"Terima kasih untuk makan siangnya." Kata Dyan, dari balik pintu mobil David tersenyum dan mengangguk.
"Saya juga terima kasih banyak karena Dyan dan Adit sudah bisa menemani kami makan siang." Balas David sambil tetap duduk di kursi pengendara. Isabel terlihat sedang terlelap di kursi sebelah David. Makan siang hari ini memang agak terlambat, sehingga selesai makan Isabel yang biasanya tidur siang langsung tertidur dalam perjalanan menuju butik.
"Terima kasih Om David." Adit ikut mengucapkan terima kasihnya. "Ya, Om juga terima kasih banyak ya, Adit mau menemani Abel hari ini. Kapan-kapan kita ketemu lagi." Kata David sambil tersenyum.
"Maaf, saya gak turun dari mobil." Kata David lagi.
"Ah, gak papa. Abel sudah ketiduran, mungkin baiknya mas David langsung bawa Abel pulang sekarang. Kasihan, tidurnya sambil duduk."
"Ok, saya permisi dulu." Kata David sebelum menutup kaca jendela dan perlahan mobil hitam itu menjauh dari butik. Dyan kemudian mengajak Adit untuk masuk karena mendadak langit mendung seperti mau hujan.
Wendy dan Rose diam-diam menyaksikan adegan perpisahan yang terjadi di depan butik. Melihat Dyan dan Adit yang berjalan cepat karena gerimis mulai turun, mereka berdua langsung membukakan pintu. Tepat setelah pasangan ibu dan anak ini memasuki butik, hujan lebat tiba-tiba turun.
"Wah! Sudah berapa hari ya cuaca panas? Akhirnya hujan juga." Kata Wendy sambil melihat keluar dari balik kaca.
"Makan siang dimana, Bu? Kok lama?" Tanya Rose.
"Kita ke restoran taman yang ada kolam ikan koi, kak." Adit mewakili bundanya menjawab.
"Lotus Garden?" Rose spontan menutup mulutnya, tersadar barusan suaranya terlalu 'high pitch'. Wendy juga kelihatan terkejut. "Itu kan restoran mahal, Bu. Biasanya kalau makan disitu bukannya harus pesan tempat dulu?" Tanya Rose lagi.
"Ya, sebetulnya tadi Emil sudah pesan tempat untuk acara makan keluarga mereka. Tapi dia mendadak harus pergi ke hotel mereka dengan orangtuanya. Jadi pak David dan Abel minta Ibu dan Adit untuk menggantikan. Sayang kan, sudah dipesan mejanya." Dyan menjelaskan panjang lebar, dia merasa perlu untuk memberitahu para karyawan yang sudah dianggapnya anak-anaknya ini. Agar mereka tidak salah sangka.
"Wah, ternyata bukan cuma mbak Emil ya? Pak David juga orangnya gak sombong. Padahal kaya..." Celetuk Wendy yang langsung disahut Dyan dengan kata, "Hush!" sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan menilai orang dari penampilan, gak semua yang kelihatan kaya itu orangnya royal. Juga gak semua orang yang punya harta lebih jadi sombong. Gak ada hubungan antara sombong dengan kaya." Mendengar kata-kata Dyan, spontan Wendy bertanya lagi, "Kok gak ada hubungan kaya sama sombong, bu? Kan kalo orang yang banyak duit suka merasa lebih diatas."
Dyan tersenyum mendengar pertanyaan Wendy yang polos, ditepuknya bahu gadis berambut panjang itu dan berkata, "Orang yang sombong itu biasanya miskin...hatinya. Jumlah uang gak menjamin orang merasa 'cukup'. Selama dia belum merasa cukup artinya dia masih miskin."
Wendy dan Rose terdiam, setelah akhirnya memahami penjelasan Dyan. Melihat kedua gadis itu tidak bisa membalas perkataannya lagi, Dyan tertawa kecil.
"Jadi anak-anak ibu sayang, jangan sampe minder apalagi membandingkan diri dengan orang lain berdasarkan jumlah uang yang kita punya. Selama kita merasa hidup kita cukup dan kita merasa bersyukur, artinya kita lebih kaya dari orang yang kelihatannya banyak uang tapi terus merasa kurang."
====
Hujan terus turun sampai malam, Alesya yang tadinya berencana ingin mengajak Dyan dan Adit untuk makan diluar akhirnya membatalkan niatnya. Walau sebetulnya dia sudah kangen lagi masakan Mama Glenn.
"Udah, makan di rumah aja. Kamu gak suka masakan aku ya, Al?" Tanya Dyan sambil meletakkan masakan yang baru selesai dibuatnya. Chicken katsu dengan saus asam manis. Adit meletakkan semangkuk salad praktis yang baru dibuatnya. Wortel manis yang di serut dicampur kol yang diiris tipis dibalur dengan mayonaise.
"Suka kok. Cuma aku lagi pengen makan yang pedes-pedes. Kan hujan, Yan. Enak makan yang pedes. Apa kita pesen online aja ya?" Usulnya sambil terus memotong-motong buah naga.
"Ya ampun. Emang abis makan ini semua, perut kamu masih cukup makan lagi? Ini kan udah malem. Bisa kembung perutmu nanti." Protes Dyan.
"Ya tante, lagian kita tadi siang udah makan diluar. Sekarang makan makanan rumah aja." Adit ikut berkomentar. Mendengar fakta yang baru didengarnya, Alesya mengerutkan alisnya.
"Tadi udah makan diluar? Waaah! Curang nih, kok Abang gak ngajak-ngajak tante Al?" kata Alesya sambil memonyongkan bibirnya. Merasa terkhianati. "Makan dimana?"
"Kita diajak sama om David dan Abel, makan di Lotus Garden." Jawab Adit dengan senyum lebar.
"Lotus Garden?! Waaaah, baru kemaren ada yang cerita tempat makan yang enak dan tempatnya bagus buat foto-foto. Tapi katanya harus reservasi dulu. Kok bisa? Iiiih, curang ah gak ngajakkin." Mulut Alesya makin manyun.
"Emil sebetulnya reservasi buat mereka sekeluarga makan siang, tapi mendadak Emil dan orangtuanya harus ke hotel ketemu investor. Jadi mas David dan Abel mampir kesini, ngajakkin kita berdua daripada makan berdua aja." Kata Dyan sambil mulai mengisi piringnya dengan makanan.
"Mas David? Daddy-nya Abel??" Tanya Alesya dengan nada selidik. Mendadak manyunnya lenyap berganti dengan senyum usil. Melihat wajah sahabatnya ini, Dyan langsung mencium aroma mencurigakan. 'Alesya pasti mikir yang bukan-bukan...' katanya dalam hati.
"Ya, daddy-nya Abel. Kenapa?"
"Sejak kapan panggil 'Mas'? Mesra amat." Tanya Alesya dengan nada usil. 'Nah! Bener kan? Dia mikir yang aneh-aneh,' Dyan membatin.
"Ya, katanya dia gak mau dipanggil 'Pak'. Kelewat resmi. Jadi dia usul, panggil 'Mas' aja, sama seperti panggilan Emil ke dia. Tadinya dia minta panggil nama, tapi aku gak enak ah."
"Kenapa gak enak? Kalo mau akrab, kan enak tinggal panggil nama."
"Soalnya kan dia lebih tua dari kita. Aku gak enak ah, panggil nama aja. Kayaknya kurang menghargai." Jelas Dyan.
"Ooooh gitu." Kata Alesya sambil manggut-manggut. Tapi kemudian Alesya melanjutkan kata-katanya, "Berarti seharusnya kamu juga gak boleh manggil 'nama' dong ke Om Dion. Dia kan juga lebih tua dari kita."
Tangan Dyan yang sedang menyendokkan nasi mendadak terhenti. Karena apa yang dikatakan Alesya barusan memang benar. Dia baru sadar, kenapa selama ini dia bisa memanggil Dion tanpa 'embel-embel' dengan nyaman? Padahal, alasannya untuk tidak bisa memanggil David tanpa 'imbuhan' adalah karena usianya yang lebih tua. Sementara Dion juga lebih tua 3 tahun dari dirinya.
"Ya, Bun. Bener juga kata tante Al. Kenapa Bunda cuma panggil nama ke om Dion?" Adit yang sejak tadi hanya menyimak, mendadak ikut berkomentar.
"Soalnya Bunda sama om Dion kan udah jadi temen duluan di Instagram. Kalo mendadak berubah panggilannya kan jadi aneh." Kata Dyan beralasan. Mendengar penjelasan bunda-nya, Adit hanya mengangguk-angguk.
"Wah! Bisa juga artinya Om Dion keliatannya lebih muda dari umurnya. Jadi bundanya Abang merasa kayak temen seumuran sama Om Dion." Kata Alesya ke Adit yang disambut dengan anggukan tanda setuju.
"Aduh! Udah deh, makan dulu. Kok malah ghibah. Katanya tadi laper. Kalo masih pengen makan yang pedes-pedes, ada saos sambel di lemari tuh." Kata Dyan berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Eh, menurut abang mana yang lebih baik. Om Dion apa Om David?" Tanya Alesya, mengabaikan ucapan Dyan. Adit segera menanggapi pertanyaan Alesya tanpa pikir panjang, "Dua-duanya baik sih, kalo menurut pendapat Abang."
"Kalo yang lebih ganteng yang mana?" Tanya Alesya lagi.
"Hmm.....ganteng dua-duanya juga." Adit menjawab lagi.
"Trus Abang suka yang mana?" Pancing Alesya lagi, kali ini Dyan mendelikkan matanya kearah Alesya.
"Abang suka dua-duanya. Abang sih yang penting siapa yang paling disukain Bunda. Dan bisa bikin Bundanya Abang bahagia."
"Jieeeeh.... keren amat nih anak tante Al."
"Ale! Abang! Apaan sih? Kok malah bawa-bawa Bunda? Udah makan dulu. Kalo mo becanda, nanti abis makan." Matanya menatap tajam sahabatnya dan anaknya bergantian. Kenapa mereka berdua malah berkomplot mengusilinya?
"Abang gak becanda, Bun. Abang setuju kok kalo Bunda pilih salah satu dari om yang berdua ini untuk jadi suami."