Dyan buru-buru membuka pintu setelah mendengar Alesya yang memanggilnya dari luar. Ternyata bawaan Alesya lumayan juga, selain travel bag ada 2 kantong yang ditentengnya. Melihat Dyan sudah ada di depannya, Alesya langsung mengulurkan satu kantong kresek yang paling besar.
"Ini manggis yang dibeliin om tadi." Dyan langsung menyambut kantong itu dan memeriksa isinya.
"Banyak banget. Berapa kilo ini?" Tanya Dyan.
"Ga tau deh, tapi kayaknya lagi musim. Sepanjang perjalanan ada beberapa kedai yang jualan manggis. Yang ini si ibu jualan di depan rumah. Kayaknya sih hasil kebun sendiri." Kata Alesya sambil mengambil sebuah kantong lain yang berukuran sedang dari dalam mobil.
"Nah, yang ini sampahnya." Kata Alesya lagi sambil membawa kantong terakhir ke tong sampah.
"Sampah apa? Eh itu tempat sampah organik Al." Dyan buru-buru memperingatkan Alesya.
"Ini sampah kulit manggis yang aku makan di mobil tadi."
"Kamu makan sendirian sebanyak itu? Ya ampun, apa gak sakit perut?"
"Aku pernah makan lebih banyak dari ini. Hehehe... Lagian udah bertahun-tahun aku gak ketemu manggis, kalo diluar harganya gak masuk akal. Disini murah banget dan mumpung ditraktir si Om, aku nikmati dengan seksama. Hehehe."
Dyan hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar perkataan Alesya.
Setelah masuk ke dalam, Alesya tidak langsung naik keatas. Travel bag-nya digeletakkan saja di lantai sebelah meja pantry. Setelah mencuci tangan, dia duduk lagi di kursi dan menghirup teh hangatnya yang masih tersisa.
"Si Om di mana?" Alesya tersadar kalau Dion tidak ada lagi di pantry. Cangkir teh yang baru habis setengah masih ada di meja.
"Dion diajak si abang kekamarnya. Ada yang mau ditanyain soal school projectnya. Baru aja naik." Kata Dyan sambil menyusun manggis ke dalam keranjang buah. Lalu meninggalkan setengahnya di dalam plastik.
"Eh, manggisnya buat kita semua. Kenapa gak dipindahin semua ke keranjang Yan?" Tanya Alesya.
"Semua? Banyak banget. Bukannya ini manggisnya buat Dion juga? Gak buat dibawa ke kost-an sebagian?" Tanya Dyan. Memang jumlah manggis yang dibeli Dion jumlahnya sangat banyak. Bahkan setelah keranjang buah penuh, masih ada tersisa sepertiga kantong lagi.
"Kata Om tadi buat kamu, Adit dan aku. Dia gak bilang buat dia juga sih." Kata Alesya sambil menghabiskan tehnya dan langsung mencuci cangkir yang dipakainya. Dyan akhirnya memutuskan untuk membiarkan sisa manggis di kantong, 'Gak mungkin Dion gak ikut makan. Dia udah beli banyak banget,' pikir Dyan.
"Ngomong-ngomong, kamu udah berapa lama kenal sama si Om?" Alis Dyan berkerut mendengar pertanyaan Alesya. Dia mengamati wajah sahabatnya, tapi kali ini Alesya tidak menunjukkan tanda-tanda seperti sedang bercanda.
"Kamu serius gak tau kalo aku sama Dion jadi temen di instagram setelah saling follow? Aku ketemu akunnya gara-gara kamu jadi 'mutual friend'. Postingannya muncul di timeline-ku." Alesya cuma berkomentar 'ooo' sambil mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Dyan.
"Tapi masa iya kamu ga tau, Al?" Alesya menggeleng. Kenyataannya memang dia tidak tahu dari awal dan baru tahu belakangan secara tidak sengaja. Jadi jawabannya sekarang tidak sepenuhnya bohong kan?
"Trus, siapa yang follow duluan?" Tanya Alesya seolah belum tahu padahal dia sudah menginterogasi Dion jauh hari sebelumnya.
"Aku sih yang follow duluan. Abis nemu sketsanya di timeline aku, trus aku mampir ke halamannya. Aku liat kamu juga follow dia, jadi aku ikut follow juga. Lagian sketsanya dan gambar digitalnya bagus-bagus. Postingannya bermanfaat sih, sering share klip speed drawing. Jadi sumber inspirasi buat aku. Kadang-kadang dia posting foto keren juga. Pokoknya enak diliat deh halamannya."
Mendengarkan Dyan bercerita panjang lebar awal perkenalannya dengan si om bungsu, membuat senyum kecil muncul di wajah Alesya. Dan lagi-lagi Alesya memberi respon dengan berkata 'oooo' sambil mengangguk-angguk.
"Trus, udah follow-followan berapa tahun? Biasanya kalo dah lama jadi temen online pasti udah cerita kemana-mana kan ya? Masa si om gak keceplosan ceritain aku?" Walau sedikit banyaknya Alesya sudah tahu cerita pertemanan om-nya dan sahabatnya ini dari Dion, tapi dia tetap butuh konfirmasi dari pihak kedua.
"Mmm...kayaknya udah 4 tahun deh. Gak terasa. Dion emang enak diajakin ngobrol, tapi...sebetulnya kita gak cerita pribadi masing-masing sih. Cuma bahas art, bahas berita, bahas foto, bahas buku... Gak sampe cerita pribadi sih seingat aku... Dia gak pernah ceritain kamu...aku juga gak pernah cerita soal Adit. Malah...." Tiba-tiba Dyan menghentikan ceritanya.
"Malah kenapa?" Tanya Alesya penasaran.
"Malah, aku ga pernah tanya nama aslinya Dion siapa...dan sebenarnya aku gak tau...Dion itu laki-laki atau perempuan."
Alesya mendadak tertawa mendengar jawaban Dyan. "Hahaha, jadi selama ini om Dion kamu anggap apa? Masa ga kebayang sih yang diajak temenan cowo apa cewe? Dari cara dia nanggepin kamu ngomong, menurut kamu dia cowo apa cewe? Jadi curiga nih aku, jangan-jangan si Om secara virtual imej-nya feminim."
Dyan ikut tertawa bersama Alesya, mentertawakan dirinya yang bisa berteman dengan seseorang tak ber-jender. Namun sejujurnya, Dyan sejak awal sudah merasa kalau pemilik akun 'diondarte' adalah seorang pria. Di awal masa berteman online, Dyan sangat hati-hati setiap kali meninggalkan komentar atau pesan DM.
Buat Dyan, statusnya yang seorang ibu tunggal dan punya anak diluar nikah berarti dia tidak pantas untuk berteman dengan lawan jenis sembarangan. Dia tidak ingin statusnya menjadi alasan untuk dihakimi orang lain, dia tidak mau kalau anaknya jadi bulan-bulanan ejekan kalau dia terlalu akrab dengan lawan jenis. Dianggap perempuan yang 'tidak benar'. Mempermalukan anaknya...
Namun, setelah beberapa waktu berlalu, interaksinya dengan Dion tidak pernah terasa 'mengancam'. Berteman dengan Dion terasa 'tidak berbahaya'. Membuat Dyan beranggapan teman virtualnya mungkin saja bukan lawan jenis. Lebih baik menganggapnya bukan laki-laki, karena Dyan takut kalau merasa nyaman berteman dengan laki-laki membuatnya jadi tidak berhati-hati menjaga 'kehormatannya'.
"Soalnya setau aku, kamu gak gampang akrab sama cowo kan? Apalagi kalo identitasnya gak jelas." Dyan tersenyum mendengar kata-kata Alesya, memang hanya sahabatnya ini yang paling mengerti isi pikirannya.
"Ga nyangka deh aku, si Om bisa punya imej feminim sampe bisa bikin seorang Dyan yang duri landaknya selalu berdiri di sekitar cowo bisa tertipu." Kata Alesya lagi.
"Gak kok Al. Dion itu cara ngomongnya ga jauh beda dengan sekarang, setelah aku ketemu langsung. Sebetulnya aku udah ngerasa kalo yang punya 'diondarte' itu laki-laki. Tapi,...Dion gak bikin aku merasa 'terancam' selama jadi temannya."
"Jadi auranya kan feminim dong, soalnya gak bikin terancam."
"Mmm, sebetulnya gak feminim juga, tapi ... juga gak bikin aku ngerasa 'bahaya' kalo akrab. Tiap kalo ngobrolin sesuatu, Dion gak pernah 'menghakimi' atau 'mendominasi', tapi pada akhirnya selalu bikin aku bisa nerima pendapatnya, ... ya gitu deh.
"Ih!....Bikin aku jealous nih. Sekarang kamu itu kedengarannya lebih 'best friend' sama si Om daripada aku, Yan." Kata Alesya sambil memancungkan bibirnya, setelan wajah kecewa. Padahal dalam hati dia lagi tertawa bahagia karena punya banyak bahan untuk godain si Om.
Dyan tiba-tiba merasa bersalah melihat reaksi Alesya setelah mengetahui perasaannya kepada Dion. Bagaimanapun di hati Dyan, tidak ada sahabat sedekat dan setulus Alesya.
Dyan langsung merangkul Alesya berusaha membujuk sahabatnya yang terlihat 'kecewa', "Kenapa jealous sama Dion? Persahabatan kita itu beda rasanya, gak bisa dibandingin."
Mendengar bujukan Dyan, senyuman usil yang berusaha disembunyikan Alesya sejak tadi akhirnya tidak tertahan lagi.
"Ooooh, jadi beda rasanya.... Kalo sama aku rasa soul-sister, kalo sama om Dion....rasa 'soulmate'?"
'Soulmate'?
Dyan merasa pipinya mendadak panas, setelah akhirnya dia menyadari arti 'perasaan yang belum bernama' selama ini.