Pria itu tersenyum sambil menyambut uluran tangan Dyan.
"Senang bertemu dengan kamu, Dy. Aku Dion."
Dion? Dia panggil aku 'Dy'?
===
–Beberapa menit sebelumnya di dalam taxi.
"Sampe ketemu ya, Dit. Jangan lupa kirim nama tempat makan siang kita." Kata Alesya sebelum mengakhiri panggilan telponnya dengan Adit.
Dion yang duduk di sampingnya dari tadi juga sibuk dengan ponselnya. Jempol-jempolnya stand by diatas layar ponsel, mengetik pesan. Suara notifikasi pesan masuk pun terdengar beberapa kali, membuat sudut bibirnya terangkat sedikit demi sedikit.
"Hei! Chat sama siapa? Dyan?"
"Mmm..." jawab Dion singkat, bibirnya masih tersenyum.
"Yakin nih?" Tanya Alesya lagi.
"Apanya?" Jari Dion berhenti mengetuk layar ponselnya dan menatap wajah keponakannya. Alisnya terangkat, berusaha memahami makna pertanyaan Alesya.
"Mau ketemu Dyan sekarang. Yakin?"
"Kapan lagi. Aku pikir situasinya tepat. Aku kan gak maksa ketemu. Kebetulan aku mau makan siang, trus kebetulan kamu ngajak aku ke mal yang sama. Kebetulan kamu mau makan siang dengan mereka. See? Ke-be-tu-lan." Dion tersenyum, lalu melanjutkan kembali menulis pesan yang akan dikirimnya ke Dyan. Setelah pesan terkirim dan notifikasi balasan terdengar sekali lagi, pria 38 tahun ini pun memasukkan ponselnya ke kantong celana.
"Aku udah bilang kalo kita otw ke mal yang sama. Dia keliatannya gak masalah. Aku juga udah bilang kalo datang ke mal diajak teman."
Alesya menghela nafas, lalu melihat ke luar jendela. Berharap 'ketidaksengajaan' ini bisa terlihat nyata di mata Dyan. Alesya tidak ingin Dyan membangun 'dinding' untuk Dion. Bagi Alesya, mereka berdua bisa saling melengkapi.
Sepertinya mereka sudah hampir sampai, tulisan Svarnadwipa Grand Mal sudah terlihat.
"Gimana cara aku ngenalin kamu, Om?"
"Yah, bilang aja aku ini om kamu. Trus kamu kenalin dia sebagai sahabat kamu ke aku. Gak perlu ngarang macem-macem. Apa adanya aja."
"Trus, gimana caranya kalau dia curiga aku selama sudah tahu kalian berdua berteman di Instagram? Tapi pura-pura gak tahu."
"Gak usah mikir kejauhan. Selanjutnya nanti serahin aja ke aku. Udah, santai aja. Yang pasti kita akan mulai hubungan ini dengan kejujuran. Walaupun secara bertahap sih." Dion menepuk bahu Alesya, meyakinkan keponakannya kalau pertemuan pertama antara dirinya dan Dyan adalah murni karena takdir. Bukan sepenuhnya direncanakan.
===
–Kembali ke mal saat ini.
"Dion?" Mendengar om Alesya yang menyebutkan namanya, Dyan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dyan sudah cukup terkejut saat Alesya memperkenalkan pria muda yang datang bersamanya sebagai 'om', dan sekarang dia menyebutkan nama yang terdengar familiar.
"Iya, aku Dion." Katanya lagi sambil terus tersenyum. "Kamu Dy dari akun instagram @dyan.art.life kan? Akhirnya kita ketemu ya, Dy." Kata Dion lagi.
"Tapi...kok...sama Al? Om-nya Alesya? Kamu? Jadi tau aku dari Al? Al, kamu tau kalo...?" Dyan berusaha mengaitkan fakta-fakta yang berseliweran dalam benaknya. Perkiraan Alesya kalau Dyan akan mulai mengaitkan asumsi-asumsi soal hubungan mereka bertiga sekarang terbukti. Alesya menyikut Dion, memberi kode untuk menjelaskan situasinya.
Dion melepaskan jabatan tangannya dan kemudian melihat ke arah Adit. Tanpa ragu dia mengulurkan tangan mengajak Adit bersalaman, yang langsung disambut oleh remaja itu dengan sopan.
"Dan ini adalah...?"
"Adit ... Om. Eh... Opa? Eh.. Adit panggil apa ya?"
"Hahaha, bingung ya? Soalnya tante Alesya panggilnya 'om', artinya Adit jadi panggil opa ya? Terserah Adit aja deh, mau panggil apa." Dion tertawa melihat remaja di depannya kebingungan.
"Kalo gitu, Adit panggil 'om' aja. Soalnya om Dion sepertinya seumuran dengan om Cha." Jawab Adit tanpa ragu, merasa senang bisa kenal dengan 'om' yang ramah dan ganteng ini.
"Ok. Om Dion senang bisa kenal Adit. Ngomong-ngomong Adit tinggi juga ya? Umurnya berapa sih?"
Alesya menahan diri untuk tidak mencibirkan bibirnya melihat om tercinta dengan mulus berusaha mendekatkan diri dengan calon anak. Sambil merangkul bahu Adit, dengan bangga Alesya memperkenalkan anak sahabatnya ini memang bongsor sejak kecil, walau baru 14 tahun tapi sudah 170 cm tingginya, Alesya terdengar seperti membanggakan anak sendiri.
Sementara Dyan masih berdiri terpaku melihat adegan yang sedang terjadi di depan matanya. Keakraban diantara orang-orang yang disayangnya dengan seseorang yang baru saja ditemuinya. Dion?
Dion segera menyadari kalau Dyan masih kebingungan dengan situasi saat ini. Alesya juga bisa merasakan atmosfer sekitar Dyan yang mulai terasa kaku. Dengan cepat Alesya berusaha membuat Dyan bisa lebih santai.
"Yan, tadi di taxi aku cerita sama om kalo aku mau makan siang sama kamu. Trus om bilang, dia juga janjian mau ketemu teman instagram-nya di mal yang sama. Eh! Siapa sangka, ternyata temen om itu kamu! Selama ini aku gak tau kalo kalian saling kenal di instagram." Fiuh! Alesya merasa lega karena bisa bicara setengah jujur kepada sahabatnya ini. Demi....
"Iya. Ternyata dunia sempit juga ya? Siapa sangka kalau Dy itu ternyata sahabatnya Al. Benar-benar kebetulan sekali ya?" Dion ikut menanggapi. Sungguh akting yang sempurna. Setidaknya untuk saat ini, Dion tidak berencana untuk menyembunyikan dari Dyan fakta sesungguhnya. Tapi bukan sekarang saatnya. Suatu saat nanti dia pasti akan memberitahu Dyan sejujurnya.
"Ah, iya. Aku kaget tadi soalnya aku gak tahu kalau om-nya Alesya ternyata masih seumuran juga." Akhirnya Dyan terlihat lebih santai. Sepertinya penjelasan Alesya dan Dion bisa diterima oleh logika.
"Oya, Adit udah order makanan?" tanya Alesya mengalihkan topik pembicaraan.
"Udah tante Al. Tapi makanannya belum datang. Tante mau pesan ya? Sebentar, Adit ambilin kertasnya dulu." Tanpa menunggu Alesya ikut bangkit, mengikuti Adit yang sudah berjalan cepat ke arah meja counter, untuk mengambil kertas lembar pesanan.
Tinggal Dion dan Dyan berdua berdiri di dekat meja. Berusaha menghilangkan kerikuhan yang dirasakannya, Dyan mempersilahkan Dion duduk di kursi terdekat. Duduk berhadapan berdua seperti ini, Dion berusaha keras mengendalikan perasaan euforia yang dirasakannya sejak tadi.
Saat memasuki pintu mal ini dan akhirnya melihat lagi wajah wanita ini di depannya, aliran darah dalam tubuhnya terasa mengalir lebih cepat. Perasaan yang juga pernah dirasakannya dua tahun yang lalu saat Alesya memberitahu bahwa akun 'dyan.art.life' yang sudah diikutinya selama dua tahun ternyata adalah akun Dyan. Gadis yang dulu secara tidak sengaja memenuhi fikirannya saat dia tiba-tiba muncul di dalam taxinya.
Limabelas tahun yang lalu, awalnya dia hanya ingin menolong gadis yang memohon untuk ikut dengan taxinya pergi dari hotel itu. Kemudian tanpa rencana tubuhnya bergerak mengikutinya, memastikan kalau gadis itu benar-benar sampai ke tujuan dengan selamat. Setelah melihat kalau dia masuk ke dalam rumah yang juga tempat tinggal keponakannya saat itu, dia baru merasa tenang. Siapa sangka, ternyata mereka berdua juga bersahabat?
Bertahun-tahun mendengar cerita Alesya tentang Dyan, secara tidak sadar dia sudah merekam semua cerita tentang wanita ini dalam hati. Awalnya dia fikir perasaan yang timbul adalah rasa simpati dan respek. Namun dua tahun lalu, akhirnya dia sadar kalau perhatiannya selama ini kepada Dyan telah tumbuh menjadi rasa tertarik yang berbeda.
Hidup seolah berjalan selalu kearah Dyan, bertahun-tahun mengetahui cerita hidupnya lewat Alesya, lalu tanpa sengaja menemukan akun sosial medianya dan saling mengikuti tanpa tahu kalau pemiliknya adalah Dyan, bertukar cerita selama empat tahun hidupnya jauh dari tanah air membuatnya merasa punya tempat pulang yang akan dituju saat kembali.
Dan sekarang, setelah memutuskan untuk mendekati Dyan secara nyata dan mengajak Alesya untuk membantu menjalankan rencananya, siapa yang tahu semua akan berjalan semulus ini?
Memecah kesunyian, Dion berusaha memulai pembicaraan. "Ternyata dunia memang sempit ya? Alesya keponakan aku juga adalah sahabat kamu. Pasti kamu kaget tadi ya?"
Dyan mengangguk, "Banget. Sejak sampai disini, Alesya sudah cerita kalo akan ketemu om-nya. Aku gak nyangka kalo om-nya ternyata kamu... Kalo boleh tau, om-nya dari sisi ayah atau ibunya Alesya?"
"Aku adek bungsu ayah Alesya. Ayahnya Al adalah abang sulung aku. Umur kita beda jauh. Waktu aku lahir, bang Amar baru nikah. Jadi Alesya lahir aku udah 3 tahun." Dion menjelaskan hubungan Alesya dengan dirinya.
"Wah! Berarti om kandung ya? Cuma beda 3 tahun? Kayak kakak adek jadinya." Dyan akhirnya merasa lebih santai, karena Dion juga terasa seperti teman lama saat bercerita.
"Haha, iya. Kita selalu satu sekolahan, sampai SMA. Tapi dari awal Alesya harus panggil 'om' ke aku. Abah masih ketat soal silsilah."
"Jadi unik ya. Alesya seperti punya om sekaligus kakak laki-laki rasanya. Tapi Alesya gak pernah cerita soal om yang seumuran? Eh...atau pernah ya? Aku mungkin gak inget."
Adit tiba-tiba sudah duduk di samping Dion dan Alesya mengambil kursi di samping Dyan.
"Aku udah orderin buat kamu, om." Kata Alesya.
"Ok, makasi ya." Tanpa bertanya menu apa yang sudah dipesan Alesya, Dion langsung menyetujui. Ada sedikit rasa iri timbul dalam hati Dyan, melihat interaksi om dan keponakan ini. Mereka seperti sudah faham isi fikiran masing-masing.
"Ah, apaan sih Dyan. Mereka kan sodara. Gak heran kalau tahu kesukaan masing-masing. Kamu mikir apa sih?" Dyan memarahi dirinya sendiri dalam hati.