'Lima menit lagi', gumam Dyan sambil melihat jam di layar ponselnya. Segera diselesaikannya membilas perangkat makan yang sudah dilapisi buih sabun dan bergegas masuk ke dalam kantor, membereskan gambar-gambar desain yang sudah selesai sebelum istirahat tadi.
Keluar dari kantornya, Dyan melihat ada satu pasangan muda yang sedang berkonsultasi dengan Wendy. Karyawannya terlihat kurang nyaman karena bahasa tubuh dan pandangan mata tamu pria itu kelihatan agak melewati 'jarak personal'. Dyan bisa melihat Wendy berulangkali melangkah menjauh tapi pria itu kembali mendekat. Sementara si tamu wanita wajahnya terlihat tidak senang tapi juga tidak mampu berbuat apa-apa. Sementara Rose tidak terlihat di butik.
Dyan memutuskan untuk menghampiri mereka, dia tidak ingin karyawannya merasa tidak nyaman.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Suara Dyan membuat si tamu pria mengalihkan pandangannya dari Wendy. Kelihatannya tindakan Dyan berhasil menyelamatkan Wendy dari cecaran pertanyaan tamu ini. Tapi bukannya merubah sikap, pria itu malah memindahkan minatnya kepada Dyan.
Dyan tersenyum kearah tamu wanita. Memberi simpatinya lewat pandangan mata, kemudian kembali bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, bu?"
"Kita lagi cari hadiah kejutan buat keponakan perempuan. Umurnya sih baru 10 tahun tapi badannya udah besar." Si pria mengambil alih menjawab pertanyaan Dyan, membuat alisnya sedikit berkerut.
"Besar? Maksudnya 'bongsor'? Kalau begitu kita bisa ambil 2 size lebih besar. Ukuran untuk umur 12 bisa dicoba." Dyan menjelaskan sambil menunjuk ke arah hanger dress anak beranjak remaja.
"Maksudnya sudah 'besar'. Bukan seperti anak-anak. Tapi udah mirip badan remaja." Si pria menjelaskan maksud 'besar' dengan memberi gestur yang mengejutkan di mata Dyan. Karena dia meletakkan dua telapak tangannya ke dada dan membuat gerakan membulat. Membuat Dyan merasa jengah, menghadapi tamu pria ini. Padahal dari penampilannya pria itu tidak terlihat seperti seseorang yang berpendidikan rendah. Alis Dyan semakin berkerut.
Si tamu wanita buru-buru memegang tangan pasangannya itu. Menurunkan posisi tangannya, dan berkata, "Maaf mbak. Keponakan saya memang badannya seperti remaja, tapi karena masih 10 tahun saya mau kasih hadiah baju yang modelnya sesuai dengan umurnya." Si pria terlihat kurang senang melihat pasangannya mengambil alih pembicaraan.
Dyan tersenyum kepada wanita itu dan membawanya ke rak hanger di bagian baju berukuran 'spesial'. Menjelaskan bahwa butik juga menyediakan beberapa koleksi pakaian anak perempuan dalam ukuran istimewa.
Tiba-tiba pintu butik terbuka, Rose datang sambil menggendong sebuah kantong kertas. Rupanya dia dari tadi sedang diluar, menunggu kiriman mbak Viny. Dyan memberi kode untuk Rose supaya menghampiri mereka.
Rose paling ahli dalam menghadapi pelanggan yang agak 'istimewa' seperti tamu pria ini. Hanya dengan bahasa tubuh dan raut wajah Dyan, Rose langsung memahami kondisi yang sedang terjadi. Dia cepat-cepat menghampiri.
"Bu, ini beberapa dress baru datang. Mau saya letakkan dimana ya?" Tanya Rose sambil berjalan ke arah Dyan dan sepasang tamu tadi. Suaranya sengaja agak keras, untuk mengalihkan perhatian si tamu pria kepada Dyan. Sementara Wendy sudah berdiri agak jauh, seolah-olah sedang membereskan hanger dress yang sebelumnya dilihat para tamu.
Dyan dengan cepat menanggapi pertanyaan Rose, "Minta tolong Wendy yang beresin, Rose mungkin bisa tolong saya disini." Segera Rose menyerahkan tas kertas yang dibawanya ke Wendy dan bergegas menghampiri Dyan.
Dyan menjelaskan secara garis besar kebutuhan 2 orang tamu di hadapan mereka. Tapi tampaknya kali ini kehadiran Rose tidak terlalu berhasil mengalihkan perhatian si tamu pria ini. Dia masih saja bertanya kepada Dyan, walaupun Rose sudah berusaha menjawab dan menjelaskan pertanyaannya. Sementara tamu wanita kelihatan juga kurang nyaman dan akhirnya mencoba memberi alasan untuk bisa keluar dari butik bersama tamu pria.
"Mungkin bagusnya keponakannya kita bawa kesini ya, mbak." Alasan si tamu wanita, karena mereka tak kunjung menemukan model baju yang 'diharapkan'.
"Kalau gitu lebih bagus. Jadi keponakannya bisa langsung pilih dan coba langsung bajunya." Dyan menyetujui usulan tamu wanita. Mendengar jawaban Dyan, si tamu Pria tiba-tiba meminta nomor ponsel Dyan dengan alasan untuk membuat jadwal kapan bisa membawa keponakannya ke butik.
Rose langsung mengambil kotak kartu nama di meja kecil. Kartu nama butik yang bisa diambil oleh para pelanggan, berisikan nomor telp dan beberapa informasi lain. Disodorkannya kotak berisi kartu nama ke tamu pria, "Ini ada semua kontak butik yang bisa dihubungi, pak. Silahkan diambil." Tamu itu mengambil selembar kartu namun kemudian menyodorkan ponselnya kepada Dyan. Membuat alis Dyan mengernyit.
"Saya minta no kontak mbak-nya juga. Kalau gak mau disebutkan juga gak papa, mbak. Di miss-call aja nomornya pake hape saya."
Ini sudah keterlaluan, walau bukan sekali dua kali ada pelanggan pria yang agak 'minta perhatian lebih', tapi tamu yang satu ini terlalu persisten. Biasanya para tamu mengincar nomor ponsel pribadi Dyan bisa dialihkan oleh Rose dengan memberikan kartu nama butik. Baru kali ini ada yang punya rasa percaya diri diatas limit.
Dyan baru saja akan menolak permintaan pria itu, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil berteriak memanggilnya.
"Tante Dyaaan!"
Dyan serta merta menoleh dan merasa bahagia melihat Isabel yang datang dan memanggilnya dengan semangat. Bahagia karena ada alasan kuat untuk tidak meladeni permintaan tamu itu. Dyan langsung membungkukkan badannya dan menyambut uluran tangan mungil itu.
"Tante Dyan, mau liat desain baju Abel dong." Gadis kecil itu terlihat sangat tidak sabaran, dia berbicara dengan Dyan sambil melompat-lompat di tempat. Tidak sabar ingin cepat-cepat melihat gambar calon dress ulang tahunnya.
"Iya, iya. Sudah tante siapin kok di dalam. Kita lihat sama-sama ya? Oya, Abel sama siapa datang kesini?" tanya Dyan tersenyum, melihat wajah gadis kecil yang membuatnya teringat pada Adit. Mata coklat muda berbinar dengan senyum lebar dan pipi yang gembil.
"Abel diantar Momily dan Daddy." Jawab Isabel sambil sambil menunjuk kearah pintu.
'Daddy?' spontan Dyan melihat ke arah pintu, dilihatnya Emily sedang berbincang dengan Wendy dan seorang pria yang waktu itu menggendong Isabel di mal sedang berjalan kearahnya.
Dyan langsung menegakkan tubuhnya dan tersenyum sambil mengangguk sopan.
Pria yang dipanggil 'Daddy' oleh Isabel pun membalas senyum Dyan dengan jenis senyuman yang seolah-olah mereka berdua sudah saling mengenal. Sikap yang membuat Dyan merasa agak heran.
"Maaf ya, Isabel sudah merepotkan. Dia sudah dari kemarin mau mampir kesini." Kata si 'Daddy' ini menjelaskan maksud kedatangan mereka dengan kesan yang 'sangat akrab'.
"Pak David?" Tiba-tiba terdengar suara si tamu pria 'berkeponakan besar' tadi dari belakang Dyan. Membuat wajah 'Daddy Isabel' menoleh ke arahnya.
"Ya?" Jawab 'Daddy Isabel'.
"Saya Rino, pak. Dari bagian marketing." Kata si tamu pria sambil membungkukkan badannya. Sikap yang berbeda jauh dari sebelumnya saat berhadapan dengan Wendy dan Dyan.
"Oh ya? Sedang belanja baju anak?" Tanya David basa-basi.
"Cari kado buat ponakan, pak. Tapi saya ragu size-nya. Jadi batal. Kebetulan sekali bisa ketemu bapak disini. Bapak mau belanja baju anak juga?" Kata pria bernama Rino itu dengan sikap penuh hormat.
"Saya ada janji dengan Dyan." Jawab David. Membuat wajah Rino semakin tegang dan kemudian dengan sopan mohon diri kepada David dan Dyan untuk pulang. Rose tersenyum miring melihat adegan yang terjadi di hadapannya.
Setelah Rino dan tamu wanita itu keluar dari pintu butik, David langsung mengulurkan tangannya kearah Dyan. Walau masih agak bingung, Dyan menyambut jabatan tangan David.
"Saya David, orangtua Isabel. Maaf atas ketidaksopanan karyawan kami." David memperkenalkan dirinya sembari meminta maaf.
"Ah, iya. Saya Dyan. Tidak apa-apa pak David." Dyan tersenyum.
"Maafkan juga sikap saya tadi yang kurang sopan, karena pura-pura sudah..."
"Wah! Justru saya harus berterimakasih," Dyan akhirnya mengerti kenapa tadi David bersikap sok kenal dengannya di depan Rino.
"Aku gak nyangka mas, kalo ada karyawan hotel kita yang begitu. Ntar aku tanyain HRD, dia karyawan baru apa dari cabang lain." Emily yang sudah sejak tadi berdiri didekat mereka ikut berkomentar.
"Maaf ya mbak Dyan. Kebetulan tadi pas baru masuk kita lihat situasinya kok gak ngenakkin. Trus mbak Wendy yang cerita soal tamu tadi."
Baru saja Dyan ingin berkata kalau mereka berdua tidak perlu minta maaf dan merasa bersalah, Isabel menarik tangannya dan kemudian menggandeng Daddy-nya dengan tangan satu lagi.
"Ayo ayo, kita liat gambar baju Abel." Dan gadis kecil ini menarik Dyan dan David menuju kantor.
"Eh, Momily kok ditinggal?" Protes Emily sambil menyusul langkah mereka.