Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 39 - Ingatan yang Samar

Chapter 39 - Ingatan yang Samar

Isabel menggandeng tangan David dan Dyan, tidak sabar ingin melihat gambar baju ulang tahun yang dijanjikan.

"Ayo tante Dyan. Liatin Abel gambarnya."

"Iya, tante udah siapin di meja. Ayo kita liat sama-sama." Kata Dyan seraya membuka pintu kantor dan mempersilahkan tiga tamunya masuk. Sementara Wendy dan Rose yang menyaksikan dari belakang, saling berpandangan penuh arti.

"Pemandangannya bagus ya, Wen?" Kata Rose sambil mengedipkan mata, Wendy menyambut dengan anggukan. "Harusnya Adit juga liat, kira-kira dia setuju gak sama kita?" Kata Wendy kemudian. Gantian Rose sekarang yang mengangguk-angguk, sepertinya mereka berdua punya pikiran yang sama.

Sementara di dalam kantor, Dyan sedang menjelaskan masing-masing gambar kepada Emily, David dan Isabel, juga menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Mata gadis kecil itu berbinar melihat tiga gambar yang ada di meja.

"Karena Abel suka biru, jadi semua gambar bajunya tante buat warna biru. Cuma beda-beda jenis birunya. Yang ini biru pastel trus ada sedikit pink muda, dan ada putihnya juga sedikit." Dyan menjelaskan gambar yang pertama.

"Kayak warna spring[1]! Abel suka spring."

Giliran Dyan yang berbinar setelah mendengar komentar Abel tentang desainnya. "Iyaa, mirip springtime ya? Abel ingat apa kalo warnanya gini?"

"Mirip waktu liat sakura pas langitnya lagi cerah."

"Waaah, Abel pinter. Tante Dyan memang lagi inget sakura waktu bikin gambar ini." Dyan memberi tepuk tangan buat Isabel. Merasa bahagia klien kecilnya ini bisa memahami inspirasi desainnya.

"Nah kalo yang ini, warna birunya lebih terang, trus ada putih-putih dan sedikit abu-abu muda." Jelas Dyan untuk desain kedua. "Yang putih nanti bahannya seperti ada bulunya. Lembut dan empuk."

"Lucu, warnanya kayak lagi liat awan di langit." Komentar Abel lagi.

"Haha, iya sayang. Memang tante Dyan ingat warna langit cerah yang ada awan-awan lembut. Abel hebat deh bisa nebak lagi pikiran tante." Sekali lagi Dyan memberi tepuk tangan buat Isabel. Gadis kecil itu pun ikut bertepuk tangan bersamanya sambil tertawa senang.

"Naaah, kalo yang terakhir, warnanya biru semua. Tapi ada yang agak tua, trus yang sedang, dan ada biru muda. Mirip warna apa coba?" Tanya Dyan, penasaran apakah Isabel lagi-lagi bisa menebak sumber inspirasinya.

"Wah! Kayak warna Elsa!"

"Abel benar! Aduh! Terima kasih Abel, udah ngerti arti warna-warna yang tante pilih." Senyum Dyan tidak pernah hilang selama berdiskusi dengan Isabel. Baru kali ini Dyan mendapat perhatian penuh dari seorang klien kecil, juga baru kali ini Dyan merasa inspirasinya tersampaikan sepenuhnya dan diterima dengan baik.

Biasanya, saat mendiskusikan desain baju anak-anak, para orangtualah yang mendominasi perbincangan. Dan jarang sekali pendapat anak-anak diperhatikan, juga seringkali anak-anak tidak terlalu memberi perhatian mendetail terhadap konsep desain. Karena mereka hanya memilih berdasarkan apa yang diarahkan orangtuanya.

Dyan jadi merasa lebih semangat untuk mewujudkan desainnya. Pilihan yang manapun nanti yang akan dipilih oleh Isabel.

"Nah, sekarang Abel silahkan pilih mau bikin baju yang mana?"

Isabel memperhatikan lagi ketiga gambar dress tadi, jari telunjuknya sibuk memilin sejumput rambut coklatnya. Bibir kecilnya tertutup rapat, wajahnya terlihat serius sekali. Dyan tidak bisa menahan senyumnya saat memperhatikan ekspresi Isabel. Gayanya seperti orang dewasa tapi berukuran mini.

Akhirnya dia memilih gambar yang pertama, karena menyukai kombinasi warnanya. Tapi dia juga menyukai desain yang ketiga. Dyan pun langsung mengambil selembar kertas kosong dan mulai mencoretkan pensilnya membuat sketsa baru di hadapan Isabel, mencoba memadukan dua desain sebelumnya dengan memasukkan bagian-bagian yang disukai Isabel. Dan si klien kecil ini dengan antusias memperhatikan kelincahan tangan Dyan bergerak diatas kertas.

Tanpa disadari oleh Dyan, sejak tadi David dan Emily memperhatikan keseruannya berdua Isabel tanpa berkomentar apa-apa.

Emily merasa senang melihat interaksi Dyan dengan keponakannya yang sangat natural, dan tidak ada kesan 'mengecilkan' Isabel yang baru akan jadi 4 tahun beberapa minggu lagi. Baru kali ini Emily tidak perlu ikut terlibat dalam perbincangan karena ketidakpuasan Isabel atas tanggapan orang yang sedang diajak berbicara.

Lalu Emily melirik ke sisi kanannya untuk kesekian kali. Sejak tadi perhatian David tidak beralih sedikitpun dari pemandangan di hadapannya –interaksi putrinya dengan Dyan. Biasanya di momen-momen yang serupa, saat harus menemani Isabel atau Emily untuk urusan yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan atau dengan minatnya, David hanya bertahan sebentar untuk kemudian 'menyibukkan dirinya' sambil menunggu. Tapi tidak kali ini.

Sudut bibir Emily sedikit terangkat, secercah harapan yang sudah lama dia pendam sekarang sedikit muncul ke permukaan hatinya. Mungkin terlalu cepat, tapi Emily menyukai suasana yang dirasakannya saat ini. Saat mas-nya tidak memikirkan soal pekerjaan dan fokus memperhatikan sesuatu yang lain...

David sama sekali tidak menyadari tatapan adiknya. Sejak tadi pandangannya terpaku pada adegan yang berlangsung di hadapannya.

"Abel kelihatan senang sekali diskusi dengan Dyan...baru kali ini ada orang yang bisa ngobrol dengan Abel dengan tulus. Gak heran kalo Abel jadi suka dengan Adit. Mungkin Adit juga sama seperti ibunya, bisa menerima Abel apa adanya...."

Suasana yang menyenangkan seperti ini memberi perasaan hangat buat David. Membuatnya tanpa sadar berusaha mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali perasaan yang familiar ini dia rasakan.

Bibirnya tersenyum kecil saat melihat putri kecil kesayangannya terlihat bahagia. Gadis kecilnya itu sangat fokus memperhatikan proses Dyan membuat gambar sambil sesekali bertanya dan menanggapi gambar itu. Pandangan matanya hanya pada gambar dan pada Dyan. Ada kekaguman di matanya.

Setiap kali pandangan mata Isabel ke arah Dyan, pandangan David pun ikut memperhatikan Dyan. Seolah ingin tahu apa isi perasaan Isabel saat melihat perempuan yang telah berhasil merebut perhatian penuhnya.

Dan kemudian pandangannya terpaku pada Dyan. Berawal dari perasaan senang karena kemampuan wanita itu merebut perhatian Isabel lewat kata-katanya, caranya menanggapi pertanyaan Isabel, caranya menarik perhatian Isabel dengan kepintarannya menggambarkan keinginan putrinya, kemudian muncul sekelebat ingatan yang samar. David merasa ada sesuatu pada wanita dihadapannya ini yang tidak asing. Tapi apa?

"Apa kita pernah ketemu sebelumnya? Tapi ini pertamakalinya aku datang ke kota ini... Apa dia pernah tinggal di kota lain sebelumnya? Kenapa rasanya ada sesuatu yang familiar ya?" Pertanyaan-pertanyaan berhamburan di dalam benak David tanpa bisa dia kendalikan. Ada sedikit rasa menyesakkan yang dia bisa di fahaminya. Dari mana asalnya.

"Ok, berarti sekarang kita udah dapet desain baju ulang tahun Abel. Mulai besok, tante Dyan akan mulai bikin bajunya. Nanti kalo sudah hampir selesai, Abel bisa coba dulu." Perkataan Dyan membuyarkan lamunan David.

"Hore! Nanti Abel kesini lagi ya tante." Gadis kecil melompat-lompat kecil mengekspresikan kebahagiaannya.

"Tapi, nanti kalo Abel datang lagi pas ada kak Adit ya tante." Katanya lagi. Membuat Dyan mengangkat alisnya saat mendengar keinginan Isabel, dan sambil tertawa dia menyanggupi untuk mengabari Isabel untuk datang lagi saat ada Adit di rumah. Tentu saja, lagi-lagi Dyan berhasil membuat anak kecil di hadapannya bersorak kegirangan.

"Nah, sekarang kita pulang dulu ya. Oma pasti sudah nungguin Abel." Kata Emily sambil mengusap kepala Isabel.

David melihat jam tangannya dan berkata, "Iya, Daddy juga ada janji. Kita pulang dulu ya?" Isabel menganggukkan kepalanya dan kemudian berbalik kearah Dyan sambil mengangkat kedua tangannya, seperti ingin memeluk.

Siapa yang bisa menolak permintaan anak kecil cantik yang menatap dengan mata seperti itu? Dyan langsung berlutut menyamakan tingginya dengan Isabel untuk kemudian memeluknya. Isabel melingkarkan tangannya di leher Dyan sambil berkata, "Makasih tante Dyan. Nanti pasti baju ulang tahun Abel jadi cantik." Dyan menjawab dengan anggukan.

Isabel melepas pelukannya dan berpindah mengembangkan tangannya kearah David. Memahami maksud anaknya, David menundukkan badannya dan kemudian mengangkat Isabel dan menggendongnya.

"Kami permisi dulu mbak Dyan." Kata Emily sambil menjabat tangan Dyan dan dibalas dengan senyuman oleh Dyan.

"Terima kasih bu Dyan," kata David.

"Sama-sama, terima kasih juga untuk kepercayaannya pak David." Balas Dyan berusaha untuk tetap formal.

"Idih, resmi amat sih mbak Dyan. Gak usah panggil 'pak' deh ke mas David. Kesannya mas udah tua banget." Tiba-tiba Emily berkomentar.

"Jadi panggil apa ya? Daddy Abel?" Tanya Dyan.

"David. Panggil David saja." Jawab David buru-buru. Entah kenapa, rasanya kali ini dia tidak ingin di asosiasikan sebagai 'ayah seseorang'.

"Baiklah, kalau begitu David, panggil saya Dyan saja." Kata Dyan tersenyum. Bagaimanapun kalau dilihat-lihat, dari raut wajah, David hanya lebih tua beberapa tahun darinya.

Senyum muncul di wajah David mendengar perkataan Dyan.

"Ok, sampe ketemu lagi Dyan