Dan Alesya berangkat menemui Om-nya dengan ojek online. Sementara dari kedai kopi Cece Kim, pasangan ibu dan anak ini memutuskan untuk pulang dulu kerumah. Masih terlalu pagi untuk pergi ke mal. Dyan memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dulu sebelum pergi belanja.
Juga memeriksa apa saja barang-barang yang harus dibeli nanti. Memang sudah waktunya belanja dua mingguan. Persediaan bahan-bahan makanan memang sudah pada habis. Juga beberapa kebutuhan lain seperti peralatan mandi dan bersih-bersih.
Sampai di rumah, Adit langsung ke dapur. Membuka lemari gantung dan memeriksa apa saja bahan yang sudah habis. Kemudian mencatat daftar belanjaan di aplikasi Notes dengan ponselnya. Sementara Alesya memutuskan untuk ke lantai 2 dan memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci. Jadi sepulangnya mereka dari berbelanja, cucian sudah selesai 1 trip.
Sambil mencatat daftar barang belanjaan, terdengar suara musik dari aplikasi streaming musik di ponsel Adit. Sesekali dia ikut bersenandung mengikuti nada lagu yang sedang dimainkan, tiba-tiba Adit seperti ingat akan suatu hal.
Tangannya langsung membuka daftar kontak di ponsel dan mencari nama 'Tante Al'. Adit menekan ikon 'panggil'.
[Tuuut....tuuut....tuuut....]
Ah! Ada nada sambung!
[Halo, sayang. Ada apa?] Terdengar suara Alesya yang menjawab sambil tersenyum di ujung sana.
"Udah sampe hotel ya, tan? Gak jauh ya hotelnya?" Tanya Adit.
[Iya, ternyata gak jauh. Ini juga udah ketemu sama Om-nya tante Al.]
"Oh, iya. Salam aja ya tan."
[Iya, ntar tante Al sampein.]
"Tan, Adit sama bunda mau belanja dua mingguan nih. Tante mau titip belanja gak?"
[Belanja? Dimana? Mau dong ikut.]
"Loh! Tapi tante Al kan lagi ada kerjaan?"
[Aaaah! Iya, tante lupa. Ntar kalau urusan tante cepet selesai, tante susul aja ya kesana. Share aja lokasi mal-nya.]
"OK! Nanti kalo sampe sana, Adit share. Kalo tante masih belum selesai, kirim aja daftar belanjaan tante ke Adit."
Dan pembicaraan pun berakhir.
===
Di selasar swalayan dalam mal, Adit mendorong kereta belanja yang sudah hampir setengah penuh. Dyan yang berjalan di sampingnya kembali memeriksa barang-barang yang sudah diambil.
"Beras, minyak, mentega, mie, kecap, saus tiram, macaroni, susu, teh, kopi, ..." Gumam Dyan, sambil bolak balik membandingkan dengan daftar belanjaan yang sudah di share Adit ke ponselnya.
"Bun, tadi sebelum kita berangkat, Abang telpon tante Al. Abang tanya apa tante mau titip belanja. Soalnya kita mau pergi belanja dua mingguan."
Dyan memalingkan kepalanya ke arah Adit setelah mendengar kata-kata anaknya. Berusaha memproses pesan yang disampaikan.
Kadang Dyan terkejut dengan tingkat kepekaan anaknya yang sangat besar. Seperti kata-kata Adit barusan contohnya, Dyan sendiri masih belum sepenuhnya sadar kalau sekarang ada Alesya tinggal bersama mereka, boro-boro ingat mau menawarkan bantuan untuk membeli kebutuhan sahabatnya itu. Tapi Adit yang baru bertemu lagi dengan Alesya kemarin, bisa punya pikiran seperti itu?
"Bener juga ya, Bang. Biar bunda telpon dulu tante Al." Dyan langsung menghubungi Alesya sambil terus berjalan ke arah selasar tempat peralatan mandi.
Baru saja nada sambung berbunyi satu kali, Alesya sudah menjawab.
"Al, aku dan Adit lagi belanja. Kamu mau nitip?"
[Udah mau selesai belanjanya? Aku masih di jalan nih, sama Om.]
"Mmmm,...sepertinya tinggal belanja kebutuhan mandi dan cuci aja. Abis dari sini, mungkin kita mau mampir ke coffee shop dulu."
[Coffee shop? Ntar sore aja ke coffee shop-nya. Bentar lagi kan jam makan siang.]
"Oh, kamu mau makan dirumah? Atau makan diluar lagi? Biasanya aku sih makan diluar sama Adit kalo lagi jadwal belanja gini. Kamu mau ikut?" Tanya Dyan lagi sambil mengambil odol dan sabun mandi.
[Oh, jadi dari coffee shop trus makan diluar? Makan dirumah aja yuk. Aku kangen masakan kamu, Yan. Ke cafe-nya sorean aja, aku ikutan.]
Alesya meminta setengah membujuk. Dia merasa kehilangan kesempatan menghabiskan waktu bersama sahabatnya ini, gara-gara harus menemani Om Dion untuk mencari tempat kost.
"Emang kerjaan kamu udah selesai pas jam makan siang?" Alesya melihat jam di layar ponselnya, sudah jam 11 siang. Bukannya tadi Alesya bilang masih di jalan bersama Om-nya?
[Jam berapa sih? Aduh!! Iya,...kayaknya belum selesai. Ya udah deh, kamu makan bareng Adit aja. Tapi ke cafe-nya tetap sore yaaa. Aku mau ikut!]
Alesya tetap berusaha mencari kesempatan untuk bisa jalan bersama orang-orang tersayangnya ini. Diam-diam menyesali kenapa si Om harus mendesak cari kost hari ini?
"Ok deh. Nanti kita bareng ke cafe-nya. Sekarang kamu mau titip belanja gak?" Dyan kembali ke maksud semula.
[Ada sih. Ga banyak. Aku kirim lewat chat aja ya? Kalo gak ada disana barangnya, ga usah dibeli.]
"Baiklah. Buruan ya kirim chat-nya, daah."
Dan percakapan pun berakhir.
Tidak lama kemudian terdengar suara notifikasi chat dari ponsel Dyan, yang berisi nama beberapa barang titipan Alesya.
"Yuk, Bang. Ini tante Al sudah kirim daftar barang yang mau di titip beli. Oya, kita ga usah ke cafe dulu ya. Tante Al pengen ikutan, jadi nanti kita ke cafe kalau tante Al udah pulang."
"Ya, bun. Ini juga mendadak Glenn kirim chat. Katanya dia mau kerumah, bukan mau main sama abang. Tapi mau ketemu tante Al." Kata Adit sambil tertawa. "Tapi Adit bilang, tante Al ga ada dirumah, lagi keluar ga tau sampe jam berapa. Kasian Glenn." Katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Baru sehari disini, Alesya sudah punya dua fans remaja. Yang satu selalu semangat ngobrol soal videografis, yang satu lagi semangat ngajak main game bersama. Sepertinya kesempatan Dyan untuk bisa mengobrol dengan Alesya jadi lebih sedikit karena dua anak ini.
===
Sementara beberapa waktu lalu di kamar 504.
Alesya baru saja selesai bicara dengan Adit di telpon. Dion diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka sambil tetap seolah-olah sibuk dengan ponselnya sendiri.
"Jangan berfikir untuk ikut belanja dengan mereka ya. Urusan kita belum selesai. Kita harus pergi ke calon tempat kost aku." Nada suara Dion terdengar sedikit...cemburu?
"Kenapa harus bentrok gini sih jadwalnya? Buruan deh cari tempat kostnya. Aku jadi kekurangan waktu mo cerita-cerita bareng Dyan."
Dion langsung berdiri dari sofanya, "Iya, nih udah aku order taxi-nya. Kita turun ke lobby."
Di dalam taxi, Dion yang memesan taxi lewat aplikasi ponsel duduk di kursi belakang bersama Alesya.
"Kita ke arah mana ini? Emang udah ada calon tempat kostnya?" Tanya Alesya sambil menatap jalan diluar, merasa daerah yang dilalui adalah jalan yang familiar.
Dion hanya menggumam, membenarkan perkiraan Alesya. "Ternyata ga perlu cari-cari. Chandra udah siapin akomodasi buat aku. Sekarang kita tinggal kesana, liat tempatnya. Sekalian pergi belanja perlengkapan rumah yang perlu dibeli."
Mata Alesya terbelalak, merasa dirinya sudah tertipu. Kalau memang sudah ada tempat tinggal disediakan kantor, kenapa harus mengajak dirinya pergi dengan alasan 'cari tempat kost'? Seolah-olah akan menghabiskan waktu seharian untuk memilih tempat kost yang paling layak.
"Aaah! Kelewatan banget kamu, Dion! Kalo emang udah ada tempat tinggal, ngapain ajak-ajak aku? Kantor udah pasti kasih tempat yang layak kan? Gak mungkin Chandra siapin akomodasi asal-asalan." Protes Alesya. Apalagi tadi Dion sampai titip sarapan segala. Alesya merasa di-bully.
Sementara Dion dengan santai berkata, "Yang disiapin Chandra cuma rumahnya. Tapi isinya kan belum lengkap. Aku butuh kamu buat bantuin bikin daftar kebutuhan rumah dan menemani aku belanja. Kamu kan 'native' disini." Dion kembali mengingatkan kata-kata Alesya. Saat dia menyombongkan diri sudah mendapat kost di hari pertama karena dirinya bisa dianggap penduduk setempat. Punya keluarga kedua disini.
Mulut Alesya langsung mengerucut. Bagaimanapun yang dikatakan Dion benar juga. Kalau harus pergi sendiri untuk membeli kebutuhan di tempat tinggal baru, pasti dia bakal kebingungan.
Tiba-tiba ponsel Alesya berbunyi lagi. Melihat nama Dyan di layar ponsel, langsung Alesya menjawab. Ternyata Dyan menawarkan jasa titip belanja, kalau Alesya ada barang yang butuh dibeli. Alesya melirik ke arah Dion sambil mengobrol dengan Dyan.
Dion dengan seksama ikut mendengarkan pembicaraan mereka, tanpa mengeluarkan suara.
Setelah panggilan selesai, tiba-tiba Dion bertanya, "Mereka masih lama belanjanya? Di mal mana?"
"Kayaknya gak bisa nyusul deh kita. Mereka udah mau selesai belanja. Selesai belanja mereka mau makan siang. Kalaupun kita susul, gak akan keburu. Kita kan harus liat kost-nya dulu. Supaya tau apa aja yang mau dibeli. Siapa tau gak ada bantalnya kan?"
Dion kelihatan sedikit kecewa, karena kehilangan kesempatan memanfaatkan Alesya untuk bisa mengenalkan dirinya ke Dyan dan Adit tanpa harus kelihatan 'sengaja'.
Melihat wajah Dion yang tidak bisa menutupi kekecewaannya, Alesya masih merasa tidak percaya. Bagaimana bisa, Om-nya yang selama ini tidak pernah dekat dengan perempuan mana saja, sampai membuat Opa cemas karena anak bungsunya tidak ada tanda-tanda untuk menikah, tiba-tiba sekarang bisa seperti ini.
Sejak kapan pria ini bisa sangat penuh perhatian terhadap seorang wanita yang bahkan belum pernah ditemuinya. Bahkan fakta bahwa wanita itu memiliki anak diluar pernikahan pun, tidak membuatnya mundur. Seolah-olah justru faktor itu yang membuatnya makin ingin mendekati dan membuat wanita itu menjadi miliknya seutuhnya. Alesya benar-benar tidak habis pikir.