Arman dan Satya terkejut mendengar ucapan Bima yang tiba-tiba ingin menikahi Aliya.
"Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan Bim?"
"Saya sadar Om. Saya tidak tega melihat Aliya yang hidupnya hancur seperti itu. Dia sangat menderita sekarang."
"Sini duduk Bim." Arman menyuruh Bima duduk di sampingnya. Satya menunjukkan mimik wajah keberatan saat Bima mengucapkan keinginannya menikahi Aliya.
"Bim, Om sangat menghargai niatku untuk menikahi Aliya. Tapi, Om tidak akan setuju dengan niatmu. Om juga memikirkan masa depanmu. Kamu sudah Om anggap seperti anak sendiri. Jangan sampai kamu mengorbankan masa depanmu untuk Aliya. Biar dia bertanggung jawab atas kesalahan yang ia lakukan sendiri. Mungkin selama ini Om terlalu memanjakan dia. Hingga lupa mengajarinya untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri."
"Tapi kasihan Aliya Om."
"Iya Om tahu. Kamu tetap boleh menjenguk dan menghiburnya tanpa harus menikahinya. Bersikaplah seperti sebelumnya. Menjadi sahabat untuk Aliya. Om rasa Aliya lebih membutuhkan seorang sahabat sepertimu." Arman sebenarnya senang dengan niat baik Bima. Tapi dia tak ingin Bima menikahi Aliya karena kasihan. Kelak akan menjadi masalah di kemudian hari.
"Baiklah kalau begitu, Om. Bima masih merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Aliya. Seperti yang Om amanahkan."
"Itu semua bukan salahmu, Bim. Aliya yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Sekarang Om hanya memikirkan bagaimana menghadapi lingkungan kami nantinya."
"Aliya akan down lagi kalau banyak orang yang nantinya mencemooh dia Om."
"Itu tugas Om yang akan melindunginya Bim. Kamu tidak perlu khawatir." Arman menepuk pundak Bima sambil tersenyum.
"Bima mengerti Om. Bima harap Vano kelak akan kembali dan menyadari kesalahannya. Dan mau bertanggung jawab pada Aliya."
"Om tidak berharap banyak Bim. Kecuali kalau dia benar-benar bertaubat. InsyaAllah Om bisa menerimanya."
"Aamiin.."
"Ngopi dulu Bim."
"Iya Om." Bima memesan kopi hitam untuk menyegarkan pikirannya yang penuh dengan Aliya. Hampir saja dia mengorbankan cintanya sendiri demi Aliya.
Setelah menghabiskan kopinya, mereka bertiga kembali lagi ke kamar Aliya. Aliya sudah sadar dan sekarang sedang bersandar di pembaringannya. Eva masih saja menangis. Sedangkan Kania masih berusaha menenangkannya.
"Ma, sudah donk tidak usah menangis lagi. Masalah ini tidak akan selesai dengan menangis. Lihat itu Aliya malah tambah pucat."
"Iya Pah. Maaf.."
"Bim.. Makasih ya kamu sudah menolongku." Ucap Aliya lirih saat gadis itu melihat Bima berdiri di samping ranjangnya.
"Sama-sama Al. Gimana keadaanmu? sudah baikan?" Aliya mengangguk lemah. Tatapannya masih saja kosong. Bima sangat prihatin melihat sahabatnya itu. Aliya yang selalu ceria ketika bersama Bima, kini menjadi gadis pemurung.
'Aku harus menemukan Vano. Aku akan menyeretmu Van. Kamu sudah membuat sahabatku menderita.'
"Man, sepertinya kita harus pulang dulu. InsyaAllah besok kita akan jenguk Aliya lagi." Satya mengajak Indira dan Bima pulang karena waktu sudah hampir tengah malam.
"Iya, Sat. Makasih ya buat semuanya."
"Sama-sama. Yang kuat ya demi Aliya." Arman mengangguk.
"Al, aku pulang dulu ya. InsyaAllah besok pagi setelah kuliah aku mampir ke sini lagi."
"Makasih ya Bim."
*****
Bima berangkat kuliah seperti biasa. Dia berangkat dengan tergesa. Karena dia sampai di kampus sudah mepet sekali dengan jam mata kuliah. Lima menit lagi perkuliahan akan dimulai. Dan sekarang Bima sedang berlari menuju gedung tempat dia akan mengikuti mata kuliahnya.
Brukk!!
Bima tak sengaja menabrak seorang gadis yang sedang membawa map berwana coklat. Kertas dalam map itu menghambur kemana-mana.
"Astaghfirullah." Ucap sang gadis sambil berjongkok dan dengan cepat memunguti kertas-kertas yang berhamburan.
"Eh maaf aku sedang buru-buru." Bima menunduk dan melihat ternyata yang ditabraknya adalah. "Zivana?" Bima kaget saat Zivana mendongak menatapnya sekilas lagi menunduk lagi.
"Tidak apa-apa. Lain kali hati-hati ya." Zivana mengibaskan kertas yang dia pegang karena terkena debu.
"Sekali lagi maaf ya, Zi. Aku benar-benar tidak sengaja." Bima membantu Zivana memunguti kertas-kertas itu dan sekilas membaca nama Devano di kertas yang Zivana pegang. Tapi karena dia terburu-buru, dia urungkan untuk memastikan rasa penasarannya.
"Tidak apa-apa. Sudah buruan sana masuk kelas. Kamu ada mata kuliah kan sekarang?" Zivana membekap mulutnya sendiri. Hampir saja ketahuan kalau dia sebenarnya mempunyai jadwal kuliah Bima. Mereka satu fakultas hanya beda jurusan.
"Iya, koq tahu? Ah tidak penting di jawab. Nanti setelah selesai kuliah, tunggu aku di sini ya. Aku mau menebus kesalahanku." Bima berlari meninggalkan Zivana.
"Hei tidak perlu seperti itu."
"Pokoknya nanti tunggu aku di situ ya." Bima berteriak menjawab perkataan Zivana. Gadis itu hanya bisa tersenyum melihat Bima yang semakin menjauh.
Zivana meninggalkan tempat itu. Dia harus ke kantor dekanat untuk mengurus cuti kuliah kakaknya. Sebenarnya dia enggan melakukan semua ini. Tapi karena dia ingat dengan kedua orangtuanya, akhirnya Zivana mau mengurus cuti kuliah Devano. Entah sampai kapan dia selalu menuruti kakaknya.
******
Bima memenuhi janjinya. Dia kembali ke tempat dimana ia menabrak Zivana. Namun gadis itu belum terlihat. Bima celingukan mencari sosok gadis itu. Sedari tadi dia tidak konsentrasi mengikuti mata kuliah karena tak sabar ingin menemui Zivana. Setelah selesai, ia buru-buru menuju tempat itu. Tapi Zivana tidak juga terlihat. Satu jam Bima setia menunggu Zivana namun gadis itu tak juga datang. Bima tidak mempunyai nomor ponsel Zivana jadi dia tak dapat menghubungi gadis itu.
"Hei Bim, nungguin siapa sih?" Gani mengagetkan Bima yang sedang sibuk mencari sosok Zivana.
"Eh.. ngagetin aja lo Gan."
"Sorry-sorry bro gue ga bermaksud ngagetin. Yuk masuk ke kelas. Ini udah mau masuk lho kelasnya Pak Heri."
"Masa sih?" Bima melirik jam tangan yang selalu melingkar di pergelangan tangannya. Dan ternyata sudah satu jam ia menunggu Zivana. Dan sekarang sudah waktunya Bima mengikuti mata kuliah ke dua hari ini.
"Bener kan? gue ga bohong. Udah yuk buruan."
"Ya sudah yuk." Dengan berat hati Bima meninggalkan tempat itu. Bima takut Zivana nanti tiba-tiba datang dan dirinya tidak ada di sana. Bagaimana perasaan gadis itu nanti. Bima takut Zivana akan menganggapnya ingkar janji.
"Kamu kenapa sih Bim? dari tadi celingukan. Nyari siapa sih lo?"
"Ah enggak koq. Sudah ayo buruan." Bima dan Gani benar-benar meninggalkn tempat itu karena mereka harus mengikuti mata kuliah selanjutnya.
Zivana berlari setelah selesai mengurus cuti kuliah Devano. Dia sedari tadi ingin mengabari Bima tapi dia tidak mempunyai nomor ponsel Bima. Zivana sampai di tempat yang mereka sepakati tadi. Dan dia kecewa karena tidak mendapati Bima di sana.