Bima melihat Aliya yang sudah mulai ceria lagi. Sudah tiga bulan usia kandungan Aliya. Dan dia masih kuliah. Beruntung kehamilannya tidak terlalu terlihat. Dia mengenakan pakaian longgar untuk menutupi perutnya. Harusnya dia ingin cuti kuliah, tetapi untuk mahasiswa baru yang baru semester satu seperti dirinya, tidak diperbolehkan untuk cuti kuliah. Apapun resikonya, akan ia tanggung. Termsuk jika teman kampus memandang heran ke arahnya. Aliya yang dulu sering mengenakan pakaian pas badan, sekarang terlihat sering menggunakan pakaian yang longgar. Hal itu menimbulkan pertanyaan di benak teman-temannya.
"Al, kamu gapapa?" Tanya Bima saat mereka duduk di gazebo depan ruang perkuliahannya. Sambil menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Bima melihat teman-teman Aliya berkasak kusuk di belakang. Mungkin membicarakan Aliya.
"Enggak Bim. Sudah tenang saja. Ini sudah resikoku. Aku akan menanggungnya. Yang penting aku tetap kuliah. Cuma ini yang akan bisa membuat orangtuaku bangga. Aku sudah mengecewakan mereka. Kalau aku masih kuliah ga bener, aku akan dobel mengecewakan mereka." Aliya menaruh tas didepan perutnya untuk menutupi kehamilannya.
"Kamu sekarang lebih dewasa Al. Tidak lagi cengeng seperti dulu."
"Keadaan yang membuatku begini. Bukannya kamu yang mengajariku untuk tidak cengeng?" Bima tersenyum.
"Aku hanya memberi masukan, kalau sekarang kamu terapkan, aku jadi salut sama kamu."
"Sudahlah.. Eh Bim, cewek lo tuh." Aliya menunjuk ke arah gadis berhijab yang berjalan melewati gazebo tempat Bima dan Aliya berbincang. Sepertinya gadis itu tidak melihat keberadaan Bima dan Aliya.
"Dia bukan cewekku Al."
"Kejar donk Bim. Kenapa ga nyoba ngutarain perasaan sama dia sih? greget aku sama kamu. Kamu laki-laki masa ga berani nembak sih."
"Nembak apaan? bilang i love you di depannya gitu? Yang ada aku bakalan kena tabok. Lagian buat apa nembak Al? Aku tidak mau pacaran. Aku ingin langsung melamarnya saja."
"Aku salut sama kamu, Bim. Kalau saja Vano punya pemikiran yang sama sepertimu." Aliya menunduk. Seperti sedang menahan airmatanya agar tidak keluar.
"Sabar ya Al. Vano pasti ketemu. Menurut data yang aku dapat dari bagian administrasi, Vano hanya cuti satu semester saja koq. Itu artinya dia masih kuliah di sini."
"Kalau dia kembali ke sini, perutku sudah membesar Bim. Sudah terlambat untuk meminta pertanggungjawaban darinya. Lagipula apa dia mau bertanggung jawab?" Nada suara Aliya terdengar putus asa.
"Kalau memang dia jodohmu, pasti dia akan kembali sama kamu, Al."
"Aku tidak berharap banyak Bim."
"Eh Aliya... Kenapa ditutupin sih perutnya? Udah ga usah ditutup-tutupin, udah kelihatan juga lagi hamil. Anaknya Bima ya?" Tiba-tiba saja ada teman sekelas mereka yang menghampiri dan mengolok-olok Aliya.
"Eh.. Bisa diem ga lo Rez? Kalau ga tahu apa-apa ga usah banyak omong." Bima berdiri dan langsung menegur temannya yang bernama Reza.
"Tenang-tenang bro.. Ga usah marah. Tapi kalian udah bikin aib buat universitas kita lho." Hampir saja Bima memukul Reza tapi tangannya ditahan oleh Aliya.
"Sudah Bim. Tidak usah ditanggapi. Ayo kita masuk ke kelas saja." Aliya menarik lengan Bima. Mereka berdua pergi ke ruang kelas meninggalkan Reza yang tersenyum miring pada mereka berdua.
"Kamu tidak apa-apa Al?" Bima khawatir melihat Aliya yang memijit kepalanya.
"Enggak papa Bim. Cuma sedikit pening saja."
"Kamu pulang saja. Nanti aku absenin Al."
"Jangan Bim. Sebentar lagi kelas dimulai. Gapapa koq. Aku baik-baik saja. Bim, maaf ya. Karena teman-teman jadi salah pahama dengan hubungan kita. Aku sudah mencemarkan nama baikmu."
"Sudahlah Al. Biarkan saja. Toh yang bilang begitu cuma Reza aja. Dia hanya sakit hati karena dulu pernah kamu tolak."
Aliya tersenyum. Dia ingat dulu waktu pertama masuk kuliah, begitu banyak laki-laki yang mendekatinya. Bahkan Aliya termasuk cewek paling cantik di antara mahasiswa baru yang lain. Setelah mulai aktif kuliah, banyak cowok-cowok yang menyatakan cinta padanya. Tapi hanya satu yang menarik perhatiannya. Yaitu Devano. Seniornya di kampus yang terkenal tampan, kaya tapi playboy itu mampu meluluhkan hati Aliya. Namun sayang karena cinta mati, Aliya rela menyerahkan kehormatannya pada Devano. Dan kini laki-laki itu menghilang tanpa jejak.
******
Zivana yang duduk tak jauh dari gazebo, mendengar pembicaraan Reza dan Bima. Dia syok saat mendengar apa yang Reza katakan pada Bima. Dan bagaimana cara Bima membela Aliya, seolah membenarkan perkataan Reza.
"Kamu kenapa Zi? Koq kamu nangis?" Tanya Maura sahabat Zivana. Yang sedang duduk di samping Zivana. Maura sibuk mendengarkan musik dengan headset di telinganya jadi tidak mendengar pembicaraan antara Reza dan Bima.
"Tidak apa-apa koq Ra. Ayo ke kelas dulu. Bentar lagi kita ada kelas." Zivana menyeka airmatanya. Benarkah yang dia dengar barusan tentang Aliya yang hamil dan itu anak Bima? Apa mereka berdua melakukan hubungan terlarang, atau keduanya diam-diam sudah menikah?" Zivana bertambah lesu saat berbagai macam pertanyaan tentang Bima muncul di otaknya. Namun dia hanya bisa menyimpan rapat di dalam hati. Tak berani bertanya pada siapapun.
*****
"Bim, aku pulang duluan ya. Papaku sudah jemput di depan." Ucap Aliya saat mereka selesai mengikuti perkuliahan.
"Oke sip. Hati-hati ya. Apa mau aku anterin?"
"Tidak usah Bim. Aku sendiri saja. Tidak apa-apa koq."
"Ya sudah kalau begitu. Salam buat Om Arman ya." Aliya mengangguk dan pergi meninggalkan Bima.
Bima bergegas pergi ke gedung Fakultas Hukum. Dia ingin mencari Zivana. Rencananya dia ingin mentraktir gadis itu sebagai ucapan maafnya tempo hari yang sempat menabraknya. Bima mencari-cari sosok Zivana. Dan setelah beberapa saat mencari dan bertanya ke beberapa mahasiswa kenalannya di Fakultas hukum, Bima akhirnya menemukan Zivana.
"Zi tunggu." Bima berteriak memanggil gadis itu yang sedang berjalan menuju ke tempat parkir motor.
Zi menoleh dan terkejut saat melihat Bima berlari mengejarnya. Zivana ingin bersikap biasa seolah tak mendengar apa-apa tadi, namun susah untuk menyangkal rasa sakit hati yang ia rasakan saat ini.
"Eh Bim. Ada apa?"
" Hah.. Hah.. maap... Zi.. Aku traktir yuk. Aku kan sudah janji sama kamu tempo hari." Bima terengah engah karena habis berlari mengejar Zivana.
"Maaf Bim. Aku sedang buru-buru. Aku harus segera pulang. Masalah yang kemarin lupakan saja. Aku tidak apa-apa koq. Kamu tidak perlu mentraktirku. Maaf ya Bim aku harus segera pulang." Zivana meninggalkan Bima seorang diri tidak menunggu laki-laki itu menjawab. Bima heran dengan perubahan sikap Zivana. Tidak biasanya Zivana terlihat ketus seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Bima mengejar Zivana. Namun gadis itu sudah berada di atas motornya, dan melaju tanpa menghiraukan teriakan Bima.