"Kayaknya jam segini Dyan masih di butik. Kita jadi gak bisa lewat pintu samping. Aku belum sempet minta kunci duplikat." Kata Alesya sambil memeriksa jam di ponselnya.
"Jadi kita masuk lewat butik aja? Parkir di depan apa samping?" tanya Dion memastikan sekali lagi.
"Parkir di samping aja, biar gak ganggu tamu. Tapi kita lewat butik aja masuknya. Eh, tapi coba aku telpon Dyan dulu, dia lagi dimana." Alesya menekan nomor Dyan dan mengaktifkan speakerphone. Setelah tiga kali suara panggilan, akhirnya terdengar suara Dyan.
"Ya, Al?"
"Kamu lagi dimana Yan? Di butik apa di atas?"
"Butik. Baru selesai nerima tamu konsul. Kenapa Al?"
"Tamunya udah pulang?"
"Udah, barusan juga pulang."
"Ya udah. Aku hampir nyampe nih. Ntar aku lewat butik aja ya masuknya."
"Ok."
Dion yang dari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka sambil memperhatikan jalanan di depannya, tiba-tiba bersuara. "Kamu ga bilang kalo aku ikut mampir, apa nanti ga jadi masalah?"
"Hmmm,...kayaknya gak masalah Om. Kan dirimu 'temen' Dyan juga. Hihihi. Kenapa jadi waswas gitu? Gak kangen?" Tanya Alesya sambil tersenyum usil.
"Ralat, yang betul 'bakal calon suami'." Protes Dion.
"Jyaah! Belum tentu, sekarang status masih 'teman'. Kan belum mengajukan proposal." Kata Alesya sambil tertawa.
"Soon! Tinggal tunggu waktu aja." Dion menjawab yakin, tawa Alesya meledak mendengar jawaban dan juga melihat ekspresi wajah Dion yang serius menanggapi kata-kata usilnya. Sejak terang-terangan jatuh cinta, Om-nya jadi enak buat diusili.
Satu blok menjelang butik, mata Dion melihat Alphard hitam yang baru saja keluar dari halaman butik menuju ke arah mereka. Matanya langsung mengenali nomor plat mobil yang baru saja kemarin di lihatnya saat sedang menginap di hotel resort keluarga Jansen. 'Kenapa mobil David keluar dari parkir butik?' Tanya Dion dalam hati.
"Eh, itu mobil pak David kan?" Alesya juga mengenali Alphard yang baru saja berpapasan dengan mereka.
"Iya, aku lihat mereka berangkat sebelum makan siang tadi."
"Kok mereka keluar dari butik ya? Apa pak David bawa anaknya ketemu Dyan?" Alesya menerka-nerka. "Ah! Om, ternyata kamu dapet rival yang gak ringan." Dion hanya diam, kali ini dia tidak menanggapi perkataan usil Alesya.
"Kita parkir di samping aja kan?" Tanya Dion kemudian.
"Iya, biar kita gak nganggu kalo ada tamu yang datang."
===
"Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?" Tanya Rose, saat mendengar bel berbunyi tanda pintu butik dibuka.
"Ini saya, Rose. Ibu ada?"
"Eh, ibu Alesya. Dikira tadi tamu, soalnya lewat depan. Ibu ada tuh lagi di kantor. Tadi abis terima tamu konsultasi. Kayaknya lagi beresin gambar-gambar." Rose dan Wendy memang sudah kenal dengan Alesya sejak Sabtu lalu. Tapi baru kali ini mereka melihat pria yang ada di belakang Alesya. Mereka berdua terlihat penasaran.
"Kita ketemu Dyan dulu ya, Ros." Kata Alesya sambil berjalan kearah kantor. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti dan berbalik menghadap Wendy dan Rose, Alesya berkata, "Oya, kenalkan ini om saya. Namanya Dion. Om, ini Rose dan ini Wendy, karyawannya Dyan."
Rose dan Wendy langsung tersenyum sambil menganggukkan kepala kearah Dion. Begitu juga Dion. Setelah perkenalan singkat, Alesya pun kembali mengajak Dion untuk masuk ke kantor Dyan.
Wendy dan Rose saling berpandangan lalu bersamaan melihat ke arah Dion dan Alesya yang memasuki kantor Dyan.
Rose : "Ini hari apa ya Wen?"
Wendy : "Hari Kamis, kak."
Rose : "Kayaknya bukan Kamis deh...."
Wendy : "Jadi hari apa?"
Rose : "Ini 'Day of Bees'.
Wendy : "....? Hari apaan tu?"
Rose : "Ini hari 'tawon'. Soalnya dari tadi udah ada 3 tawon yang hinggap."
Wendy : "Tawon?! Dimana?"
Rose : "Tawon ganteng yang kurang ajar satu. Tawon jangkung ganteng yang punya anak cantik satu. Sekarang ada tawon jangkung ganteng om-nya bu Alesya tapi masih muda."
Setelah terdiam sejenak mendengar penjelasan Rose, Wendy pun tertawa cekikikan. Tapi memang hari ini butik mendadak didatangi tawon-tawon ganteng, dan semuanya mengunjungi Dyan.
"Kakak pilih yang mana? Kalo Wendy pilih papanya dedek cantik tadi. Soalnya dek Isabel kan akrab sama Adit. Paket lengkap deh."
"Aku pilih om-nya bu Alesya. Biar bu Dyan total disayangnya, gak dibagi-bagi sama anak satu lagi."
"Kalo Adit pilih yang mana ya?" Tanya Wendy.
"Yang pasti bukan pilih tawon ganteng yang kurang ajar tadi."
Dan mereka berdua pun cekikikan bersama-sama.
===
Dyan sedang merapikan desain terakhir yang dibuat bersama Isabel, sambil membayangkan hasil akhir saat gaun ulangtahun ini selesai. Tenggelam dalam imajinasinya, Dyan sama sekali tidak menyadari kalau Alesya dan Dion sudah ada di dalam ruangan.
"Asik banget sih, bu?" Suara Alesya mengejutkan Dyan. Seketika dia mengangkat kepalanya dan terkejut untuk yang kedua kalinya. Karena wajah Alesya ternyata sudah ada persis di hadapannya dalam jarak dekat.
"Kalo lagi sibuk, kita tunggu diluar aja," terdengar suara Dion dari belakang Alesya, membuat Dyan lagi-lagi terkejut.
"Ah, kalian udah sampe. Gak papa, aku udah selesai. Tadi cuma rapiin gambar aja." Kata Dyan sambil membereskan kertas-kertas yang ada di hadapannya.
"Kita ke pantry aja yuk, aku bikinin teh anget ya." Ajak Dyan sambil beranjak dari kursinya. Mengajak kedua tamunya untuk pindah ke pantry di belakang butik.
"Kena macet gak tadi?" Tanya Dyan sambil menyeduh teh. Alesya membuka pintu kabinet, mencari kacang yang dibeli saat belanja hari Minggu. Sementara Dion memperhatikan sekeliling ruangan. Pantry dan ruang duduk tidak bersekat, hanya pintu kearah luar yang diberi sekat rak serbaguna. Menciptakan area foyer untuk memberi transisi dari luar ke arah dalam.
"Gak macet, lancar banget." Jawab Alesya sambil mengunyah kacang yang sudah ditemukannya.
"Dy, kamu bisa desain interior ya?" Tanya Dion tiba-tiba.
"Suka sih, kenapa?"
"Ruangan ini, keren banget sirkulasinya. Walau open space tapi pembagiannya jelas. Kamu desain sendiri?"
Mendengar komentar Dion, baru Dyan mengerti kenapa dia mendapat pertanyaan soal desain interior. Sambil tertawa kecil Dyan berkata, "Ah, kalo soal desain ruangan ini aku cuma ngebayangin konsepnya. Tapi yang bikin desain sampe pilih furniture semua kakak laki-laki aku. Kak Mahesa. Dia arsitek."
"Mahesa? Hmm,..." Dion menyebut nama yang terdengar familiar di telinganya. "Kakak kamu arsitek? Gak heran desain interiornya jadi keren gini."
"Makasih, ya kak Eca dulu juga ikut terlibat di proyek pembangunan komplek pertokoan ini waktu baru tamat kuliah. Jadi waktu almarhum Mama memutuskan beli unit ini, kak Eca langsung bikin desain interiornya." Dyan tanpa sadar menceritakan keluarganya dengan penuh kebanggaan. Makin kesini, dia makin membuka diri pada Dion.
Dion bisa merasakan kalo Dyan sekarang sudah tidak terlalu menjaga jarak dengannya, rasa optimis tumbuh makin besar dalam hatinya.
"Iya, om. Kak Eca dulu juga tinggal disini sebelum nikah. Makanya urusan interior udah beres banget." Merasa terabaikan, Alesya ikut melibatkan diri dalam perbincangan dua orang ini.
"By the way, kayaknya om tau deh sama kak Eca. Kan kak Eca juga ikutan dalam proyek resort hotel. Masuk dalam team arsitek." Kata Alesya lagi.
"Oh pantesan aku merasa familiar banget dengar namanya. Ya, aku baca namanya di dalam daftar team arsitektur." Dion akhirnya ingat dimana dia pernah membaca nama Mahesa.
"Loh! Kalian berdua sekarang lagi ikutan proyek yang sama dengan kak Eca?" Lagi-lagi Dyan terkejut. Kebetulan apa lagi ini? Setelah kebetulan Dion dan Alesya pindah ke kota P karena ada pekerjaan, sekarang faktanya mereka berdua kebetulan bekerja di proyek yang sama dengan kak Mahesa.
"Ya, tapi aku belum pernah ketemu orangnya. Aku suka desain hotel resort yang baru, aku jadi pengen kenalan sama kakakmu Dy." Kata Dion ke Dyan.
"Biasanya kak Eca kalo lagi libur suka mampir. Nanti aku kenalin." Kata Alesya sambil tersenyum pada Dion.
Lagi-lagi Alesya diabaikan, walaupun sedikit menyebalkan tapi Alesya sama sekali tidak keberatan. Dia hanya memperhatikan kedua orang di hadapannya sambil mengulum senyum dan mengunyah kacang.
Suara polyphonic bel pintu terdengar membuat mereka bertiga serentak melihat ke arah pintu. "Sepertinya Adit pulang." Dyan baru akan melangkahkan kakinya untuk membuka pintu, Dion dengan cepat langsung bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah pintu. "Biar aku aja yang buka."
Waktu pintu dibuka, tampak wajah Adit yang terkejut melihat Dion yang telah membuka pintu. "Om? Kok ada disini?"
"Udah pulang, Dit?" Dion malah balik bertanya. Melihat Adit yang masih terpana, Dion tersenyum sambil mengucek-ucek rambut Adit. "Ayo masuk dulu. Nanti aja cerita-ceritanya."
Adit melangkah masuk, baru saja dia melewati foyer, Adit melihat ada Alesya dan bundanya sedang duduk di pantry. Adit menghampiri Dyan dan mencium tangannya, "Bunda, abang pulang."
"Ya, pasti capek banget ya? Minum dulu sedikit terus buruan mandi," Kata Dyan sambil menyodorkan secangkir teh hangat untuk Adit.
Selesai meminum teh yang diberikan bundanya, Adit seperti teringat sesuatu. "Bunda, tadi Abel kesini ya? Abang tadi baca pesan dari tante Emil. Katanya Abel mau kesini ketemu Abang."
"Iya, tadi Abel kesini. Tapi bukan cari Adit aja, kita bikin desain baju ulangtahunnya juga." Jelas Dyan.
"Abel kesini berdua aja sama tante Emil atau sama Oma juga?" Tanya Adit lagi.
"Abel datang bertiga. Tapi bukan dengan Oma. Tadi Abel datang sama tante Emil dan Daddy-nya. Udah, buruan mandi dulu. Nanti abis mandi baru cerita lagi." Kata Dyan sambil mendorong Adit supaya cepat pergi ke lantai dua dan membersihkan diri.
"Ok, ok. Om Dion, tante Al, Adit mandi dulu ya sebentar." Alesya dan Dion serentak menganggukkan kepala.
'Jadi benar, tadi David datang dengan anaknya dan adiknya. Lalu 'Oma'? Jadi orangtua David juga sudah pernah ketemu Dyan?' Sejenak rasa kompetitif Dion terusik.