Ding!
Notifikasi pesan baru dari Alesya. Dyan meletakkan pensilnya, barusan dia sedang membuat beberapa alternatif sketsa desain dress ulang tahun untuk Isabel.
Dyan menggeser kunci layar dan mengetuk notifikasi pesan baru, Alesya mengirim pesan singkat,
[Dyan, kita bawain oleh-oleh manggis nih.]
Foto Dion muncul setelahnya.
Foto Dion yang sedang tersenyum kepada penjual manggis. Tanpa sadar bibir Dyan juga ikut tersenyum melihat foto yang dikirim Alesya.
"Kok bisa sih umur 38 tahun tapi wajahnya masih seperti awal 30-an? Pilihan bajunya juga sama sekali gak seperti orang yang umurnya hampir 40. Posturnya juga...."
Dyan tiba-tiba tersadar dan merasa terkejut dengan isi fikirannya sendiri. Bisa-bisanya dia memperhatikan dan menilai penampilan Dion? Bahkan...memikirkan soal postur tubuhnya.
Argh! Ini rasanya tidak benar. Selama ini kan mereka berteman bukan dengan dasar ketertarikan pada penampilan masing-masing. Karena konsep akun instagram mereka sama-sama tentang 'art'. Isi instagram post Dion hanyalah ilustrasi dan fotografi. Sementara Dyan selalu membagikan gambar sketsa pensil atau lukisan cat air sederhana, karena kecocokan hobby ini yang membuat mereka bisa mengobrol dengan akrab.
Tapi sekarang? Setelah bertemu langsung, seolah-olah pertemanan karena kesamaan minat jadi diselaputi oleh hal lain. 'Kamu kenapa sih, Dyan?' bentaknya dalam hati. Mengomeli diri sendiri.
Tapi memang harus diakui, sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Dyan kalau 'Diondarte' yang sudah jadi teman virtualnya selama 4 tahun adalah seorang pria dewasa dengan wajah yang bisa dikatakan diatas rata-rata. Semua aset dirinya memenuhi standar idaman. Mulai dari hidungnya yang tinggi, alis tebal dan matanya yang seperti transparan. Beberapa kali Dyan mencuri pandang kearah mata Dion saat makan siang hari Minggu lalu. Matanya yang dalam itu memiliki nuansa diantara coklat dan hijau. Kontras dengan kulitnya yang agak berwarna dan rambut yang coklat tua.
Seperti juga Alesya, Dion memiliki tinggi tubuh diatas rata-rata. Keluarga besarnya memang jangkung-jangkung, mungkin karena kakek Alesya yang keturunan Arab. Tapi secara raut wajah, Dyan merasa Alesya dan Dion tidak terlalu mirip. Alesya masih sangat kental wajah timur tengahnya, tapi Dion tidak terlihat demikian.
'Ah! Udah deh, Yan. Jangan ngelantur terus. Ini sketsa mesti diselesain dulu supaya Emil bisa pilih desain finalnya.' Dyan kembali meletakkan ponselnya. Kembali melanjutkan sketsa terakhir yang sedang dibuatnya tadi.
===
Sementara di dalam mobil dalam perjalanan menuju kota P, Alesya mulai mencicipi manggis satu persatu. Tanpa sadar dia sudah menghabiskan lima buah manggis berukuran besar.
"Eh! Jangan kebablasan Al, itu manggisnya bukan buat kamu sendiri. Aku juga beli buat oleh-oleh untuk anak dan calon istriku, loh." Tegur Dion setelah melirik tumpukan sampah kulit manggis yang dikumpulkan Alesya dalam plastik.
"Jyaah! Calon istri nih sekarang yang penting ya? Trus anak siapa? Adit itu anakku loh, Om. Aku ikutan sumbang nama waktu dia lahir. Aku juga ikut beliin mainan waktu dia kecil." Protes Alesya.
Baru juga akan berusaha menjadikan Dyan sebagai 'calon' istri, status Adit langsung berubah jadi anak oleh om ini. Tidak mau kalah, Dion pun berkata, "Sebagai anak dari calon istriku kan itu artinya udah jadi anakku juga. Kalo kamu kan itungannya jadi 'sepupu' dong sama Adit nanti."
Mata Alesya membesar setelah mendengar pernyataan Dion. Lalu dia tertawa terbahak-bahak, sungguh tidak pernah sebelumnya om-nya ini bisa mendebat hal sepele seperti ini. Pertengkaran mengenai status kepemilikan Adit ini sungguh terdengar ajaib.
"Ya, terserah Om deh. I surrendered. Hahaha!" Alesya kembali tertawa. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, dari ringtone yang bergema bisa dipastikan itu panggilan dari Evan. Mata Alesya langsung berbinar, dengan segera menjawab panggilan.
Dion hanya bisa tersenyum melihat keponakannya yang tiba-tiba merubah sikap duduknya dan juga cara bicaranya. Lalu obrolan penuh awan pink dan kelopak bunga bertaburan kembali memenuhi kabin mobil.
===
Sketsa ketiga akhirnya selesai, Dyan memutuskan istirahat sebentar untuk beribadah dan mencoba makan siang walau sudah agak terlambat. Dilihatnya Wendy dan Rose sudah bergantian beristirahat dan butik sedang tidak ada tamu yang datang. Wendy memeriksa pesanan dari toko online mereka sambil duduk di sofa ruang tunggu butik.
"Wendy, ibu keatas dulu ya. Mau sholat." Wendy mengiyakan dengan anggukan kemudian melanjutkan kegiatannya. Sementara Rose sedang memakan bekalnya di pantry. Dyan kembali permisi kepada Rose sebelum naik keatas.
Adit belum pulang. Hari Kamis biasanya ada ekskul di sekolah sampai jam 15:30. Hari ini suasana lantai 2 kembali sepi seperti sebelum Alesya datang. Baru saja beberapa hari Alesya tinggal dengan mereka, sekarang saat dia pergi keluar kota 2 hari saja, suasana langsung terasa berbeda. Betapa cepat manusia menjadi terbiasa pada suatu hal yang disukainya.
Selesai sholat, Dyan tidak berlama-lama di atas. Melihat jam sudah hampir pukul 14:00, akhirnya perut mulai memberi sinyal lapar. Sampai di pantry Rose sudah selesai makan siang dan mencuci peralatan makannya. Dia menemani Dyan makan sambil berbincang-bincang sebentar, sebelum akhirnya permisi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Dyan menyelesaikan makan siangnya dengan cepat, tiba-tiba Wendy muncul dari balik pintu. Menyerahkan ponselnya yang baru saja berhenti berbunyi.
Ternyata 1 panggilan tak terjawab dari...Emily? Dyan memang berencana mau mengabarinya tentang 3 pilihan desain baju Isabel. Siapa sangka dia sudah menelepon duluan. Baru saja Dyan memutuskan untuk menelepon balik, ponselnya berdering lagi.
Emily: [Halo mbak Dyan, lagi sibuk ya? Maaf ya kalo nganggu.]
Dyan: "Ah, gak kok. Ada apa Emil?"
Emily: [Cuma mau tanya soal desain dress Abel mbak...]
Dyan: "Kebetulan banget, saya memang mau ngabarin kalo udah ada 3 desain alternatif. Kapan aja kalo Emil bisa, silahkan mampir untuk lihat. Supaya bisa lanjut ke tahap selanjutnya."
Emily: [Wah! Syukurlah udah ada desainnya... Soalnya mbak Dyan, ini Abel minta dianterin ke butik hari ini. Udah gak sabaran aja dia. Maaf ya mbak.]
Dyan: "Oooh, haha. Namanya anak-anak kan? Gak papa Mil, mampir aja."
Emily: [Kira-kira 5 menit lagi kita sampe mbak. Ini lagi di jalan. Sampe ketemu ya mbak.]
Dyan: "Yaa, ditunggu ya."
===
Emily mengakhiri panggilan. Dari kaca spion dia bisa melihat wajah Isabel yang kegirangan setelah mendengar obrolannya dengan Dyan tadi. Emily yang sengaja menggunakan speakerphone karena menelpon sambil mengendarai mobil, membuat Isabel bisa mendengar dengan jelas seluruh percakapan.
"Seneng ya, Bel? Gambar dressnya udah dibuat tante Dyan. Nanti Abel bisa pilih."
"Iya! Tante Dyan pinter ya. Gambarnya bisa bikin 3." Kata Isabel dengan mata berbinar. "Abel mau pilih yang biru."
"Hehehe, iya. Mudah-mudahan nanti tante Dyan bikin gambarnya ada yang warna biru, ya. Kalo gak ada, nanti kita minta tolong tantenya ganti warnanya aja. Yang penting Abel suka sama model bajunya, ya? Jangan lihat warnanya."
"Iyaa Momily. Nanti Abel pilih gambar yang bagus." Kata Isabel sambil tersenyum lebar.
"Momily..., nanti kita bisa ketemu kak Adit lagi kan?" Tiba-tiba gadis kecil itu bertanya.
"Kak Adit? Wah, Momily gak tau nak. Mungkin kak Adit belum pulang sekolah kalo jam segini." Jawab Emily.
"Abel sebetulnya ngajak Daddy kesana mau liatin gambar bajunya atau mau ketemu kak Adit?" David yang dari tadi hanya mendengarkan perbincangan adik dan putrinya ini akhirnya bersuara. "Perasaan dari rumah kita gak cerita mau ketemu kak Adit, deh." Katanya lagi, kali ini dengan alis yang berkerut sambil menatap wajah putri kecilnya.
Isabel memberikan senyum manis dan berkata, "Iya sama-sama Daddy. Liat gambar baju juga mau liat kak Adit."
Emily terkekeh mendengar kata-kata Isabel. Dilihatnya mas David menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban gadis kecilnya.
"Ternyata Daddy sekarang ada saingan nih." Mendengar komentar usil Emily, David hanya membuang muka keluar jendela. Dalam hatinya dia tidak sepenuhnya merasa 'tersaingi', malah sebaliknya. David juga penasaran ingin bertemu Adit lagi, setelah ibunya berkata kalau Adit terlihat seperti dirinya saat kecil.
"Apa kita semirip itu?" Gumam David dalam hati.