Chereads / JANGAN PERGI CINTA / Chapter 2 - VANO MENGHILANG

Chapter 2 - VANO MENGHILANG

Bima tidak tega melihat Aliya meluruh di tanah. Tepat di depan rumah mewah yang mereka kunjungi. Bima tahu mungkin Vano tidak mau menemui Aliya. Bima turun dari motor dan menghampiri Aliya

"Kenapa Al? Vano tidak mau menemuimu?"

"Bukannya tidak mau, tetapi kata satpam, di rumah ini tidak ada yang bernama Vano, Bim." Bima lantas menghampiri satpam yang ada di dalam pos.

"Pak, Apakah benar di sini tidak ada yang bernama Vano?"

"Benar Mas, saya tidak berbohong." ucap satpam tersebut yang tampak serius.

"Oh ya sudah kalau begitu. Maaf ya pak. Terima kasih."

"Sudah ayo pulang, Al! kita pikirkan lagi nanti. Besok aku akan menemanimu menemui Vano di kampus."

Bima berpikir dengan keras, Langkah apa yang harus dia lakukan untuk membantu sahabatnya ini. Dia tidak ingin Aliya hamil dan melahirkan tanpa suami. Belum lagi bagaimana nanti tanggapan orang tua dan teman-temannya di kampus melihat Aliya yang hamil diluar nikah.

"Bima, aku takut. "

"Sudah tidak usah menangis lagi. Harusnya kamu bilang takut saat akan melakukan kebodohan itu. Wanita itu berharga Aliya, aku sudah menasehatimu dari dulu untuk menggunakan hijab. Setidaknya Jika kamu menutup auratmu, laki-laki akan segan untuk melecehkanmu. Tapi kenapa sih kamu tidak pernah mau mendengar nasehatku?"

"Maafkan aku. Sekarang Aku menyesal kenapa tidak mengikuti nasehatmu dari dulu."

"Sudahlah, semua sudah terlambat. Sekarang kita cari cara bagaimana untuk menyelesaikan masalah ini. Karena ini masalah besar Aliya, ada nyawa yang harus kamu pertahankan di dalam rahim. Dia juga butuh pengakuan dari ayahnya."

"Lalu bagaimana kalau Vano tidak mau mengakui anak ini?"

"Ya itu sudah menjadi resikomu Al. Itulah kenapa Allah melarang kita berbuat zina. Karena pasti wanita yang akan dikorbankan. Islam itu memuliakan wanita Aliya. Kalau memang Vano tidak mau menikahimu, terpaksa kamu harus hamil dan melahirkan tanpa suami."

"Aku bisa diusir dari rumah Bim, kalau Papa Mamaku sampai tahu."

"Aku tidak bisa membantu lebih jauh Al, karena itu emang sudah menyangkut urusan pribadimu dengan Vano dan keluargamu. Aku tidak bisa ikut campur."

"Kamu kok ngomongnya gitu. Memangnya tidak ada cara lain? Aku malu kalau hamil dan melahirkan tanpa suami, Bim."

"Itu adalah konsekuensi yang harus kamu tanggung Aliya. Kamu malu di hadapan manusia. Tapi saat kamu melakukan itu kamu tidak malu sama Allah."

"Sudahlah Bim, kamu jangan ceramahin aku terus. Aku tambah pusing sekarang. "

"Maafkan aku Al. Aku juga merasa gagal karena tidak bisa menjagamu seperti pesan dari papa mamamu. Orang tua kita sudah bersahabat dari dulu, sekarang aku merasa bersalah juga karena tidak bisa memenuhi janjiku untuk menjagamu."

"Sudahlah Bim. Aku jadi merasa bersalah kalau kamu bilang seperti itu. Bukan kamu yang salah. Kalau saja dari dulu aku mengikuti semua nasehatmu, mungkin semuanya tidak akan jadi seperti ini."

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Aliya, mereka memikirkan apa yang harus Aliya katakan kepada kedua orang tuanya. Saat ini hampir tengah malam, tentu orang tua Aliya akan bertanya-tanya kemana putrinya pergi. Bima memacu motornya dengan kecepatan tinggi agar bisa segera sampai di rumah Aliya

"Aku pulang dulu ya Al, kalau ada apa-apa kamu boleh hubungi aku. Tapi berusahalah untuk menemukan Vano cepatnya. Besok aku akan membantumu kalau memang dia masih belum bisa dihubungi." ucap Bima saat Ia mengantarkan Aliya.

"Terima kasih ya Bim. Aku berhutang budi sama kamu. Hanya kamu yang bisa aku ajak bicara."

"Itulah gunanya sahabat. Sudah kamu masuk sana lalu istirahat. Kasihan anakmu."

*********

"Dari mana saja kamu, Bim? " Indira sengaja menunggu anak laki-lakinya itu pulang.

"Maaf Ma , tadi ada urusan sebentar sama temen." Bima tak ingin mamanya sampai tahu apa yang menimpa Aliya.

"Mama kan sudah bilang, Jangan keluar malam. Kamu harus sudah sampai di rumah maksimal jam sembilan malam. Ngapain kamu keluyuran jam sepuluh baru keluar dari rumah tidak pamit sama mama lagi."

"Bima minta maaf, Ma. Aku tadi benar-benar harus keluar. Dan maaf kalau tadi Aku lupa untuk pamit sama mama."

"Mama itu sayang sama kamu Bim. Dari kamu lahir, Mama berusaha untuk selalu menjaga kamu. Kalau mama keras padamu, dan menetapkan jam malam untukmu bukan karena mama mengekangmu. Tetapi karena Mama tahu pergaulan di luar sana itu tidak baik."

"Iya ma, Bima tahu. Mama melakukan semua itu untuk kebaikan Bima. Bukankah selama ini Bima selalu menurut apa kata Mama?"

"Maafkan mama ya sayang. Mama itu Guru di sekolah, hampir setiap tahun pasti menemui kasus yang serupa. Ada saja siswa yang hamil di luar nikah. Mama cuma takut kamu terjerumus ke pergaulan bebas seperti itu."

"Iya Ma, terima kasih mama sudah menghawatirkan Bima. Mama tenang saja InsyaAllah Bima tidak akan melakukan hal seperti itu."

" Ya sudah kalau begitu, kamu istirahat dulu sana. Besok pagi kan kamu harus kuliah. Satu pesan mama ya Bim, Jadilah laki-laki yang selalu menghargai wanita. Mau pakaiannya terbuka atau tertutup, kamu harus tetap menghargai mereka. Jagalah jarak ketika berteman dengan mereka. Dan bersikaplah sopan terhadap mereka. Termasuk pergaulanmu dengan Aliya. Mama tahu kalian sangat dekat, tapi kamu juga harus menjaga jarak dengannya."

"Terima kasih, Ma." Bima mencium pipi mamanya. Bima memang sangat menyayangi mamanya. Apapun yang mamanya perintahkan selalu dia turuti. Dan selama ini dia tidak pernah mengecewakan mamanya.

Bima masuk ke dalam kamar kemudian merenungi perkataan mamanya dengan masalah yang dihadapi oleh Aliya. Sebagai seorang sahabat, tentulah dia merasa kasihan dengan apa yang yang menimpa gadis itu sekarang ini. Dengan melihat contoh nyata yang ada di depannya saat ini, ia bersyukur karena selama ini mamanya tak pernah berhenti untuk mengingatkan dia selalu berhati-hati dalam bergaul. Dan nasehat yang ia dapat dari mamanya, selalu ia tularkan kepada Aliya. Namun sahabatnya itu tidak pernah mau mendengar ucapannya. Walaupun seperti itu dia juga tidak tega untuk meninggalkan Aliya sendirian menghadapi masalahnya. Dia ingin berada disamping sahabatnya itu untuk menyelesaikan masalahnya. Ia berharap besok pagi bisa menemukan Vano di kampus.

"Bagaimana, kamu sudah ketemu sama Vano? maaf aku telat."

"Belum Bim. Malah kata teman sekelasnya, Vano sudah tidak kuliah di sini lagi. Dia pindah ke luar negeri katanya." Aliya meneteskan airmata merasa bingung dengan keadaan yag semakin rumit.

"Astaghfirullahaladzim. Kalau memang benar seperti itu berarti sangat sulit buat kamu untuk meminta pertanggungjawabannya Al."

"Maka dari itu, aku pusing sekali. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi kehamilanku ini," ucap Aliya lirih berharap tidak ada yang mendengar ucapannya barusan.

"Aku benar-benar tidak bisa berpikir lagi Al. Bangunlah setiap malam untuk sholat tahajud, minta ampun sama Allah. Dan berdoalah agar diberi kemudahan jalan untuk menemukan Vano. Kalaupun Vano tidak mau bertanggung jawab, semoga ada kemudahan jalan untuk menghadapi semua masalah ini. Dan jangan lupa kamu harus shalat taubat terlebih dahulu. Apa yang kamu lakukan itu dosa besar Aliya. Kamu harus bertobat pada Allah.

"Iya Bim, aku akan bertaubat. Tapi aku tidak kuat kalau harus menghadapi semua ini sendirian."

"Kamu harus kuat Al. Harus !! demi anakmu."

"Jangan tinggalin aku ya, Bim."

"Aku akan menemanimu. Tapi maaf nanti sore aku ada acara ke luar kota dengan anak-anak mahapala selama tiga hari. Gapapa kan kalau aku tinggal?" Aliya mengangguk namun berat rasanya ditinggal oleh sahabatnya ini.