30. Terlihat Seperti Adit
Siapa yang akan menyangka, makan siang bersama dadakan ini berlangsung akrab tanpa ada kecanggungan diantara mereka. Dyan yang awalnya terlihat kaku untuk sekedar memberi reaksi, sekarang terlihat lebih santai dan bahkan sesekali ikut menanggapi perbincangan.
Alesya nyaris tidak percaya betapa mulusnya ';si om Dion' ini membaurkan diri dengan Dyan dan Adit. Sepanjang ingatan Alesya, selama dia berada di sekitar hidup Dion, pria bermata abu-abu ini bukan orang yang gampang untuk beramah-tamah dengan perempuan selain untuk urusan pekerjaan. Tidak heran kalau orang disekitarnya menyangka kalau Dion tidak tertarik dengan lawan jenis.
Setiap ada wanita yang tertarik dengannya dan berusaha mendekatkan diri, tidak satupun yang berlanjut ke tahap yang lebih serius dengan label yang jelas. Alesya sudah menyaksikan banyak kejadia, betapa dinginnya sikap Dion kalau sudah ada rekan atau kenalan wanita yang terlihat mulai tertarik dengannya. Terutama selama 4 tahun terakhir, karena Alesya selalu berada di dekat Dion. Mau tidak mau, dirinya seringkali jadi 'batu loncatan' para wanita tersebut dalam misi pendekatan kepada Dion.
Sekarang?
Entah pencerahan apa yang terjadi, selain dengan Dyan, om-nya ini bahkan bisa mengobrol dengan Adit. Berbincang mengenai berbagai hal, mulai dari sekolah, teman, sampai hobi. Walau Dyan tidak banyak bicara, tapi Alesya bisa melihat kalau sahabatnya terlihat nyaman berada di dekat Dion. Tidak terlihat ada 'aura penolakan' di sekitar tubuhnya.
Ponsel Adit tiba-tiba berbunyi. Ternyata panggilan masuk dari Glenn. "Ya, bro? Aku dan Bunda masih di mal. Kenapa?" tanya Adit. Sambil mendengarkan suara Glenn, Adit mengangguk-anggukkan kepalanya lalu berkata, "Ok, aku cek dulu ya. Tapi gak janji." Setelah beberapa saat, akhirnya panggilan berakhir.
"Siapa yang telpon, nak?" Tanya Dyan.
"Glenn, bunda. Dia minta tolong beliin sesuatu di toko buku lantai 2. Gak papa kalo abang keatas sebentar? Bunda tunggu disini aja, soalnya kan ada barang belanjaan kita." Adit berkata sambil bangkit dari kursinya.
"Kira-kira lama gak? Soalnya kita udah selesai makan, gak enak juga kalau duduk kelamaan." Tanya Dyan.
"Gak kok, bun. Bentar." Jawab Adit.
"Om Dion ikut deh. Sekalian mau tau toko bukunya dimana." Tiba-tiba Dion ikut berdiri. "Al, pesan desert atau minuman lain sambil nunggu kita."
Alesya mengangguk sambil mengibaskan tangannya, seperti menyuruh om-nya cepat pergi. "Ya, buruan deh perginya. Kasian belanjaannya Dyan nih."
Alih-alih merasa canggung, Adit malah terlihat semangat melihat Dion menawarkan diri ikut bersamanya ke toko buku. Dua pria ini berjalan beriringan menuju eskalator ke lantai 2. Walaupun Dyan tau, anaknya memang mudah untuk dekat dengan orang baru, tapi baru kali ini dia melihat Adit menampilkan "raut wajah kekanakan" kepada orang yang baru pertama kali ditemuinya.
Adit seperti juga Dyan, selalu berusaha tampil 'baik-baik saja' dan memberi kesan 'lebih dewasa dari usia sesungguhnya'. Fasade yang dibangun bertahun-tahun karena tumbuh besar dengan status 'tidak ideal'.
Jadi anak yang lahir tanpa ayah dari ibu yang tidak pernah menikah. Kalau tidak ingin hancur karena di dera penilaian orang lain, pilihannya harus bisa kebal dan abai. Membuat dia menjadi anak yang sangat hati-hati dan berusaha untuk tidak memberi celah buat orang lain memberinya cemoohan.
Menjaga sikap dan tingkah laku, terutama terhadap orang-orang yang kenal dengan bundanya. Berusaha jadi anak yang jadi kebanggaan bunda dan menghalangi prasangka buruk orang untuk bundanya dengan tampil lebih dewasa.
Tapi Dyan merasa kali ini Adit berbeda, putranya terlihat lebih santai bahkan cenderung antusias berbincang dengan Dion. Bahkan dari bahasa tubuhnya terlihat Adit seperti saat dia ada di dekat Mahesa –kakak laki-laki Dyan. Seolah dia merasa percaya sepenuhnya kalau Dion bukan seperti orang lain pada umumnya.
Mata Dyan terus mengikuti kedua sosok laki-laki yang sekarang sudah berada jauh dari hadapannya.
"Udah, gak usah kuatir. Adit aman kok sama om. Dua-duanya nyambung obrolannya." Suara Alesya mengejutkan Dyan yang tidak sadar dari tadi fokus melihat ke arah anaknya pergi.
"Eh... iya. Aku cuma bingung, Adit bisa akrab gitu ya? Padahal kan baru kenal sekarang. Mungkin karena Dion mirip kak Mahesa ya?" Kata Dyan berasumsi.
"Mirip apanya? Tinggi beda, rambut beda, wajah beda. Gantengnya juga beda. Kak Mahesa tu ganteng banget tau! Sayang udah punya istri. Aw!!" Dan Alesya menerima cubitan Dyan. "Awas ya, nanti aku kasi tau kak Viny kamu ngomong gitu." Ancam Dyan sambil menyebutkan nama kakak iparnya.
"Weks...kasi tau gih! Paling juga kak Viny makin bangga punya suami ganteng." Memang Dyan tidak pernah bisa menang kalau bicara dengan Alesya.
"Ya kan? Kak Mahesa lebih ganteng kan?" Tanya Alesya sambil tersenyum penuh arti.
"Maksud pertanyaan kamu apa, Al?"
"Maksudnya? Maksudnya aku cuma mo tanya, menurut kamu gantengan mana kak Mahesa sama om aku?" Dyan bisa merasakan arah pertanyaan Alesya ini ke arah mana. Pipinya terasa panas, lalu mengalihkan pertanyaan Alesya dengan menanyakan hal lain.
"Kamu kok gak pernah cerita sih, kalo punya om yang umurnya sama?"
"Sama? Gak lah. Dia lebih tua dari kita Yan. Om Dion itu umurnya 3 tahun diatas kita. Tapi emang banyak yang bilang sih, kalo kami seumuran. Sebel banget aku, disama-samain sama orang tua." Dyan tertawa melihat wajah kesal Alesya.
"Eh, kamu mo minum apa? Sambil nungguin mereka datang. Aku traktir nih." Alesya bangkit dari kursinya, berjalan ke arah meja pesanan. "Terserah kamu deh, Al." Jawab Dyan dan Alesya memutar matanya mendengar jawaban Dyan. "Jawaban wanita kebanyakan kamu, Yan."
===
Sudah 15 menit berlalu sejak Adit dan Dion pergi ke lantai 2. Tiba-tiba ponsel Dyan berbunyi, ada panggilan masuk dari Adit. Belum sempat Dyan bertanya, terdengar suara tangisan anak kecil.
"Abang?"
"Ya, bun. Abang lagi di lantai 2 di depan toko buku. Bunda bisa kesini sebentar? Adit ketemu Isabel, tapi dia sendirian. Adit gak tau nomor tante Emily. Jadi..." Mendengar kata-kata Adit, sontak Dyan berdiri.
"Ya, bunda langsung kesana. Tunggu ya."
"Mau kemana, Yan? Adit kenapa? Om Dion kemana?" Tanya Alesya bertubi-tubi. Melihat wajah cemas sahabatnya.
"Aku susul Adit ke lantai 2 dulu ya, anak salah satu langgananku sepertinya terpisah dari orangtuanya. Adit gak tau nomor hape yang harus dihubungi. Tolong jagain belanjaan sebentar ya, Al."
Tanpa menunggu persetujuan Alesya, langsung saja Dyan berjalan ke lantai 2. Meninggalkan sahabatnya yang masih kebingungan. Lalu Alesya langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Dion.
"Om, Adit kenapa?" Tanya Alesya segera setelah panggilan tersambung.
"Ada anak perempuan yang tiba-tiba manggil Adit. Sepertinya dia terpisah dari orangtuanya, untung ketemu orang yang dikenal. Sekarang anaknya gak mau lepas dari Adit. Kamu tunggu bentar ya, Al. Aku gak bisa tinggalin anak-anak ini berdua kalau Dyan belum sampai."
"Oh, OK." Jawab Alesya singkat. Dan kembali menikmati minumannya. Merasa tenang sudah mengetahui kejadian yang sesungguhnya.
Baru saja Dion memasukkan ponselnya ke kantong celana, dari kejauhan terlihat sosok Dyan mendekat sambil setengah berlari. Wajahnya terlihat cemas.
Sementara sambil terus berjalan cepat, Dyan mulai merasa lega karena sepertinya keputusan Dion menemani Adit ke toko buku adalah tepat. Di saat ada kejadian tidak terduga seperti ini, Adit tidak sendirian.
Tiba-tiba langkah Dyan terhenti, melihat pemandangan di depan matanya. Perasaan apa ini? Adit yang sedang menggendong seorang gadis kecil berambut ikal kecoklatan. Gadis kecil itu memeluk Adit erat sambil menyandarkan kepala mungilnya ke bahu Adit. Sisa-sisa tangisan masih tampak dari punggung kecil yang bergerak naik turun, dan Adit menepuk-nepuknya dengan lembut.
Saat memutuskan untuk mendekati mereka, tiba-tiba seorang pria dengan langkah cepat setengah berlari menghampiri Adit. Kaki Dyan mendadak kehilangan kekuatan untuk melanjutkan langkah. Jantungnya mendadak berdetak cepat, tangannya tanpa sadar mengepal.
Gadis kecil yang berada di gendongan Adit langsung mengulurkan tangan pada pria yang baru saja menghampiri sambil merengek memanggil, "Daddy!"
Gadis kecil itu sekarang berada di gendongan pria yang dipanggilnya 'Daddy'. Tidak lama terlihat Emily datang menyusul dari belakang. Nafasnya tampak terengah-engah.
Pria itu menepuk bahu Adit, wajahnya yang semula cemas terlihat bahagia. 'Siapa dia?' Dari jarak ini Dyan bisa dengan jelas melihat matanya, hidungnya, rambutnya, tiba-tiba nafasnya terasa sesak. Kenapa wajah pria asing itu terlihat seperti Adit?