"Abang gak becanda, Bun. Abang setuju kok kalo Bunda pilih salah satu dari om yang berdua ini untuk jadi suami."
Dyan tidak habis pikir, bagaimana bisa anaknya bicara soal memilih suami di saat sedang makan malam seolah-olah sedang membahas soal memilih menu makanan. Dan membicarakannya di depan Alesya yang sudah pasti bakal memperpanjang topik ini sampai kemana-mana. Sejak Alesya mendadak bertunangan, sahabatnya seringkali –secara langsung maupun tidak langsung, membahas soal mencari pasangan hidup dan pernikahan.
Sementara bagi Dyan, butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa sampai di tahap benar-benar menerima kenyataan bahwa menjadi ibu tunggal tanpa menikah bukan salahnya, bahwa dititipkan seorang anak yang membutuhkan dirinya dan kasih sayangnya adalah berkah terselubung yang dihadiahkan kehidupan padanya.
Rasanya baru kemarin dia akhirnya merasa jadi 'ibu' seutuhnya, sekarang mendadak satu-satunya pria yang dia cintai –putra semata wayangnya, tiba-tiba meminta dirinya untuk membagi cintanya pada orang lain? Dengan alasan ingin ada orang yang bisa menjaga dirinya selain dia. Padahal Dyan merasa, dirinya masih belum cukup memberikan cinta untuk putranya. Terkadang rasa bersalah masih muncul karena sempat tidak menerima kehadiran Adit di dalam hidupnya. Tapi sekarang anaknya meminta dirinya untuk mencari pendamping hidup.
Dyan masih berusaha untuk bisa menerima permintaan Adit yang tidak biasa ini, namun semesta seperti ikut berkonspirasi dengan keinginan anaknya. Mendadak hadir dalam hidupnya pria-pria yang kemudian dibuat jadi calon pilihan oleh putranya.
Tapi Dyan belum merasa perlu untuk memilih. Bahkan merasa anaknya mengada-ada saat mengatakan kalau dia bisa memilih salah satu dari dua pria yang baru saja hadir dalam hidupnya, Dion dan David. Bagaimana mungkin? Dirinya hanyalah orang asing dalam hidup kedua pria itu. Menjadi calon suami? Rasanya sekarang pertanyaan yang tepat adalah, apakah mereka mau jadi pilihan sebagai calon suami oleh seorang wanita yang baru mereka kenal?
Adit baru saja masuk ke kamarnya, sementara Dyan masih duduk di sofa dengan secangkir air jahe hangat. Hujan masih mengguyur kota P, udara malam ini jadi lebih dingin dari biasanya.
Alesya duduk di kursi dekat jendela yang menghadap ke balkon, sesekali menatap ke layar ponselnya sambil memegang secangkir air jahe hangat. Sudah lima belas menit Alesya menerima telepon dari Evan. Alesya sengaja memakai earbud supaya perbincangan mereka tidak mengganggu Dyan, tapi kalau memang personal, kenapa harus mengobrol di hadapannya dan pamer kemesraan?
Tidak lama Alesya mengakhiri teleponnya dan langsung pindah duduk di samping Dyan.
"Nah! Sekarang kita lanjut pembahasan tadi." Kata Alesya sambil duduk menghadap Dyan sambil senyum lebar memamerkan giginya. Matanya berbinar-biar penuh antisipasi.
"Pembahasan apa? Perasaan kita gak bahas apa-apa dari tadi." Dyan mengerutkan dahinya.
Alesya melihat ke arah pintu kamar Adit, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Dyan dan berbisik, "Bahas soal milih calon suami." Yang dibalas dengan delikan mata Dyan.
"Apaan sih, Al?"
"Apa?" Alesya balik bertanya sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Gak ada yang perlu dipilih. Dan belum tentu juga orangnya mau dipilih. Mereka baru kenal aku, belum tau aku siapa. Jadi...gak ada yang bisa dibahas." Jawab Dyan sambil bangkit dari sofa dan berjalan masuk kedalam kamarnya. Tidak ingin pembicaraannya dengan Alesya didengar oleh Adit.
Dyan duduk diatas tempat tidur, Alesya menutup pintu kamar dan cepat-cepat naik keatas tempat tidur Dyan, berhadap-hadapan.
"Kenapa gak ada pilihan? Bukannya Adit tadi sudah bilang, kalo dia suka Om Dion dan Daddy Abel. Trus terserah kamu mo pilih yang mana. Sekarang anakmu aja udah kasih izin, masa kamu gak mau pilih?" Tanya Alesya bertubi-tubi.
Dyan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Alesya yang kelihatan bersemangat membahas tema perjodohan ini.
"Yang suka bapak-bapak berdua itu kan Adit. Belum tentu mereka berdua setuju untuk jadi pilihan kan? Mereka belum tau aku siapa. Walau Adit kasih izin, memangnya mereka berdua mengizinkan aku buat milih? Becanda kali, Al." Jawab Dyan dengan tenang.
"Ya ampun, Dyan. Kamu tu ya... dindingnya kelewat tebel. Gimana dong sinyal mo lewat kalo gak ada jendelanya." Giliran Alesya sekarang yang geleng-geleng kepala.
"Dinding apaan?" Tanya Dyan tak mengerti.
"Dinding perlindungan hati. Kamu jadi gak sensitif jadinya, padahal orang udah kirim sinyal."
"Sinyal? Sinyal apaan?"
"Sinyal ketertarikan."
Dyan terdiam. Ketertarikan? Apa lagi ini?
"Yan. Untuk tertarik sama seseorang itu gak wajib harus udah kenal lama dulu. Dan gak butuh alasan. Tertarik itu bukan dilihat tapi dirasa. Saat kamu merasa ketemu sama seseorang itu gak bikin kamu bosen, gak bikin kamu harus pake topeng, gak bikin kamu harus hati-hati, itu artinya kamu tertarik dengannya." Kata Alesya panjang lebar.
"Kalo gitu aku tertarik sama semua pelanggan aku dong. Soalnya aku merasa nyaman-nyaman aja tuh sama pelanggan butik. Buktinya banyak yang dateng bolak-balik untuk belanja." Kata Dyan tenang.
"Bener! Bener banget. Kita memang tertarik dengan orang-orang yang frekwensinya sama. Karena orang itu ada kesamaan atau justru perbedaan yang melengkapi kita. Tapiiii...."
"Tapi apa?" Tanya Dyan lagi belum mengerti.
"Tapi 'ketertarikan' itu juga banyak jenisnya. Salah satunya 'ketertarikan' pada seseorang yang bisa melengkapi hidup kita. Alias pasangan hidup. Itu yang kamu kasih dinding tebal selama ini, Yan."
Dyan terdiam lagi, tidak membantah namun juga tidak mengiyakan perkataan Alesya. Pasangan hidup?
"Ntahlah. Kamu tau sendiri kan, Al. Aku rasa orang harus tau dulu kondisiku sebelum bisa 'tertarik'. Aku gak mau orang merasa kecewa setelah tau kondisi aku yang sesungguhnya." Kata Dyan akhirnya.
"Kondisi apa, Yan? Kondisi kamu yang mana?"
"Kondisi aku yang punya anak diluar nikah. Kondisi aku yang single parent. Gak semua orang bisa nerima kan? Kamu tau sendiri gimana selama ini orang memandang aku. Aku udah nerima kondisi ini, sekarang aku cuma mo jadi ibu yang baik buat Adit." Dyan akhirnya mengeluarkan isi hatinya pada Alesya.
Alesya sama sekali tidak terkejut, selama ini dia sudah tahu apa yang jadi penghalang dalam hati Dyan. Dia hanya tidak ingin membahasnya karena menunggu sampai Dyan siap untuk mengutarakannya sendiri.
"Aku tau.. Sejak awal, aku tau kalo kamu ngerasa gitu." Kata Alesya sambil menggenggam kedua tangan Dyan. "Aku juga tau, kalo orang umumnya gak mudah untuk bisa nerima kondisi seperti kamu."
Dyan menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca, hatinya merasa lega setelah bisa mengutarakan perasaan yang sudah mengganjal selama ini. Dan jadi lebih tenang setelah tahu kalau Alesya memahami perasaannya juga. Dyan mengusap sudut matanya, tidak ingin air matanya jatuh keluar.
"Tapi, Yan. Aku mo tanya sama kamu."
"Ya?"
"Om Dion kan udah kenal kamu sejak 4 tahun yang lalu, dan walau dia baru tau kalo kamu punya anak, menurut kamu om Dion sikapnya beda gak ke kamu sekarang? Cara dia ngobrol ke kamu berubah gak?"
Dyan tercenung mendengar pertanyaan Alesya. Sikap yang beda? Sama sekali tidak. Cara bicara berubah? Juga tidak, malah Dion juga bisa mengobrol akrab dengan Adit.
"Trus Daddy Abel, pasti dia udah tau kondisi kamu juga kan? Soalnya kamu udah cerita ke keluarganya kalo Adit juga sama seperti Abel, cuma punya 1 orang tua. Trus, sikap dia dari awal ketemu sampe sekarang ke kamu gimana rasanya? Dia keliatan seperti ngerendahin kamu gak?"
Lagi-lagi pertanyaan Alesya membuat Dyan tak bisa berkata-kata. Dirinya hanya menggeleng, karena David sama sekali tidak arogan, apalagi merendahkan dirinya walau sudah tahu statusnya yang single parent.
Tiba-tiba Dyan teringat perkataan David siang tadi, 'Adit bisa tumbuh besar jadi anak seperti sekarang, sudah pasti karena kasih sayang ibunya juga.' Sama sekali tidak merendahkannya, bahkan David memberinya dukungan moril.
"Sekarang dua-duanya sudah tau kondisi kamu. Trus dua-duanya juga gak bikin kamu merasa direndahkan. Jadi kamu mikir apa lagi, Yan? Artinya mereka berdua kan bisa jadi pilihan."
Dyan tersenyum dan menggelangkan kepalanya. Membuat kening Alesya berkerut dalam. "Apa lagi masalahnya?" Tanya Alesya bingung.
"Masalahnya, mereka berdua kan belum tentu mau dipilih, Al. Mereka belum tentu juga tertarik sama aku..." Dyan menyebutkan alasannya lagi.
Alesya tertawa mendengar alasan Dyan yang terdengar naif.
"My God, Yan. Aku sebenernya gak pengen ngomongin ini. Aku maunya kamu tu tau sendiri, 'naturally'. Tapi kayaknya gak bisa deh. Kamu tu ya, udah umur 35 masih lugu aja."
"Lugu?"
"Aku gak bisa komen soal pak David. Tapi, sekarang coba kamu pikir kira-kira apa alasan om Dion ninggalin pekerjaannya di luar negri untuk pulang ke Indonesia trus pindah ke kota ini, menetap bahkan kerja disini? Trus sampe bawa-bawa aku segala, padahal aku tuh udah mo nikah. Gak mungkin alasannya sesederhana hanya karena ada proyek disini..."
Dan Dyan kembali terdiam.