Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 43 - Pintu pertama

Chapter 43 - Pintu pertama

21:15

Pintu kamar mandi terbuka, Dion melangkah keluar sambil mengeringkan rambutnya. Setelah hari yang lumayan melelahkan, akhirnya dia bisa beristirahat di 'rumah' yang baru ditempati sejak 5 hari yang lalu ini.

Ruang studio berukuran 5x15 m di lantai 2 ruko ini, terlalu luas untuk ditempati sendirian. Tapi Chandra berdalih, sengaja menyediakan akomodasi yang paling nyaman supaya Dion betah kerja di kota P untuk lebih lama membantunya membesarkan salah satu perusahaannya.

Memang harus diakui, Chandra sudah cukup berusaha dalam menciptakan tempat ini menjadi hunian yang nyaman. Semua perabotan sampai peralatan rumah tangga sudah dilengkapi Chandra. Ibaratnya Dion cukup masuk sambil membawa koper berisi pakaian, tanpa harus repot memikirkan urusan membeli kelengkapan lain.

Walau sebenarnya Dion merasa dijebak, karena sebelum dia akhirnya menerima tawaran untuk diberi tempat tinggal dalam bangunan kantor, dia menyangka Chandra juga bertempat tinggal di gedung ruko berlantai 3 ini demi efisiensi kerja.

Namun ternyata tempat seluas ini dipercayakan Chandra sepenuhnya kepada Dion. Walau sebetulnya di bangunan sebelah juga dijadikan tempat tinggal beberapa karyawan lain. Tapi studio ini terpisah dari kamar-kamar lain. 'Tsk! Kalo dipikir-pikir, Chandra mungkin sekalian menghemat pengeluaran untuk cari security. Gak ada kesenangan yang gratis.'

Layar ponsel diatas meja pantry tampak menyala. Ada suara notifikasi pesan baru. 'Hmm, siapa yang chat malam-malam begini?'

Dion mengambil mug di lemari kabinet dan mengisinya dengan air hangat. Sambil duduk di kursi kitchen island[1], dia menggeser kunci layar ponselnya. Sudut bibirnya terangkat membaca nama yang ada di layar. 'Chat dari Adit?'

[Makasi banyak Om buat kursus singkatnya tadi. Juga buat traktirannya ^^]

Sore tadi Adit minta izin bundanya untuk mampir ke rumah Dion. Dengan alasan, mau minta tolong Dion mengkoreksi video klip pendek yang dibuatnya untuk tugas sekolah. Juga dengan alasan mau meng-copy beberapa e-book yang berhubungan dengan video creator.

Saat ingat alasan Adit untuk mampir ke rumahnya, senyum Dion hanya semakin lebar. Kalau cuma mengkoreksi hasil editing video klip tugas ekskulnya, sore tadi di kamar Adit sebetulnya Dion bisa langsung membantu. Kalau soal e-book, Dion juga sudah menawarkan untuk membagikan file-nya lewat cloud space. Jadi Adit bisa langsung pilih dan mengunduh e-book yang dibutuhkan. Tapi Adit beralasan kalau dia juga penasaran dengan perangkat yang dipakai om Dion kalau sedang membuat video.

Dion kemudian membalas chat Adit.

[Ya, sama-sama. Om juga makasi banyak tadi diajakkin keliling.] Sembari mengetuk layar ponselnya, senyum Dion semakin lebar.

[Oya, e-booknya juga keren-keren. Bermanfaat banget. Makasi banyak om!]

[Sip. Tapi jangan sampe begadang baca e-booknya. Besok masih masuk sekolah kan?]

[Hehehe, siap Om.]

===

Dua tahun lalu, saat Dion mengetahui kalau Dyan adalah sahabat Alesya. Sahabat baik yang sering dikunjungi keponakannya walau ada di pulau yang berbeda. Sahabat yang disayangi Alesya sampai selalu jadi buah cerita dengan ibunya, karena kemalangan yang dialami sahabatnya, karena kemauan sahabatnya untuk bangkit dari kesedihan, karena usaha kerasnya untuk menerima keadaan yang terjadi. Sahabat baik yang sudah seperti saudara sendiri. Adalah orang yang sama dengan gadis yang tidak sengaja naik taksi bersamanya 15 tahun yang lalu. Tanpa sadar Dion merasa ada dorongan yang membuatnya ingin mengenal Dyan lebih dalam.

Lima belas tahun yang lalu, awalnya dia hanya merasa simpati. Setelah mengetahui gadis yang tidak sengaja dibantunya adalah sahabat Alesya. Tiap kali Alesya tanpa sengaja menceritakan Dyan, dirinya pun tanpa sadar ingin terus mengetahui kabarnya.

Setelah bertahun-tahun hanya mendengar cerita dari sisi Alesya, tanpa sengaja empat tahun yang lalu Dion menjadi teman virtual Dyan, dan dia merasa kepribadian wanita yang berhasil menarik perhatiannya ini tidak jauh dari apa yang sudah didengarnya dari Alesya.

Dari sekedar saling bertukar komentar di 'postingan' masing-masing. Berlanjut sampai ke bertukar cerita tentang kejadian acak yang terjadi sehari-hari. Dion masih bisa merasakan betapa Dyan masih sangat berhati-hati dalam berbagi cerita. Entah sengaja atau tidak, Dyan bahkan tidak pernah bertanya tentang identitas dirinya.

Tapi justru itu yang makin membuat Dion merasa ingin lebih dekat. Kebanyakan followernya secara gamblang akan 'promosi diri' saat mereka mengetahui identitas Dion. Tanpa ditanya mereka akan membagikan informasi dirinya untuk Dion. Berharap Dion bisa lebih akrab dengan mereka. Jadi pria single berusia matang, memiliki pekerjaan yang bagus, plus punya tubuh yang tingginya diatas rata-rata dan punya wajah blasteran. Tidak ada perempuan yang tidak langsung tertarik saat bertemu Dion.

Tapi bagi Dion, wanita agresif hanya membuatnya ingin menghindar. Saking sering menghindarnya, di usia yang sangat matang ini dia masih tidak ada tanda-tanda memiliki calon pasangan hidup. Sampai akhirnya setahun yang lalu kata-kata Alesya membuatnya tersadar.

"Om, kalo kamu segitu tekunnya follow Dyan sampe rutin ngobrol nyaris tiap hari. Kenapa gak sekalian aja dijadiin istri sih? Keponakanmu ini merasa berdosa kalo sampe nikah duluan sebelum Om-nya."

Entah celetukan Alesya saat itu sekedar candaan atau memang benar-benar serius menyarankan, tapi momen itu berhasil membuat Dion bertanya pada dirinya. Kenapa dia menikmati pertemanan dengan Dyan lebih daripada teman biasa? Terlebih lagi, buat Dion tidak ada yang namanya 'bersahabat dengan lawan jenis'. Tapi kenapa dengan alasan berteman dia bisa akrab dengan Dyan?

"Artinya kamu tertarik dengan Dyan lebih dari temen, gitu aja kok bingung sih Om?"

"Ya, apalagi penjelasannya kalau bukan itu? Artinya aku harus mulai serius untuk mendekatinya sebagai calon pasangan hidup kan?" Cetusnya dalam hati.

Ale : "Tapi Dyan bukan tipe orang yang gampang untuk didekati."

Dion: "Aku tau."

Ale : "Plus! Om gak bisa cuma fokus untuk bikin Dyan membuka hati, yang paling penting gimana Om bisa merebut hati anaknya Dyan."

Dion: "Ya, kamu bener Al."

Ale : "Jadi selama blum dapet kepercayaan Adit, jangan harap Om bisa dekat sama Bundanya."

'Kepercayaan dari Adit.'

Ya, buat ibu tunggal seperti Dyan, sudah pasti anaknya yang menjadi alasan utama untuk melanjutkan hidup. Kalau tidak bisa mendapatkan kepercayaan dari anaknya, bagaimana mungkin hati ibunya bisa diraih?

Tapi sejak pertemuan pertama, siapa yang menyangka kalau Adit bisa secepat itu akrab dengannya? Siapa yang menyangka kalau obrolan bisa terjalin dari hari pertama tanpa ada rasa curiga dan penolakan?

Dan obrolan sore tadi di kamar Adit, kembali terulang dalam ingatan Dion.

Berawal dari pertanyaan kenapa bundanya memanggil Adit dengan panggilang 'Abang', dan Adit berasumsi mungkin karena dirinya anak laki-laki pertama, bundanya memberi panggilan seperti itu.

Yang kemudian ditanggapi dengan candaan oleh Dion, "Om pikir karena Adit ada adiknya. Jadi dipanggil 'abang'."

Tapi tanggapan Adit setelahnya berhasil membuat Dion tidak bisa berkomentar apa-apa.

"Mungkin Bunda punya rencana mau kasih adek buat Adit. Kira-kira om Dion bisa kasi 'Adek' buat Adit?"

Ini artinya pintu pertama sudah terbuka kan? Pintu bernama 'kepercayaan Adit'.

====

[1] Kitchen Island = sebuah meja yang terpisah dari kitchen set yang memiliki area terbuka atau bisa memiliki akses dari semua sisi.