Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 44 - What do you think

Chapter 44 - What do you think

Beberapa jam sebelumnya masih di hari yang sama.

Dyan dan Alesya makan malam berdua saja. Sore tadi Adit minta izin Bundanya untuk ikut Dion ke rumahnya, dengan alasan mencari bahan referensi untuk menyelesaikan tugas short video advertisement dari sekolah. Walau Dyan merasa agak berat hati; berfikir Dion pasti butuh istirahat setelah kembali dari tugas diluar kota dan menyetir mobil berjam-jam. Namun ternyata Dion juga tidak keberatan kalau Adit ikut bersamanya. Malah dia pun turut minta izin untuk 'meminjam Adit' sebentar untuk jadi guide-nya mengenali kawasan sekitar komplek pertokoan ini. Maka Dyan pun menyerah.

Saat Dyan sedang menyiapkan makan malam bersama Alesya, tiba-tiba ponselnya berbunyi.

[Dy, maaf ya. Aku pinjem Adit agak lama. Udah jam makan malam, kebetulan kita lagi ketemu Glenn. Trus diajak makan sekalian di restoran mamanya. Ntar selesai makan langsung aku kembaliin deh. Thanks ya ^^]

"Siapa? Adit?" Tanya Alesya sambil melirik kearah layar ponsel Dyan.

��Bukan... Dion."

"Om?"

"Iya, Dion permisi mau ajak Adit makan malam di tempat Glenn."

"Wah! Coba kita belum masak ya? Kan bisa ikutan makan disana." Kata Alesya sambil cekikan. "Mumpung ada si Om yang traktir."

"Maksudnya? Masakanku ga enak? Gitu?" Tanya Dyan sambil mendelik.

"Please deh, Yan. Sensi bener. Lagi PMS?" Alesya balik bertanya sambil mencolek pinggang Dyan, membuat mata sahabatnya makin mendelik.

"Mereka kok bisa akrab dalam waktu singkat ya?" gumam Dyan.

"Kamu bilang apa?" Alesya menoleh mendengar gumaman Dyan.

"Gak papa. Cuma kayaknya nasi sisa bakal banyak nih ga ada Adit. Besok sarapan nasi goreng aja." Jawab Dyan sambil terus menyiapkan makan malam mereka berdua. Diam-diam Alesya tersenyum mendengar jawaban ini.

Saat makan malam, Alesya sibuk menceritakan pengalamannya selama survey dua hari di hotel resort keluarga Jansen. Sebetulnya Dyan juga penasaran ingin mendengar cerita Alesya, tapi sebesar rasa ingin tahunya sebesar itu pula usahanya untuk tidak teringat lagi kejadian buruk 15 tahun yang lalu.

Saat itu dia juga sedang ikut dalam tim survey sebuah perusahaan advertising sebagai anak magang. Siapa sangka, harapan untuk bisa mendapat banyak pelajaran berharga malah berakhir dengan mendapat pengalamanan pahit. Satu-satunya pelajaran berharga yang bisa diraih adalah untuk tidak mudah tertipu dengan penampilan seseorang yang kelihatannya 'sukses' dan baik hati tapi ternyata hanya ingin memanfaatkannya.

Sania. Senior yang mengajaknya ikut sebagai anak magang dalam proyek sungguhan perdananya. Senior favorit yang seperti idola di mata Dyan, bisa kuliah sambil bekerja di bidang yang sama, cantik, ramah dan disenangi banyak orang ­–terutama mahasiswa. Ke kampus mengendarai mobil yang kabarnya adalah hasil keringat sendiri. Semua yang melekat di tubuhnya adalah barang-barang terbaik yang tidak terjangkau oleh uang saku mahasiswa. Singkatnya, Dyan tersihir dengan penampilan Sania yang 'cemerlang'.

Walau hingga saat ini Dyan tidak tahu pasti, apa alasan Sania menjebak dirinya. Entah memang Sania yang membuatnya hilang kesadaran malam itu atau tidak. Tapi, jauh dalam lubuk hati Dyan meyakini perasaannya; Sania juga ikut berperan dalam kejadian naas malam itu. Karena setelah hari itu, Sania seperti menghilang dari kota B. Saat Alesya kembali ke kampus lagi setelah mengantar Dyan ke kota P sampai akhirnya wisuda, Sania sama sekali tidak pernah terlihat di kampus. Bahkan teman-teman seangkatannya konon tidak tahu kemana Sania menghilang. Gosip yang beredar pun beraneka ragam. Mulai dari cuti kuliah sampai pindah keluar negeri.

"Dy? Kamu gak papa?" Pertanyaan Alesya membuat Dyan tersentak dari lamunannya.

"Kamu kok ngelamun?" Tanya Alesya lagi.

"Gak, cuma kepikiran aja. Adit bakal pulang jam berapa. Abis makan aku mo tanya sama Dion. Supaya jangan kemaleman." Dyan segera melanjutkan makannya setelah menjawab pertanyaan Alesya.

Tapi Alesya bisa mengira-ngira apa yang sudah membuat wanita cantik di depannya ini sempat muram saat mendengar ceritanya.

'Ternyata kamu belum sepenuhnya lepas dari masa itu ya, Yan? Maafin aku yang kurang peka...' Alesya berbisik dalam hati.

Dan bukan Alesya kalau tidak bisa langsung merubah atmosfer suram yang terjadi.

"Dih! Segitunya mikirin Adit. Biasanya juga Adit cerita ke aku; sering pulang agak malem kalo lagi bikin pe-er ke rumah Glenn. Sekarang kok tiba-tiba kepikiran Adit mo pulang jam berapa?"

"Wajarlah, namanya juga orang tua. Besok kan masih hari sekolah, kalo kemaleman ntar dia kurang tidur. Susah bangun pagi." Dyan beralasan.

"Emang biasanya Adit suka lupa waktu gitu?"

Dyan terdiam, remaja 14 tahun itu sesungguhnya jauh lebih dewasa dari usianya. Jangankan lupa waktu, untuk banyak urusan sehari-hari pun Dyan tanpa sadar sering 'bergantung' pada Adit. Mama seperti sudah mempersiapkan Adit jadi matang lebih cepat untuk bisa menemani Dyan tanpa ada beliau.

"Gak sih,... Adit gak suka lupa waktu."

"Trus? Tiba-tiba aja jadi bunda possesif gitu?" Tanya Alesya sambil tersenyum usil, tahu kalau sahabatnya itu sedang berusaha mengelak kalau sebetulnya sedang menutupi sesuatu.

"Aku PMS kali. Udah ah. Lanjutin makannya."

Alesya tertawa mendengar kata-kata Dyan yang menjawab pertanyaannya dengan melempar balik kata candaannya tadi.

===

Selesai makan malam, Alesya dan Dyan tidak langsung naik ke lantai dua. Dyan duduk di sofa menunggu Adit yang katanya akan pulang sebentar lagi; Alesya yang baru saja selesai video call dengan Evan, pindah dari pantry ke sofa sebelah Dyan.

"Udah pacarannya? Kok cuma setengah jam?" Tanya Dyan tanpa melihat ke arah Alesya. Tatapannya tidak berpindah dari layar ponselnya sambil menggeser-geser halaman instagram-nya.

"Waaah, sepertinya PMS kali ini agak parah ya, bu? Tadi protes Adit pulang telat, sekarang protes aku VC-an setengah jam sama calon suami."

"...." Tangan Dyan berhenti sebentar; mendengar kata-kata Alesya. Lalu dia mencibirkan bibirnya ke arah Alesya untuk kemudian melanjutkan kegiatan sebelumnya. Melihat-lihat posting instagram secara acak.

"Kayaknya kamu harus cari 'temen baru' deh, Yan. Supaya gak 'clingy' terus sama Adit dan aku."

"Clingy apaan? Nuduh sembarangan aja." Kata Dyan sambil mendengus.

"Loh?! Dari tadi kamu tu bawaannya kayak orang cemburu, tauk. Cemburu Adit bisa akrab sama si Om padahal baru kenal. Trus cemburu sama aku yang udah punya calon suami. Aw!!" Cubitan maut Dyan mendarat di pinggang Alesya yang kurang waspada.

"Siapa juga yang cemburu. Huh..." Dyan melengos selesai menuntaskan cubitannya. Selalu menyenangkan buat Alesya, mengusili sahabatnya ini.

"Tapi Yan. Aku masih penasaran deh." Tanya Alesya tiba-tiba.

"Penasaran apa?"

"Penasaran kenapa kamu bisa jadi temen virtual si Om sampe bertahun-tahun. Kalian ngobrolin apa aja sih?"

"Ngobrolin apa? Ya apa aja lah. Gak spesifik kali. Kalo tau dari dulu Dion itu Om-nya kamu, pasti kita udah ngomongin kamu juga." Kata Dyan, masih dengan nada suara sebal karena curiga Alesya mau mengusili dia lagi.

"Cieee,...kalo kamu sempet tau aku ponakan om Dion, makin akrab dong ya obrolannya. Soalnya ada aku sebagai bahan gosipan."

"Iya ya, pasti udah dari kemaren-kemaren bisa gosipin kamu."

"By the way, Yan. What do you think...?" Ucapan Alesya menggantung, membuat Dyan merasa penasaran dan menoleh kearahnya.

"Think about what?..." Tanya Dyan.

"Om Dion. Menurut kamu, om Dion itu gimana orangnya?"

"Dion? Orangnya baik." Jawab Dyan singkat.

"Baik yang gimana?" Tanya Alesya lagi.

Diam sejenak, lalu Dyan menjawab;

"Baik karena bisa bikin Adit percaya dengan dia .Baik karena udah bisa jagain ponakan seperti kamu sampe seumur ini dengan selamat. Baik karena cara bicaranya sebelum dan sesudah ketemu aku gak ada bedanya."

Ada kilauan yang berbeda di mata Dyan saat dia menyampaikan perasaannya tentang Dion. Dan Alesya melihat kilauan itu.

Alesya : "Syukurlah kalo begitu,..."

Dyan : "Syukur karena...?"

Alesya : "Karena om Dion masih single and available."