Chereads / JANGAN PERGI CINTA / Chapter 7 - MENERIMA KEADAAN

Chapter 7 - MENERIMA KEADAAN

Setelah berbicara dari hari ke hati dengan Bima, Arman mengajak sahabat putrinya itu kembali ke ruang perawatan Aliya. Di sana ada Satya, Indira dan Eva. Eva masih saja menangis di samping putrinya. Mereka tak menyangka jika nasib Aliya akan jadi seperti ini.

"Sabar ya Eva.. Kita akan pikirkan masalah ini bersama." Indira menyentuh bahu Eva memberi kekuatan. Indira sering menghadapi masalah seperti ini di sekolahnya. Dia seorang guru BK harus menjadi seseorang yang bisa membantu memberi solusi terbaik untuk orangtua dan anak.

"Aku malu, Dira. Bagaimana kalau keluargaku dan mas Arman tahu tentang ini? belum lagi para tetangga yang akan menghina kita nantinya."

"Semua tidak akan seburuk yang kamu pikirkan, Va. Kita pikirkan mental Aliya dulu. Jika kamu memikirkan apa kata orang terus, kamu tidak akan bisa memberi semangat pada Aliya. Dia memang salah tapi semua sudah terlanjur terjadi. Apapun kata orang nanti, kamu harus kuat menghadapinya."

"Aku tidak akan kuat, Dira."

"Pasti kuat. Kalau kamu lemah, bagaimana dengan Aliya? Kamu mau dia kabur lagi seperti tadi?" Eva menggeleng. Lalu memeluk Indira.

"Apa salah kami ya, Kan? hingga kami diberi ujian seberat ini?" Kata-kata Eva mengingatkan Indira saat dirinya dulu berada di posisi yang sama seperti Aliya. Bedanya adalah Indira dan Satya awalnya tak direstui orangtua. Tak terasa diapun menitikkan airmata. Pertanyaan yang samapun muncul 'Apa salahnya?'

"Sudah-sudah. Manusia itu tempatnya salah, Va. Kita introspeksi diri. Mohon ampun sama Allah. Barangkali dalam mendidik anak kita banyak kekurangan. Kamu harus tenang. Pikirkan dengan kepala dingin. Lihatlah anakmu sekarang. Dia begitu lemah, ada nyawa yang sedang sedang berkembang di dalam rahimnya. Kamu mau menambah masalah hidupnya? Jangan khawatir. Aku, Satya dan Bima akan selalu ada buat kalian."

"Terimakasih ya Dira."

"Mama... " Aliya mulai mengerjakan matanya.

"Aliya.. kamu sudah bangun, Nak? Apa yang kamu rasakan? Apa ada yang sakit?" Eva terlihat panik dengan kondisi putrinya. Aliya menggeleng lemah.

"Maafin Aliya ya Mah, Aliya sudah bohong sama Papa dan Mama. Bukan Bima yang menghamili Aliya Ma. Bima, maafin aku." Aliya terisak. Dia menyesali perbuatannya yang sudah memfitnah sahabatnya itu.

"Iya sayang, Mama sudah tahu semuanya dari tante Indira. Bima juga sudah memaafkan kamu. Malah dia yang menemukan dan membawamu ke sini." Aliya menoleh ke arah Bima.

"Aku sudah maafin kamu, Al. Kamu harus sehat ya. Jangan berpikir pendek lagi seperti tadi. Kalau kamu kabur, masalah tidak akan selesai. Justru malah tambah banyak masalah. Plis.. Belajarlah untuk lebih dewasa."

"Sudah donk Bim. Jangan diomelin lagi Aliyanya." Bima dan Aliya tersenyum. Bima memang selalu cerewet dengan Aliya. Tapi semua dia lakukan karena ingin menjaga Aliya. Namun sekarang dia sudah gagal menjadi kakak yang baik.

"Hehehe.. Enggak koq Ma. Masih kesel aja sama anak cengeng ini. Kalau dibilangin ga pernah dengerin. Emang batu dia."

"Tuh kan, ngomel-ngomel lagi. Lama-lama mirip kayak ibu-ibu deh kamu Bim." Semua yang berada di ruangan itu tertawa. Sejenak mereka melupakan kesedian akibat masalah Aliya.

"Ah Mama ini bisa aja." Bima melihat Aliya juga ikut tersenyum. Ini adalah pelajaran berharga untuknya agar lebih hati-hati lagi dalam bergaul. Seperti yang selalu dibilang oleh Mamanya, laki-laki harus menjaga kehormatan wanita. Pelecehan tidak akan terjadi jika semua laki-laki mampu untuk mengendalikan diri dan selalu menghormati wanita. Bukankah laki-laki lahir dari seorang wanita mulia yang disebut ibu? Kalau dia melecehkan wanita, sama artinya dia telah menyakiti ibunya sendiri.

"Aliya, ada yang ingin Papa bicarakan." Aliya menoleh ke arah Arman yang sekarang duduk di dekatnya.

"Iya Pah."

"Papa sudah tahu siapa orang yang menghamilimu. Tetapi kata Bima lelaki itu seolah menghilang. Dia sengaja menghindar. Jadi Papa putuskan, kamu tidak usah mencarinya lagi. Kamu tidak perlu menikah. Kita besarkan anakmu ini bersama. Buat apa menikah dengan lelaki seperti itu, yang lari dari tanggung jawab. Papa tidak akan setuju. Lebih baik kamu tidak usah menikah."

"Tapi Pah?" Aliya kembali menangis. Apa bisa dia hamil tanpa ada suami di sisinya.

"Tidak ada tapi-tapi Al. Mau sampai kapan kamu akan mencarinya? Dia bahkan tidak peduli dengan keadaanmu sekarang. Kamu tidak usah sedih, Papa dan Mama akan selalu menjaga kamu dan calon anakmu."

"Maafin Aliya ya Pah. Aliya sudah mengecewakan Papa dan Mama."

"Sudahlah Al." Arman tak bisa mengatakan apapun lagi. Dadanya terasa sesak. Ingin dia melupakan emosinya pada laki-laki yang telah menodai anaknya. Arman keluar dari ruangan diikuti Satya.

"Kita ngopi dulu saja yuk, Man. Biar pikiranmu lebih fresh."

"Ya boleh." Mereka berdua menuju ke kedai yang ada di luar rumah sakit. Sebagai seorang Ayah, Arman juga merasa gagal menjaga putrinya.

"Apa kamu serius dengan keputusanmu Man?" ucap Satya sambil menyeruput kopi hitamnya.

"Menurutmu apa aku punya solusi lain untuk anakku? apa aku harus mengejar penjahat itu sampai ke ujung dunia?"

"Ya juga sih.. Tapi apa kamu tidak kasihan pada Aliya jika dia harus hamil dan melahirkan tanpa suami?"

"Itu kesalahan dia dan dia harus menghadapi semuanya, Sat. Tadinya aku tidak sampai kebingungan seperti ini saat Aliya bilang dia dihamili Bima. Tapi ternyata tidak. Sekarang aku jadi pusing."

"Jadi kamu lebih senang kalau anakku yang menghamili anakmu?"

"Ya tidak seperti itu? Setidaknya aku tahu pelakunya kalau aku ingin menghajarnya."

"Enak saja kamu bilang. Anakku tidak akan berani melakukan hal seperti itu."

"Ya oleh sebab itu aku menyuruh Bima menjaga Aliya. Karena aku yakin Bima anak yang baik. Padahal dulu aku berharap Aliya bisa berjodoh dengan Bima. Tapi ternyata takdir berkehendak lain." Arman hanya memutar mutar gelasnya tanpa ingin meminumnya. Harapannya kini sudah melayang.

"Ya tadinya aku juga berfikir seperti itu. Mereka berdua sangat cocok. Tapi siapa sangka kalau semua akan jadi seperti ini. Jodoh memang di tangan Tuhan. Manusia berencana tetap Tuhan yang menentukan."

"Bagaimana kalau Bima saja yang menikahi Aliya, Pah, Om?" Arman dan Arjuna menoleh ke sumber suara itu. Mereka terkejut dengan apa yang baru saja mereka dengar.