Dari balik pintu kaca butik, Wendy dan Rose mengamati Fortuner hitam yang perlahan menjauh. Dyan dan Adit baru saja pergi makan siang bersama David dan Isabel.
"Kira-kira siapa yang bakal dipilih ibu, ya?" Suara Wendy memecah keheningan.
"Menurut kamu?" Tanya Rose.
"Hmmm, bingung sih. Pak Dion ganteng, masih single, orangnya ramah, trus masih sodara sama mbak Alesya –sahabatnya ibu. Kalo pak David walau duda tapi masih muda juga, punya hotel, trus anaknya akrab sama Adit. Aaah! Kalo aku jadi ibu, pasti aku pusing mo pilih yang mana." Kata Wendy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pilihan sulit."
"Gak bakal kejadian sama kita, Wen. Tuhan gak akan kasih cobaan diluar kemampuan kita." Kata Rose sambil tertawa.
"Ujian? Dikasi pilihan bagus kok ujian sih, kak?"
"Ya iyalah. Diberi pilihan yang terlalu bagus pun namanya ujian. Buktinya kamu pusing kan? Stress kan mikirinnya? Padahal bukan kamu yang punya pilihan."
Kali ini Wendy tidak membantah kata-kata Rose. Memang benar, saat tidak punya pilihan adalah ujian, terlalu banyak pilihan bisa jadi ujian yang setara.
===
David mempersilahkan Dyan untuk duduk, Adit mengambil tempat duduk di sebelah bundanya. Sementara David dan Isabel duduk di hadapan mereka.
Meja tempat mereka duduk ada di salah satu gazebo semi terbuka dalam restoran keluarga berkonsep taman. Ada 10 gazebo yang ditata dalam konsep cluster, untuk bisa duduk di meja-meja ini harus melakukan reservasi sebelumnya. Dalam perjalanan David menyampaikan kalau sebenarnya Emily sudah memesan tempat dua hari sebelumnya. Karena Ayah mereka baru datang ke kota ini dan mereka berencana untuk makan siang bersama di restoran taman ini.
Namun mendadak Emily bersama kedua orangtua mereka harus menemani investor yang datang pagi ini ke cabang hotel resort di kota Bk. Emily terpaksa mewakili David yang tidak bisa ikut karena ada jadwal pekerjaan lain sore ini. Walau rasanya merasa tidak enak karena diajak ke tempat yang tidak murah oleh customer butik, tapi melihat Isabel yang terlihat bahagia bisa bertemu Adit, dirinya jadi tidak tega untuk menolak.
Selesai memilih menu makan siang, Isabel mengajak Adit untuk melihat-lihat taman di sisi timur gazebo. Ada kolam ikan koi dengan beberapa air terjun kecil disisinya. Mereka berdua menyusui jalan setapak berbatu menuju kolam. Dyan mengamati kedua anak yang berbincang akrab, seperti sudah kenal lama.
"Abel anaknya memang agak cerewet kalau sudah merasa dekat. Tapi biasanya butuh waktu untuk bisa akrab. Adit kelihatannya pintar menghadapi anak-anak ya?" Suara David membuat Dyan sadar dari lamunan sesaatnya.
"Ah, iya. Adit kadang-kadang memang lebih dewasa dari umurnya. Hasil didikan Oma-nya. Kadang saya merasa kalah dewasa dibanding anak sendiri." Dyan tersenyum, menanggapi pertanyaan David.
"Kelihatannya Oma Adit juga berhasil mendidik putrinya. Adit bisa tumbuh besar jadi anak seperti sekarang, sudah pasti karena kasih sayang ibunya juga."
Dyan tercenung mendengar kata-kata David.
'Berkat aku juga?' Bisiknya dalam hati. 'Benarkah?'
David melihat ada sedikit perubahan di raut wajah Dyan. Menyadari mungkin ada kata-katanya yang menyinggung, David berkata, "Saya juga bukan orangtua yang sempurna buat Abel. Membesarkannya tanpa ibu bukan hal yang mudah. Tapi saya banyak belajar dari Abel. Gimana jadi orangtua yang baik buat dia."
"Maaf saya tidak bermaksud..." Dyan tiba-tiba merasa bersalah mendengar penjelasan David. Entah kenapa.
Namun bersamaan dengan permintaan maaf Dyan, pun David mengucapkan maaf yang sama. "Saya minta maaf kalau kata-kata saya sebelumnya menyinggung Dyan."
Dyan menggelengkan kepalanya. Lalu berkata, "Memang benar, saya kadang merasa masih belum jadi orangtua yang sempurna buat Adit. Tapi seperti juga pak David ..."
"Ehem!" David mendehem.
"Ah, sorry. Masih suka lupa." Dyan tertawa kecil menyadari kalau dia masih kelepasan memanggil David dengan 'imbuhan' pak.
"Saya jadi gak enak. Apa ngobrol sama saya kesannya terlalu resmi ya? Jadi otomatis panggil 'pak'." Protes David.
"Mungkin karena awalnya saya kenal pak David sebagai orangtua Abel, salah satu customer. Jadi rasanya gak enak kalau harus panggil nama." Kata Dyan membela diri.
"Tapi seingat saya, Dyan cuma panggil nama dengan Emil. Padahal Emil kan tantenya Abel." Kata David lagi. Mendengar kata-kata David, lagi-lagi Dyan terdiam.
"Kalau dengan Emil, karena mungkin dia juga jauh lebih muda. Rasanya gak terlalu sungkan kalau panggil nama, saya segan kalau harus panggil nama ke yang lebih tua." Dyan beralasan.
"Begitu ya? Hmmm..." Komentar David pendek, tangannya bersilang diatas meja. Kelihatan seperti sedang memahami penjelasan Dyan.
Dyan mengangguk. Merasa lega karena sebetulnya dirinya memang tidak terbiasa untuk memberi panggilan 'akrab' pada orang yang lebih tua terlebih lagi kepada orangtua pelanggan ciliknya. Khususnya, orangtua laki-laki para customer anak. Dyan tidak ingin orang melihat dirinya sebagai ibu tunggal adalah sama dengan 'perempuan pencari perhatian suami orang'.
Kesunyian tercipta diantara mereka berdua. Dyan mengalihkan perhatiannya ke arah Adit dan Isabel yang baru saja selesai memberi makan ikan-ikan koi jinak. Tersenyum melihat gadis kecil yang berseru kegirangan melihat ikan-ikan yang berkumpul memperebutkan makanan yang ditaburnya.
David pun mengeluarkan ponsel dari kantong celananya yang kelihatan bergetar untuk beberapa saat.
"Video call?" gumam David saat melihat layar ponselnya. Irama getaran ponsel tiba-tiba berhenti setelah David mengusap layar. Lalu meletakkan ponselnya di meja. Tidak lama ponsel kembali bergetar, kali ini David mengusap layar dan meletakkan ponselnya di telinga.
"Hmm, ya. Ada apa?" David langsung bertanya pada penelpon.
"Ya, sekarang sudah di restoran. Baru selesai order. Makanannya belum datang... Hmmm, ya. Sama Abel." David lalu melihat ke arah kolam, dilihatnya Isabel sedang memperhatikan sesuatu di layar ponsel Adit, sementara Adit seperti sedang menjelaskan tentang sesuatu.
"Abel lagi di dekat kolam, sama Adit... Ya, ada Dyan juga." Mendengar namanya disebut, Dyan menoleh ke arah David dengan wajah penuh tanya. David yang memahami ekspresi Dyan, menunjuk ke ponselnya dan berkata, "Emil." Dan otomatis mulut Dyan berkata, "Oooh, Emil."
Dyan mengalihkan pandangannya kembali ke dua anak yang masih asyik di pinggir kolam ikan. Tampaknya Adit sedang melakukan video call, Isabel sesekali tampak ikut melihat ke layar ponsel dan berbicara dengan penelpon. Adit lalu mengarahkan ponselnya perlahan seperti memperlihatkan suasana taman kepada penelpon. 'Sedang VC dengan siapa mereka?' Dyan bertanya dalam hati.
"Dyan?" Panggil David.
Saat Dyan menoleh, David sudah mengulurkan ponsel yang ada di tangannya.
"Emil katanya mau bicara sama kamu." Kata David.
Baru saja Dyan mendekatkan ponsel ke telinganya, suara Emily terdengar di sisi lain.
"Mbak Dyan, makasih ya udah mau temenin Abel dan mas David. Ini bener-bener diluar rencana. Saya udah bikin reservasi untuk makan sekeluarga, tiba-tiba ada perubahan rencana. Makasih ya mbak udah mau gantiin saya dan Mami Papi."
"Ya, mbak dan Adit juga makasih udah diajak Abel dan Daddy-nya makan disini. Lain kali mbak gantian traktir Emil dan Abel." Kata Dyan sambil tersenyum.
"Beneran mbak? Wah, mau dong. Ditunggu loh traktirannya. Oh ya, bisa minta tolong dengan mas David lagi mbak? Makasih sebelumnya."
Dyan mengembalikan ponsel kepada David dan menyampaikan Emil masih ingin bicara dengannya. David melanjutkan pembicaraannya dengan Emily sebentar sebelum menyelesaikan panggilan dan memasukkan ponselnya kembali ke kantong celana.
"Jadi, sebaiknya gimana menurut Dyan?" Tiba-tiba David bertanya.
"Tentang...?" Dyan balik bertanya.
"Kalo gak bisa panggil nama, sebaiknya panggil apa?"
"Oh,..." Ternyata David masih mempermasalahkan panggilan Dyan terhadapnya.
"Apa ya? Kalau Daddy Abel?" Usul Dyan yang langsung disambut dengan gelengan kepala oleh David.
"Kalau memang harus dengan imbuhan karena saya lebih tua dari Dyan. Mungkin sebaiknya disamakan dengan panggilan Emil ke saya." Kata David dengan wajah serius.
Dyan tertegun, berfikir apakah yang dimaksud David tentang panggilan yang sama dengan Emil adalah seperti yang dia fikirkan? "Maksudnya? Saya panggil..."
"Mas David." Jawab pria yang duduk di hadapannya tanpa ragu.