Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 20 - You have to pay me for these

Chapter 20 - You have to pay me for these

[Hai! Aku akhirnya sampai disini juga, Dy. Sampai ketemu ya ^^.]

Pesan baru itu dari Diondarte.

Dyan terdiam, pikirannya mendadak penuh dengan berbagai pertanyaan dan asumsi. "Diondarte bilang dia sampai disini? Maksudnya? Dia sudah ada di kota ini? Sampai ketemu? Dia mau ketemu aku? Ah, Dyan udah deh. Kamu kan udah tau kalau dia memang akan ke kota ini karena pekerjaan. Dia ke Indonesia juga kan karena ada projek. Bukannya sengaja mau ketemu kamu. Jangan ge-er lah. Tapi, kenapa dia tadi sampai 3 kali telepon? Apa dia telepon setelah pesawatnya landing? Kenapa telpon? Kok gak langsung kirim pesan aja?...."

Alesya melihat Dyan yang sudah beberapa saat terdiam berdiri di tengah kamarnya sambil menatap ponsel, ada urusan sepenting apa, sampai sahabatnya itu mematung dan menunda niatnya untuk segera mandi?

"Yan! Kamu gak jadi mandi?" Alesya yang sudah terlanjur duduk di 'sofa terkutuk' bertanya dengan suara agak keras tanpa beranjak dari sofa.

"Eh! Iya, aku mau mandi." Dyan segera meletakkan ponselnya di rak buku sebelah tempat tidur dan segera masuk ke kamar mandi. Benaknya masih penuh pertanyaan, saat mandi dia kembali ingat dengan pesan dari virtual best friend-nya –Diondarte, yang entah siapa nama aslinya.

Sementara Dyan di kamar mandi, ponsel Alesya mendadak berbunyi. Waktu melihat nama penelpon yang muncul di layar, Alesya tersenyum lebar dan langsung mengangkatnya.

"Hei! Udah sampe mana?" tanya Alesya tanpa basa-basi.

"Masih di taxi, rencana mau ke hotel dulu malam ini. Besok baru cari kost-an. Kamu nginep di hotel mana, Al? Aku ikut nginep disana aja deh." Kata suara lelaki di ujung sana.

"Hotel? Maaf ya, pak. Diriku sudah dapet tempat kost. Sekarang lagi selonjoran sebelum pergi makan bersama ibu kost." Alesya menjawab riang penuh rasa kemenangan. "Tapi jangan harap kost disini juga. No more room available, sir."

"Kok bisa? Kamu cari kost pake aplikasi ya? Kenapa gak cariin buat aku sekalian? Dimana alamat kost-nya nih?" tanya lelaki itu.

"Aplikasi? Kamu lupa ya? Diriku ini ibarat 'native' di kota ini. Sebelum kamu culik kerja jadi pejuang devisa, diriku kan bolak balik kesini. Jadi sorry ya Pak, tanpa aplikasi juga saya punya tempat berlabuh disini." Jelas Alesya sambil cekikan.

Terdengar suara orang menghela nafas dari ujung telpon, untuk kemudian diam sejenak. Lalu lelaki itu kembali bersuara, "Ok, miss native. Karena dirimu adalah 'penduduk setempat' sebaiknya besok harus siap-siap untuk jadi guide saya buat cari kost."

"Iya, iya. Tenang aja, Om. Besok aku dampingi buat cari akomodasi. " Alesya menjawab masih sambil cekikan.

"Alamat kost kamu dimana? Biar aku cari hotel yang ga terlalu jauh dari situ."

"Ga perlu cari yang deket, Om. Jaman taxi online gini, ga ada yang susah." Alesya kembali tersenyum penuh arti sambil menjawab panggilan lelaki yang dipanggilnya 'Om' itu.

"Kenapa? Kamu sembunyiin apa? Takut aku datengin?" Si 'Om' terdengar curiga. Kenapa Alesya merahasiakan alamat kost-nya.

"Aku kost di tempat keluarga angkatku. Udah ah, ntar kalo udah check in hotel kabarin aja nama hotelnya."

"Aku udah booked hotel via apps tadi pagi. Ntar aku share location. Jangan lupa besok pagi kita mulai cari kost. Soalnya Senin aku udah harus ketemuan sama tim yang disini." Kata si 'Om' yang akhirnya menyerah untuk mencari tahu tempat kost Alesya.

"Ga pagi bangetlah. Ba'da sarapan ya, Om. Hehehe." Alesya mendengar suara pintu kamar mandi dibuka, cepat-cepat dia mengakhiri panggilan telepon dengan si 'Om' tadi.

"Ngobrol sama siapa, Al? Tanya Alesya yang baru selesai mandi. "Sama calon suami?"

"Gak, telpon urusan kerjaan. Aku keringin rambut dulu, ah. Pinjem hair dryer dong, Yan."

===

Selesai magrib, Dyan dan Alesya berjalan ke arah restoran mama Glenn. Alesya kelihatan menikmati suasana malam di lingkungan pertokoan. Setiap malam, kesibukan di jalanan jadi berubah. Di depan toko-toko yang sudah tutup di sore hari, bermunculan gerobak-gerobak makanan dan pedagang kakilima yang menjual beragam barang harga murah. Karena komplek pertokoan ini dibuat sebagai pengembangan bagian kota baru, semua ruko memiliki jarak yang sama dengan tepi jalan. Lebarnya lahan parkir tiap ruko inilah yang dimanfaatkan para pedagang.

"Sekarang makin rame ya, Yan? Empat tahun lalu belum seperti ini." Kata Alesya sambil beberapa kali berhenti setiap dia melihat objek menarik buat difoto. Dyan yang tahu Alesya sudah mendalami fotografi sejak jaman kuliah hanya tersenyum melihat sahabatnya ini seperti kesurupan mengarahkan kamera ponselnya kemana-mana.

Suasana di malam Minggu seperti saat ini memang selalu lebih ramai dibanding malam lainnya. Banyak orang yang sengaja datang ke pusat pertokoan ini sejak makin ramai pedagang dadakan yang buka lapak di kawasan ini tiap malam Minggu. Karena tatanan pertokoan yang terencana ditambah dengan pedistrian yang lebar, selain pedagang banyak juga penampil-penampil dadakan yang 'mengamen' di area parkir ruko.

Biasanya hanya 10 menit waktu yang dibutuhkan untuk jalan kaki dari butik ke restoran Mama Glenn, tapi malam ini jadi dua kali lipat lebih lama. Entah sudah berapa puluh foto yang dikumpulkan Alesya selama perjalanan singkat ini. Tentu Dyan termasuk dalam salah satu objeknya.

Sudah lama sekali rasanya Dyan tidak menikmati waktu bersenang-senang seperti sekarang, saat ada Alesya. Dia sejenak bisa lupa dengan kondisinya. Sekokoh dan setebal apapun dinding yang dibangun Dyan untuk menunjukkan kalau dirinya 'baik-baik' saja, jauh di lubuk hatinya yang terdalam ada bagian yang disembunyikan dibalik pintu yang ditutup rapat.

Sejak Mama berpulang ke sisi Tuhan, Dyan merasa sepotong dari jiwanya ikut hilang. Tapi Dyan tidak punya cukup waktu untuk berduka, saat itu umur Adit masih 10 tahun. Dan Mama sudah seperti orangtua kedua buat Adit. Dyan tidak ingin kelihatan terpukul di depan anaknya. Jadi dia berusaha menunjukkan pada Adit kalau tanpa Oma, putranya itu tetap akan mendapat cukup cinta dan kasih sayang dari Bunda-nya yang masih berusaha jadi ibu yang sempurna.

Baru dua tahun berlalu, tapi rasanya baru kemarin. Selama dua tahun tanpa Mama, Dyan tidak mengizinkan dirinya bersedih. Ditambah lagi Adit tumbuh jadi anak yang sangat dewasa setelah kepergian Mama. Rasanya makin seperti bersalah kalau dirinya jadi sosok yang lemah. Tapi terkadang terus-terusan mengubur kesedihan tanpa sadar sudah membuat Dyan jadi pribadi yang lebih pendiam.

Namun hari ini sedikit demi sedikit Dyan seperti kembali menjadi dirinya beberapa tahun lalu.

Sejak Alesya datang siang tadi dan bilang akan menetap sementara di kota ini, raut wajahnya berubah lebih cerah. Hatinya jadi lebih ringan. Hari ini bahkan Dyan tidak sempat untuk melakukan ritual sorenya. Ritual yang dilakukannya sejak kepergian Mama, duduk di depan jendela lantai dua sambil menikmati kopi sendirian.

Tiba-tiba Dyan merasa getaran ponselnya di dalam tas. Dyan melihat layar ponsel ternyata panggilan masuk dari Adit. "Halo, Bang." Kata Dyan segera setelah dia menjawab panggilan.

"Bunda udah sampe mana?" Terdengar suara ramai dibelakang Adit. Sepertinya restoran lebih ramai dari biasanya.

"Udah hampir sampe, Bang. Ini tante Alesya sibuk motret dari tadi. Maaf ya, nak. Lama ya?"

"Oooooh, ok ga papa Bun. Kita duduk di meja dekat jendela yang biasa ya Bunda." Kata Adit.

"Ok, bang. Bunda tinggal nyebrang sekali, bentar lagi sampe."

Sementara Dyan sedang menjawab telepon dari Adit, kesempatan itu dimanfaatkan Alesya untuk mengambil beberapa foto Dyan diam-diam. Lalu membuka aplikasi messenger dan memilih 3 buah foto Dyan –termasuk yang terakhir saat sedang menjawab panggilan telpon. Alesya memilih nama 'Om', dan mengirimkan 3 foto itu. Lalu mengirim pesan singkat dibawah foto-foto tersebut.

[Reminder: You have to pay me for these. Btw, dia adalah ibu kost-ku mulai hari ini.]

-Terkirim-

Alesya tersenyum lebar setelah mengirim pesan rahasia ke si 'Om'.

"Al! Yuk, nyebrang. Restorannya udah deket, Adit barusan telpon tuh. Kita kelamaan nih. Kasian anak-anak mungkin udah laper." Dyan meraih tangan Alesya dan menariknya.

"Tunggu, aku simpen HP dulu," Alesya langsung memasukkan ponselnya kedalam kantong oversized cardigan-nya.

==

Sementara di sebuah kamar hotel, seorang pria jangkung baru saja keluar dari kamar mandi. Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, dia memeriksa ponselnya yang berbunyi. Membuka kunci layar dan mendapati sebuah pesan dari seseorang yang diberi nama 'ALE'.

Terlihat senyum terbit di bibirnya setelah melihat isi pesan yang masuk. Matanya berbinar memperhatikan satu persatu gambar yang dilampirkan dalam pesan.

Lalu dia membalas pesan itu dengan sebuah lampiran berbagi lokasi.

[shared location]

Diikuti oleh pesan kedua.

[Itu alamat hotelnya. Besok jangan kesiangan. Btw, thanks ya. First payment? Besok aku traktir makan siang.]

Setelah dia mengirim pesan itu, pria itu kembali melihat foto-foto tadi. Lalu membuka option 'details' lewat preview gallery. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar, karena dia melihat ada keterangan 'location' di keterangan file.

"Keliatannya kamu minta bayaran mahal ya, Alesya."