Dyan dan Adit menyusun barang-barang belanjaan mereka bersama di dapur. Tanpa harus diberi instruksi, Adit dengan sigap menyortir jenis-jenis barang dan meletakkannya ke tempat penyimpanan masing-masing. Pasangan ibu dan anak ini bergerak harmonis, seperti sudah saling memahami jalan fikiran masing-masing.
Waktu menata belanjaan adalah momen mereka berdua membahas tentang berbagai hal. Mulai dari menceritakan kembali proses belanja, membahas menu baru yang mereka cicipi, bahkan sampai ke cerita kondisi di sekolah atau cerita unik di butik yang belum sempat dibahas dalam minggu ini.
Itu yang biasanya terjadi, namun saat ini yang terjadi agak diluar kebiasaan. Mereka berdua hanya saling bicara seperlunya dan proses menata belanjaan berlangsung lebih senyap dari biasanya. Baik Dyan maupun Adit tenggelam dalam fikiran masing-masing.
Dyan akhirnya sadar kalau pertemuan dengan Dion –sahabat virtualnya, memang benar-benar terjadi. Mengingat kembali pertemuan tanpa rencana yang baru saja terjadi, ada beragam perasaan datang tumpang tindih dalam benaknya.
Perasaan sungkan yang awalnya dia rasakan ternyata segera lenyap beberapa saat setelah Dion memperkenalkan diri. Ada rasa bahagia, karena akhirnya bisa bertemu sahabat yang selama ini 'tidak berwujud'. Seseorang yang selama 4 tahun belakangan bisa jadi tempat bercerita nyaris tentang apa saja tanpa memberi Dyan perasaan dihakimi. Sahabat yang punya minat sama. Bahkan banyak nilai-nilai hidup mereka juga serupa.
Pertemuan selama makan siang terasa lebih familiar tanpa rasa canggung. Dion sama sekali tidak berbeda dengan caranya bicara selama ini lewat tulisan. Kepribadiannya bahkan kurang lebih seperti kesan yang selama ini Dyan rasakan lewat perbincangan virtual mereka. Bahkan lebih daripada itu, Dion bahkan tidak terlihat canggung saat mengetahui keadaannya yang sudah punya anak remaja.
Apalagi Dion bisa dengan cepat akrab dengan Adit, betapa dalam waktu singkat Dion telah membuat putranya melepaskan perisainya. Perisai kedewasaan. Di pertemuan pertama, Dion berhasil membuat si Abang bersikap seperti anak remaja selayaknya. Selama makan siang bersama, mereka terlihat santai saling menanggapi pertanyaan dan mengobrol bersama Dion, yang sesekali ditimpali Alesya.
Suasana yang terasa familiar, karena Adit juga seperti itu setiap kali bertemu dengan kak Mahesa. Tapi ini dengan Dion, orang yang baru saja ditemuinya hari ini. Memberi rasa hangat di hati Dyan, saat dia mengingat kembali keakraban diantara Dion dan Adit. Terasa wajar dan apa adanya.
Dan ada satu perasaan lagi muncul dalam hati Dyan, 'kekaguman'. Kagum melihat kemampuan Dion untuk bisa dengan cepat membaurkan diri dengan dirinya dan putranya. Terlepas dari statusnya sebagai om kandung Alesya, Dion bisa membawa dirinya seolah dia juga sudah jadi bagian dalam keluarganya.
'Bagian keluarga? Ah! Berlebihan sekali kamu Yan!' batin Dyan mencibir diri sendiri yang dianggapnya terlalu gampang tersanjung. 'Wajarlah kalau dia bisa cepat akrab, aku kan sahabat Alesya. Dan Alesya juga berencana tinggal bersama kita. Jadi gak usah terlalu ge-er deh, Yan. Itu namanya beretika baik.'
"Bunda!" Suara Adit membuyarkan lamunan Dyan. Menoleh ke arah putranya, Dyan menjawab panggilan putranya dengan senyuman.
"Bunda udah berapa lama kenal sama om Dion?"
Dyan terdiam, tidak siap dengan pertanyaan anaknya yang tiba-tiba. Sementara Adit menatapnya dengan mata berbinar-binar menanti jawaban dari Bundanya.
"Kayaknya sudah 4 tahun deh bunda follow akun om Dion. Tapi mulai kenalannya mungkin baru 2 tahunan ini. Kenapa bang?" Dyan bertanya dengan nada penasaran.
"Ooooh, abang kira bunda udah kenal dari jaman dulu sama om Dion." Adit menunjukkan raut wajah heran saat mendengar penjelasan bundanya. "Soalnya abang merasa om Dion seperti udah kenal lama sama bunda. Rasanya dekat om Dion itu seperti kalau abang lagi sama om Eca." Adit mengutarakan perasaannya pada Dyan.
Dyan tahu, memang bukan hanya dirinya yang merasa nyaman saat bersama Dion, Adit pun juga punya perasaan yang sama.
"Om Dion itu udah kerja di luar negri sebelum bunda tau akun instagramnya. Bunda belum pernah kenal kok sebelumnya." Kata Dyan.
"Ya, tadi om Dion juga bilang kalo om sebelum ini kerja di luar negri. Perasaan abang sih, bun. Om Dion bikin abang merasa kalo abang sama om Dion udah kenal lamaaa banget."
Dyan tersenyum mendengar ucapan putranya, yang terdengar seperti orang sedang 'jatuh cinta'. "Itu artinya om Dion orangnya supel. Gampang akrab sama orang lain. Jadi kita merasa nyaman ngobrol sama dia."
"Betul bunda. Cuma abang merasa om Dion beda banget. Baiknya sama kita bukan basa-basi, bukan karena orangnya ramah. Tapi...om Dion itu baiknya sungguhan. Asli"
Dyan tertawa mendengar ungkapan perasaan Adit. "Abang lucu deh, ngomongnya kayak lagi 'naksir' seseorang."
Mendengar ledekan bundanya, tatapan mata Adit tiba-tiba berubah jadi tatapan...usil?
"Keliatan ya bun?" Tanyanya sambil nyengir.
"Apanya yang keliatan?" Dyan menoleh, menatap wajah Adit dengan heran. Tangannya sesekali masih bergerak menata beberapa botol di dalam kabinet dinding. Membuatnya kurang menyimak maksud pertanyaan Adit.
"Keliatan, kalo abang naksir om Dion." Alis Adit naik turun sambil menjawab pertanyaan Dyan. Pernyataan Adit ini sukses membuat Dyan terkejut dan menghentikan pekerjaannya.
"Naksir om Dion gimana?" tanya Dyan memastikan. Apakah naksir dalam arti positif atau negatif?
"Naksir mau ngelamar om Dion." Jawab Adit sambil berjalan cepat menaiki tangga menuju lantai 2. Mendengar perkataan Adit, mata Dyan langsung melotot dan mengikuti langkah Adit ke atas.
"Hei! Maksudnya apa nih anak bunda? Maksudnya abang naksir cowok?" Tanya Dyan yang berhasil menangkap ujung t-shirt Adit. Sejak selesai membuat pernyataan radikal soal melamar om Dion yang berhasil menyentil emosi bundanya, Dyan merasa anaknya sedang menggodanya.
"Hahahaha, kalo abang bilang 'iya naksir om Dion sebagai cowok', menurut bunda gimana?"
Dyan kehabisan kata-kata, dengan mata yang masih melotot menatap Adit, dia hanya bisa terdiam.
Melihat reaksi bundanya, Adit pun menyerah untuk melanjutkan candaannya. Dipeluknya Dyan erat-erat sambil tertawa.
"Bunda, jangan mikir yang aneh-aneh gitu dong." Bujuk Adit.
"Mikir aneh gimana?! Abang itu yang ngomongnya aneh. Perasaan bunda gak pernah ngajarin gitu." Dyan membalas pelukan anaknya tapi dengan tatapan mata yang masih agak melotot.
"Bunda, abang itu naksir om Dion sebagai cowok dan pengen ngelamar om Dion... AW!!!" Tiba-tiba Adit berteriak, pelukannya terlepas dan tangannya berganti mengusap-usap pangkal lengannya yang terasa sakit. Hasil dari cubitan gemas Dyan mendengar putranya masih saja bicara yang tidak-tidak.
"Ayo, becandanya jangan kelewatan gitu." Kata Dyan sambil ikut mengusap-usap bekas cubitannya. Penyesalan datang selalu belakangan. Setelah mencubit karena gemas Dyan malah merasa bersalah sudah membuat anaknya kesakitan.
Wajah Adit malah tersenyum lebar mendengar kekesalan bundanya. Dipegangnya kedua tangan Dyan, lalu mengatupkannya dan meletakkannya ke atas dadanya.
"Bunda sayang. Jangan marah dulu dong. Coba denger dulu kalimat abang sampe selesai." Adit berkata sambil terus tersenyum. Membuat Dyan tidak bisa meneruskan kekesalannya.
"Ya, udah. Bunda mau dengar. Jadi maksud abang naksir om Dion tadi itu apa?" Tanya Dyan sekali lagi.
"Abang naksir sama om Dion sebagai cowok dan ... pengen ngelamar om Dion.... untuk jadi suami bunda."