"Om Dion masih lama? Adit mau tanya sesuatu." Dion melihat ke jam dinding yang ada di hadapannya. "Mmm, om gak ada jadwal lain sih. Cuma rencana mau ke masjid dekat sini pas ashar nanti. Adit mau tanya apa?" Dion balik bertanya.
"Soal projek sekolah, om. Kita ada tugas bikin short video. Tapi Adit mau mandi dulu kira-kira....5 menit."
Dion tersenyum sambil memberi tanda 'OK' dengan tangannya. "Om tunggu." Katanya kemudian. Adit tersenyum lebar, mengucapkan terima kasih dan berlari menaiki tangga ke lantai 2.
Tanpa Dyan sadari, ada senyuman muncul di bibirnya. Melihat tingkah Adit yang selalu berubah jadi 'anak-anak' setiap kali bertemu Dion. Sementara kalau di hadapan Alesya, Adit tetap dalam setelan mode 'dewasa'. Padahal dihitung dari lamanya waktu mereka sudah saling kenal, Alesya sudah lebih dulu kenal Adit daripada Dion. Mungkin karena mereka berdua sama-sama lelaki, pikir Dyan. Teringat setiap Adit bertemu kak Mahesa dia juga kembali jadi anak kecil sesuai usianya.
Sementara Alesya yang dari tadi mengamati adegan yang berlangsung di hadapannya dengan seksama sambil mengunyah kacang, tiba-tiba berdiri dari kursinya. Mengejutkan Dyan dan Dion.
"Om, kunci mobil mana? Aku mo ambil manggis." Kata Alesya sambil mengulurkan tangan kearah Dion.
"Biar aku aja yang ambil." Kata Dion sambil bangkit, tapi Alesya cepat-cepat berjalan ke belakang Dion dan mengambil kunci yang baru dikeluarkannya dari kantong celana.
"Aku aja. Sekalian ngeluarin travel bag aku. Sebelum lupa dan gak sengaja Om bawa ke kost-an." Dan Alesya pun meninggalkan mereka berdua. Dion terdiam sesaat, baru tersadar dengan 'aksi' keponakannya yang sengaja memberi dia waktu untuk bisa berdua saja dengan Dyan. Dia masih berdiri melihat kearah Alesya pergi saat suara tawa Dyan terdengar.
Dion kembali duduk di kursinya, dan melihat ke arah Dyan yang kelihatan tidak terlihat canggung tinggal berdua dengannya. "Kamu dan Al lebih mirip seperti kakak adek daripada Om dan keponakan. Lama-lama aku ngerasa panggilan 'Om' itu levelnya seperti 'kakak'." Kata Dyan sambil tertawa kecil.
"Iya sih. Suara panggilannya emang 'Om' tapi dari kecil Ale itu lebih mirip adek yang penurut buat aku." Kata Dion sambil menatap wajah Dyan, tidak ingin membuang kesempatan.
"Penurut? Al adek penurut? Bukannya dia suka ngatur ya? Kalo denganku, dia lebih suka ngatur daripada nurut." Dyan kembali tertawa mendengar Dion yang mendeskripsikan Alesya sebagai adik yang penurut.
"Ya, sebagai anak sulung dia emang suka ngatur. Semua maunya seperti yang dia mau. Tapi kalo diberi pengertian, Ale anaknya nurut kok." Kata Dion lagi.
"Beda umur kamu dengan sodara yang lain jauh dong ya? Sampe bisa seumuran dengan ponakan."
"Eh, aku ga seumuran dengan Ale, tapi lebih tua 3 tahun. Waktu Ale lahir, aku udah bisa lari-larian." Kata Dion, tersenyum pada Dyan. Membuat Dyan berpikir apakah dia perlu memberi 'tambahan nama panggilan' buat Dion sebagai orang yang lebih tua?
"Lebih tua 3 tahun? Mmmm, apa harusnya aku gak panggil nama aja ya ke kamu? Jadi ngerasa ga sopan, soalnya aku seumuran sama Al..."
Mendengar perkataan Dyan membuat Dion tertawa. "Rencana mau panggil apa?" Tanya Dion kemudian, tawanya sudah berganti dengan senyuman. "Kalo kamu panggil aku 'Om' trus Adit panggil apa? 'Kakek'?" Kali ini Dian yang tertawa mendengar kata-kata Dion.
"Gak pantes ah, masa dipanggil 'kakek'? Orang yang denger bisa bingung." Kata Dian.
"Yang pantes apa dong?" Dion bertanya lagi sebelum menghirup lagi teh hangatnya. Matanya masih memperhatikan sikap Dian, dan merasa senang karena wanita di hadapannya sudah tidak sekaku pertemuan pertama mereka di mal beberapa hari yang lalu.
"Yang pantes? Aku pikir kalo Adit panggil 'abang' ke kamu juga masih pantes." Dyan tiba-tiba menyesali pendapatnya barusan, merasa terlalu lepas bercanda dengan teman yang baru ditemui. Walaupun sebenarnya selama jadi teman virtual, candaan seperti ini sama sekali tidak 'membahayakan'. Karena Dion tidak pernah menanggapi dengan kata-kata yang membuatnya merasa 'terancam'.
"Adit panggil aku abang? Trus kamu panggil aku apa dong?" Dian tersenyum lega mendengar tanggapan Dion. 'Tuh! Dia jawabnya santai aja kan? Gak bikin terancam.' Kata Dian dalam hati.
"Ya, jadi panggil nama aja deh. Daripada bingung. Selama ini kan juga panggil nama." Kata Dian akhirnya.
"Hmm, ya gak papa. Sementara ini panggil nama aja dulu."
"Sementara? Ada rencana mo dipanggil dengan imbuhan lain?"
"Imbuhan? Sementara gak perlu pake imbuhan," Jawab Dion lagi.
'Berarti Dion ada niat untuk di beri tambahan nama panggilan. Yah, wajarlah. Walau teman kan dia lebih tua dari aku.' Dian membatin.
Terdengar suara langkah kaki Adit dari lantai 2, tidak lama Adit terlihat menuruni tangga sambil setengah berlari. Melihat putranya yang sudah rapi selesai mandi buru-buru menuruni tanggal, Dian otomatis mengingatkannya untuk berhati-hati.
"Hati-hati bang, gak usah lari-lari gitu."
"Haha, ya Bunda. Abang cuma takut om Dion udah keburu mau pulang." Jawab Adit yang dalam sekejap sudah ada di hadapannya.
"Bunda, boleh gak om Dion ke kamar abang? Soalnya projek sekolahnya ada di PC bukan laptop. Jadi gak bisa abang bawa kebawah."
Adit merasa dia harus minta izin dengan bundanya. Karena selama ini lantai 2 tempat tinggal mereka hanya bisa diakses oleh orang-orang dekat. Selain om Mahesa dan tante Vini, Wendy dan Rose, hanya Glenn 'orang luar' yang bisa naik ke lantai 2. Sementara Alesya sendiri tidak lagi dianggap 'orang luar'. Tapi Dion adalah 'orang baru' dalam hidup mereka.
Tapi diluar perkiraan Adit, tanpa pikir panjang Dyan mengangguk memberi izin. Walau ada perasaan heran, Adit terlihat senang karena bundanya sudah mengizinkan Dion untuk bisa naik ke lantai 2.
"Ya, boleh. Tapi jangan lama-lama, om Dion dan tante Al baru sampe dari luar kota. Belum istirahat." Kata Dian lagi.
"OK! Terima kasih bunda. Ayo, Om!" Dengan wajah girang, Adit menggandeng tangan Dion dan menariknya ke lantai 2. Dion bahkan tidak sempat berkata apa-apa sebagai tamu. Dia hanya mengikuti langkah Adit menaiki tangga.
Sampai di atas, Adit langsung mengajak Dion masuk ke kamarnya yang terletak dekat dengan tangga. Sejak menaiki tangga, sampai memasuki kamar Adit sudah mulai memaparkan 'school project' yang dia maksud. Menceritakan hal-hal yang ditemuinya selama merekam video untuk bahan tugas sekolah. Sampai permasalahan yang ditemui saat mengedit video supaya sesuai dengan konsep awal yang diinginkan.
Dion mendengarkan dengan seksama dan memberi pendapat dan penjelasan setiap kali Adit mengajukan pertanyaan. Adit dengan semangat menunjukkan beberapa klip video yang sudah dipilihnya.
Diskusi keduanya berlangsung seru sekali, dan Adit memandang Dion dengan tatapan penuh kekaguman. Cara Dion yang memberi alternatif solusi tanpa menggurui membuat Adit pada akhirnya menemukan sendiri solusi dari permasalahannya.
Nyaris setengah jam waktu telah berlalu, Adit mulai sibuk melanjutkan editing video dengan solusi yang didapatnya tadi. Dion yang duduk ditepi tempat tidur memperhatikan Adit sambil tersenyum. Ada perasaan hangat menjalar di dalam dadanya, suasana seperti ini, 'Apa aku boleh berharap untuk bisa terus merasakan suasana seperti ini?' Dion bertanya dalam hati.
"Jadi Adit dipanggil 'Abang' nih, sama bundanya?" tiba-tiba Dion bertanya.
Adit yang sedang asyik menggeser-geser kursor dengan mouse-nya menjawab sambil tersenyum, "Ya Om. Dari dulu juga bunda panggil 'abang' ke Adit. Mungkin karena Adit anak laki-laki bunda yang pertama." Dia hanya melirik sejenak kearah Dion tanpa menghentikan kegiatannya.
"Oh, gitu ya. Om pikir karena Adit ada adiknya. Jadi dipanggil 'abang'." Kata Dion melontarkan candaan garing.
Adit mendadak diam mendengar kata-kata Dion dan menoleh kearah Dion yang kelihatan sedikit terkejut dengan reaksi Adit. Ada sedikit rasa bersalah muncul, takut candaannya menyinggung perasaan remaja ini.
Tapi kemudian Adit malah terkekeh melihat wajah Dion, dan berkata, "Mungkin aja, Om. hehehe."
"Mungkin? Apanya?" Tanya Dion yang jadi bingung mendengar perkataan Adit yang ambigu.
"Yaaaa....mungkin aja Bunda mau kasih adek buat Adit. Masalahnya bunda belum berhasil sampe sekarang."
"Ooooh," kata Dion, masih bingung harus memberi reaksi apa.
Belum hilang kebingungannya, tiba-tiba Adit melontarkan pertanyaan yang makin membuatnya seperti di 'telanjangi'.
"Kira-kira om Dion bisa kasi Adek buat Adit gak?"
"..."
'Gosh! Am I too obvious?!' Dion membatin.