Zivanna enggan untuk menjawab pertanyaan Bima. Tetapi Jika dia tidak mengatakan yang sebenarnya sama saja dia berbohong pada Bima. Zivana yakin Bima tidak menyukai gadis yang suka berbohong.
"Kenapa diam saja Zi? Jangan kebiasaan bengong. Nanti kesambet lho." Goda Bima yang langsung membuat gadis itu tersenyum manis.
"Oh iya maafin aku, Devano itu adalah... "
"Eh.. Sebentar Zi, sepertinya ada telepon masuk. Maaf ya."
"Oh ya silakan, Bim." Zivana menghela nafas. Dirinya terselamatkan.
"Halo.. Assalamualaikum Tante."
"....."
"Baiklah kalau begitu saya akan segera kesana." Bima menutup teleponnya.
Zivana merasa beruntung, karena dia tidak perlu menjawab pertanyaan Bima. Tapi dia heran dari ekspresi wajah Bima saat menerima telepon, sepertinya ada sesuatu yang serius sehingga membuat pemuda itu terlihat panik.
"Ada apa Bim? Koq wajahmu berubah panik begitu?"
"Iya Zi. Maaf aku harus segera pulang sekarang. Sahabatku sedang membutuhkan dukunganku. Dia sedang ada masalah. Dan saat ini dia sama sekali tidak mau makan. Barusan mamanya telepon agar aku bisa membujuknya untuk makan."
"Oh begitu ya. Ya sudah kalau begitu kamu pulang saja. Aku juga mau pulang kok. Kebetulan Hujannya sudah agak reda."
"Maaf ya Zi, aku belum sempat menebus kesalahanku. Lain kali InsyaAllah aku traktir di kantin ya."
"Tidak usah repot-repot Bim. Tidak masalah kok. Sudah sana pulang. Kasihan sahabatmu menunggu."
"Ya sudah ayo kalau mau bareng ke tempat parkir." Zivana mengangguk.
Sebenarnya Zivana tahu siapa yang dimaksud oleh Bima. Sejak awal masuk kuliah, dia sering melihat kedekatan antara Bima dengan gadis yang belakangan ia tahu bernama Aliya. Zivana tidak berani bertanya pada Bima. Dia hanya bisa diam, pura-pura tidak tahu tentang Bima dan sahabatnya.
Mungkin ada sesuatu yang terjadi dengan Aliya, hingga Bima sampai sebegitu paniknya. Zivana mengira Bima terlihat begitu menyayangi sahabatnya. Zivana yang diam-diam sering mengamati Bima, kadang merasa cemburu. Tetapi dia tidak ingin berlebihan. Meskipun dia mengagumi Bima, dia tidak akan bersifat agresif. Zivana hanya bisa menyebut Bima dalam doanya saja.
"Ayo buruan. Tuh kan bengong lagi."
"Eh iya maaf Bim." Zivana dan Bima setengah berlari sambil memayungi kepalanya dengan tas punggungnya Mereka berlari menembus rintik hujan hingga ke tempat parkir. Sesekali Bima melontarkan candaan yang membuat Zivana tertawa. Bima sangat bahagia meskipun hanya sesaat saja bersama Zivana. Setidaknya kali ini dia bisa lebih dekat dengan Zivana.
"Aku pulang dulu ya, Bim. Hati-hati dijalan. Salam buat sahabatmu."
"Iya Zi, kamu juga hati-hati ya di jalan. Insya Allah nanti salammu akan aku sampaikan pada Aliya," ucap Bima saat mereka sama-sama berada di atas motor masing-masing. Dan di tempat itulah mereka berpisah menuju ke tujuan masing-masing.
Zivana pulang ke rumah sedangkan Bima segera ke rumah Aliya. Karena gadis itu sekarang sedang membutuhkan dukungan darinya.
Sepanjang perjalanan, Bima tidak bisa menghapus bayangan Zivana. Wajah gadis cantik itu selalu terbayang di kepalanya.
"Astaghfirullah..." ucap Bima saat sadar bahwa itu adalah dosa, buru-buru dia menggelengkan kepalanya berusaha untuk melupakan bayangan Zivana.
"Oh Zivana, Kenapa sih bayanganmu tidak pernah hilang dari otakku? Kalau saja tidak ada masalah yang terjadi pada Aliya, mungkin aku bisa melakukan ta'aruf terhadapmu. Tapi saat ini ada hal yang jauh lebih penting daripada masalah percintaanku sendiri. Yaitu tentang keselamatan Aliya
Bima melaju bersama motornya menuju ke rumah Aliya. Sebelum itu, Bima sengaja mampir ke warung masakan Padang. Barangkali dengan membawakan makanan kesukaan Aliya, gadis itu bersedia untuk makan.
Bisa dibilang Bima adalah orang yang paling mengerti Aliya, selain kedua orangtuanya. Apa yang Aliya suka dan tidak suka Bima sudah tahu semuanya. Tapi rasa sayang Bima hanya sebatas sahabat.
"Assalamualaikum." Bima mengetuk pintu rumah Aliya. Dan sesaat kemudian pada Eva yang membukakan pintu untuknya.
"Waalaikumsalam. Bima, syukurlah kamu cepat datang nak. Aliya sama sekali tidak mau makan sejak tadi pagi. Tante khawatir dengan keadaannya."
"Bima sudah membelikan nasi Padang untuk Aliya nih tante. Semoga saja Aliya mau makan."
"Terima kasih ya Bim. Maaf Tante jadi merepotkanmu lagi."
"Tidak apa-apa tante."
"Ayo Tente antar menemui Aliya."
Bima masuk kedalam kamar Aliya bersama Eva. Bima melihat gadis itu duduk bersandar di tempat tidurnya. Wajahnya tampak pucat dan pandangannya tampak kosong.
"Aliya, ini ada Bima, Nak. Dia sengaja mengunjungimu." mendengar nama Bima, Aliya kemudian menoleh ke arah sahabatnya itu. Matanya tampak berkaca-kaca. Entah apa yang dirasakan Aliya saat ini. Melihat Aliya dengan keadaan seperti itu, membuat Bima menjadi kasihan pada Gadis itu meskipun semua terjadi karena kesalahan Aliya sendiri, Bima sama sekali tidak membenci sahabatnya itu. Dia tetap memposisikan sebagai seorang sahabat yang akan selalu ada saat Aliya membutuhkannya.
"Bima."
"Iya Al. Aku ke sini membawa makanan kesukaanmu. Kamu makan ya." Bima duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Aliya.
"Ini Bim piringnya. Aliya, kamu makan ya nak. Ada Bima yang menemanimu."
"Terima kasih ya Bim. Ngapain sih kamu repot-repot kesini?"
"Tante Eva bilang kamu tidak mau makan dari tadi pagi. Kamu ini gimana sih? Sekarang ada nyawa yang berkembang di dalam rahimmu. Jika kamu terus seperti ini, Apa kamu tidak kasihan pada anakmu? Dia butuh banyak nutrisi untuk bisa berkembang. Kalau kamu tidak makan, bagaimana dia bisa berkembang. Kamu mau terjadi apa-apa dengan dia?"Aliya menggeleng pelan.
"Aku sama sekali tidak ingin makan Bim."
"Tapi kamu harus makan Aliya. Setidaknya kamu makan untuk anakmu. Dia tidak bersalah apa-apa, Jadi kamu jangan menyiksanya seperti ini. Dengan kamu tidak makan, itu sama saja menyiksa dia."
"Aku tahu Bim."
"Kalau kamu tahu, sekarang kamu makan ya. Ini aku bawakan khusus dua rendang untukmu." Aliya tersenyum, Eva dan Bima juga ikut tersenyum. Sedikit lega, karena kehadiran Bima membuat Aliya sedikit terhibur.
Aliya makan dengan pelan. Walau hanya beberapa sendok yang bisa masuk, karena sesekali Aliya merasa mual. Namun kemudian dicoba lagi sampai akhirnya bisa makan walau sedikit.
"Maaf ya Bim, aku makan cuma sedikit."
"Tidak apa-apa yang penting ada makanan yang masuk ke dalam perutmu. Sekarang minum vitaminnya ya. Habis itu kamu istirahat. Jangan banyak pikiran."
"Bim.."
"Iya, Al."
"Apa kamu sudah menemukan Devano?" Bima terkejut dengan pertanyaan Aliya. Dia jadi ingat pertanyaannya pada Zivana tentang Devano tadi yang belum sempat Zivana jawab.
"Belum Al. Sabar ya. Nanti aku akan mencarinya lagi. Kamu percaya sama aku ya." Aliya mengangguk lesu.