebagai orangtua dia tetap merasa cemas meski Aliya sudah sangat mengecewakannya.
"Tadi dia sudah sadar Om. Tapi aku suruh dia istirahat saja. Kata dokter kandungannya lemah jadi harus bedrest dulu sementara waktu."
"Ya Allah Aliya... Terimakasih ya Bim. Bagaimana jadinya kalau tadi Aliya tidak bertemu denganmu."
"Sama-sama Om."Arman dan Bima sama-sama melihat Aliya yang sedang terbaring lemah.
"Bim, Om mau bicara sama kamu."
"Kalian ngobrol di luar saja. Biar aku yang menjaga Aliya. Sebentar lagi Indira dan Eva juga datang." Satya menyuruh Arman dan Bima bicara di luar agar bisa bicara lebih leluasa.
Bima dan Arman meninggalkan Satya yang harus menjaga Aliya. Arman ingin berbicara banyak dengan Bima masalah kehamilan Aliya. Hati Arman begitu hancur ketika mengetahui putri kesayangannya telah berbadan dua dengan lelaki yang entah siapa. Jika benar itu Bima seperti yang dikatakan Aliya kemarin, Arman bisa lebih tenang karena mengetahui siapa laki-laki yang mengahamili anaknya. Tapi sekarang setelah Aliya mengungkapkan kebenarannya kalau bukan Bima yang melakukannya, Arman bertambah bingung. Dan satu-satunya orang yang bisa dia ajak bicara hanya Bima.
"Bim, kamu tahu siapa yang menghamili Aliya?" Tanya Arman saat mereka duduk di kursi taman rumah sakit, sengaja menjauh dari kamar Aliya. Agar ia bisa bicara lebih keluarga.
"Tahu, Om. Namanya Devano. Dia kakak kelas kami sudah semester lima."
"Mereka kenal sudah lama?"
"Setahu Bima, mereka kenal waktu OSPEK Om. Kebetulan Devano ketua panitia waktu itu. Setelah itu mereka semakin dekat. Bima sudah menasehati Aliya agar jangan terlalu dekat dengan lelaki. Namun pesona Devano rupanya membutakan Aliya. Bima juga sudah melarang Aliya pacaran Om. Tapi dia tak mau dengar."
"Makasih ya Bim kamu sudah berusaha menjaga Aliya. Tapi putri Om yang tidak bisa menjaga diri. Om sangat kecewa padanya. Om ini merasa gagal menjadi seorang pendidik. Karena tidak bisa mendidik anak Om sendiri."
"Sabar ya Om. Semoga semua masalah ini cepat selesai."
"Aamiin.. terimakasih Bim. Apa kamu tahu Om bisa menemui Devano dimana?"
"Selama tiga hari ini Bima saya sudah mencari Vano Om. Di kampus, dirumahnya, di tempat nongkrong, tidak membuahkan hasil. Sepertinya dia sengaja menjauh dan tidak mau bertanggung jawab. Tapi saya akan tetap bantu mencari dia Om."
"Om malu kalau harus mengemis tanggung jawab dari laki-laki yang tidak bisa menjaga kehormatan wanita seperti itu, Bim."
"Tapi kalau Om tidak bisa menemukan dia, siapa yang akan bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Aliya Om?"
"Lebih baik dia tidak punya suami, Bim. Buat apa punya suami seperti Vano yang jelas-jelas tidak mau bertanggung jawab. Biar Om dan Tante yang mengurus anak Aliya nantinya. Kalaupun dia menikah dengan Vano, rumah tangga mereka tidak akan bahagia."
"Apa Om yakin dengan keputusan itu?"
"Iya Om yakin. Biar Aliya menanggung akibatnya. Kalaupun Devano ketemu, apa dia mau bertanggung jawab. Karena jelas ini kesalahan Aliya juga."
"Om.. maaf Bima tidak bisa banyak membantu. Karena ini memang masalah pribadi Aliya."
"Terimakasih Bim. Aliya beruntung mempunyai sahabat sepertimu. Yang tidak meninggalkannya walau dalam keadaan terpuruk seperti ini."
"Kami sudah bersahabat sejak kecil Om. Walau saya kecewa, tapi tetap dia adalah teman terdekatnya Bima. Dan Bima akan selalu ada saat dia butuh."
Bima merasa kasihan dengan nasib yang dialami Aliya. Sebagai seorang sahabat, dia ingin membantu menyelesaikan masalah Aliya. Tapi bahkan sampai sekarang, Inti masalahnya yaitu Vano menghilang tanpa jejak. Jika apa yang diputuskan Arman adalah keputusan final, maka bagaimana dengan nasib Aliya dan calon anaknya nanti?
******
"Kak, sampai kapan kakak akan berada di Singapura?"
"Sampai masalah kakak selesai, Zi."
"Masalah itu jangan dihindari kak, tapi dihadapi."
"Ya aku ngerti, tapi aku belum siap menghadapi semua itu."
"Kata satpam beberapa kali ada yang mencari kakak. Tapi kakak berpesan kalau di rumah ini tidak ada yang bernama Vano. Sebenarnya ada masalah apa sih Kak?
"Kakak punya hutang banyak?"
"Sok tahu kamu." Ucap Vano sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper."
"Kakak kalau ada masalah cerita donk kak."
"Kalau kakak cerita, pasti kamu ceramahin."
"Sudah kewajiban kita saling mengingatkan dalam kebaikan kan Kak? Bukannya aku mau nyeramahin kakak."
"Iya itu yang bikin aku males. Enggak Ayah nggak kamu, semuanya pada suka nyeramahin kakak."
"Habisnya kakak sering bandel dan ga dengerin kata orangtua sih. Sukanya pacaran, gonta ganti cewek, sering nongkrong di club. Ingat kak, kakak itu punya adik cewek yaitu aku. Jadi jangan suka mainin cewek."
"Ah paling males deh kalau udah diceramahin gini. Udah ah kakak berangkat dulu. Salam buat Ayah dan Ibu ya. Tolong urusin cuti kuliahku ya Zi." Zivana tertegun melihat kepergian kakaknya. Dia sering kesal pada kakaknya yang pergaulannya di luar batas. Bukan dia menutup mata, dia malah menyembunyikan jati dirinya sebagai adiknya Vano. Cowok populer di kampusnya. Dia lebih suka bergaul dengan anak-anak rohis atau pecinta alam. Berbanding terbalik dengan pergaulan kakaknya. Bahkan sampai sekarang tak ada yang tahu kalau Zivana adalah adiknya Devano.
"Kak, mau cuti kuliah sampai kapan?'
"Satu tahuuun." Ucap Devano sambil teriak.
"Gila kamu kak." Zivana berlari mengikuti Devano yang berjalan menuruni tangga rumah mereka.
"Sudahlah Zi. Kamu urus saja semuanya. Kakak ga bisa di sini terus."
"Ada apa sih kak sebenarnya? Aku harus bilang apa sama Ayah dan Ibu?"
"Bilang aja kakak lagi liburan di rumah Om Farhan. Ga usah banyak ngomong deh Zi. Bilang saja seperti itu."
"Astaghfirullah kak." Zivana hanya bisa mengurut dada. Dia tak bisa mencegah kepergian kakaknya. Entah ada masalah apa hingga kakaknya sampai harus pergi menjauh ke Singapura.