Taxi berhenti di depan lobby hotel, Dion meminta supir taxi untuk menunggunya di kawasan parkir karena mungkin harus menunggu beberapa waktu sebelum mereka melanjutkan perjalanan. Setelah supir taxi menyetujui permintaannya baru Dion melangkah keluar mobil.
Alesya tetap tinggal di dalam taxi, karena di tengah perjalanan menuju hotel tadi tiba-tiba Ivan menelponnya. Dion tidak ingin mengganggu waktu personal pasangan calon suami istri ini, dengan penuh pengertian dia meninggalkan Alesya di dalam taxi. Dan mengurus proses check out sendiri.
Tidak butuh waktu lama sampai kemudian Dion terlihat sedang menyeret kopernya keluar dari lobby hotel, menghampiri taxi yang sedang parkir tidak jauh dari teras hotel. Supir taxi yang sejak tadi ternyata menunggu Dion di lobby, berlari-lari kecil menyusul Dion yang sudah sampai di teras hotel.
"Pak, sini saya bantu bawa kopernya." Dion menoleh setelah mendengar suara supir taxi yang sekarang sudah berada di belakangnya.
"Oh, ya ya. Terima kasih." Segera supir taxi mengambil alih koper berukuran besar dari tangan Dion.
"Saya tadi udah permisi mau nunggu bapak di lobby. Saya takut ibunya terganggu lagi terima telpon." Kata si supir taxi berusaha menjelaskan kenapa dirinya tiba-tiba ada disana, walau Dion sebetulnya sudah menduga kalau pria muda ini pasti kurang nyaman berdua saja dengan Alesya di dalam taxi. Karena dari awal menerima telepon Ivan, keponakannya itu sama sekali tidak perduli kalau di dalam mobil ada orang lain. Obrolan mesra penuh taburan bunga, madu, dengan awan pink berhamburan di kabin taxi. Membuat 'geli' telinga orang yang mendengarnya.
Saat supir taxi memasukkan kopernya ke dalam bagasi, Dion langsung membuka pintu belakang –membuat Alesya terkejut karena Dion mendadak muncul dan tiba-tiba mengulurkan tangan ke arah Alesya, dan dengan cepat mengambil ponsel di genggamannya tanpa permisi.
"Hey!" Protes Alesya.
"Halo, Ivan. Nanti dilanjutkan lagi recehannya. Kita masih di taxi nih, kalo kalian obrolannya begini terus, kasian sama drivernya." Dion langsung berbicara dengan orang di ujung telepon tanpa basa-basi.
"Eh! Kalian di taxi? Aku pikir kamu yang bawa mobil. Ok, aku tutup dulu deh. Ntar aku telpon lagi." Dan Ivan pun mengakhiri panggilan. Dion langsung mengembalikan ponsel Alesya.
"Dasar Ivan. Trus kalo aku yang nyetir mobil, kalian bisa 'gombal recehan' seenaknya?" Ujar Dion dengan wajah sebal teringat perkataan Ivan di ponsel tadi.
Alesya tertawa cekikikan mendengar gerutuan Dion. "Hihihihi. Makanya Om. Jangan sampe salah strategi, ntar misi mendapatkan hati Dyan tidak terwujud. Gagal deh ikutan 'ng-gombal receh' kayak kita." Kata Alesya sambil melirik ke sisi kirinya dan tersenyum usil melihat wajah pria dewasa yang sedang cemberut setelah mendengar komentarnya.
Siapa sangka, om Dion yang dari kecil selalu bertingkah laku lebih dewasa dari usianya, sekarang jadi sering mengeluarkan reaksi yang agak impulsif. Makhluk yang selama ini sangat tenang, logis dan tidak mudah panik, belakangan sering meledak-ledak, mengambil keputusan tanpa pertimbangan panjang dan sering mengandalkan insting daripada logika.
"By the way, tadi itu ada kejadian apa sama Adit? Sampe dia minta bundanya nyusul keatas?" Alesya kembali teringat kejadian saat makan siang tadi.
"Oh. Tadi selesai kita belanja, ada anak perempuan yang lagi nangis di depan toko buku. Waktu kita dekati, ternyata anak kecil itu kenal sama Adit. Rupanya dia terpisah dari orangtuanya, gara-gara liat Adit dari jauh trus dia panggil-panggil Adit tapi Adit gak dengar. Trus dia ngikutin kita tapi kehilangan dan terpisah dari keluarganya."
"Anak perempuan? Umur berapa?" Alesya mengernyitkan alisnya. Sejauh ini dia belum pernah dengan kalau Adit punya teman anak perempuan yang akrab.
"Iya, anak perempuan. Masih kecil, mungkin 5 atau 6 tahun?"
"Wah? Adit punya teman masih kecil banget? Apa mungkin salah satu langganan butik ya?"
"Hmmm, Dyan butik baju anak ya? Mungkin juga sih... Tapi kelihatannya terlalu akrab untuk ukuran pelanggan." Dion teringat betapa Isabel tidak mau lepas dari gendongan Adit, saat mereka bertemu tadi. Seolah-olah mereka berdua lebih dari sekedar kenal.
"Terlalu akrab gimana?" Alesya jadi penasaran.
"Hmmm, waktu ketemu Adit dia langsung minta gendong. Dan gak mau turun dari gendongan Adit sampai orangtuanya datang. Adit telpon Dyan, karena sepertinya Dyan juga kenal dengan anak itu."
"Siapa ya? Aku belum sempat cerita apa-apa sama Dyan. Ntar aku tanya deh, siapa anak itu. Jadi penasaran Adit punya temen anak perempuan kecil. Jangan-jangan....anaknya akrab sama Adit karena bapaknya naksir Dyan." Alesya melontarkan dugaannya masih dengan tatapan usil ke arah om-nya.
"Drama bener logikamu, Al. Kebanyakan nonton drakor." Komentar Dion sambil melengos menatap ke luar jendela taxi. Teori dari mana itu? Ada laki-laki memanfaatkan anaknya untuk mendekati perempuan. Tapi jauh di dalam hatinya, Dion merasa kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi.
Terlebih lagi kabar mengenai kematian istri David saat melahirkan sudah beredar luas. Status 'duda premium' tentu saja bukan rahasia di antara orang-orang yang mengenalnya. Termasuk Dion, yang beberapa kali terlibat bersama dalam proyek.
Sudah beberapa tahun berlalu sejak istrinya wafat dan dia membesarkan putrinya sendiri. Dan David sangat melindungi anak satu-satunya itu, tidak banyak yang tahu wajahnya. David berusaha agar tidak ada media yang mempublikasikan wajah putrinya ke publik. Hanya orang-orang yang berada di sekitarnya yang bisa melihat dan bertemu langsung. Itulah alasan kenapa Dion yang bekerja di luar negeri sebelum David memiliki anak, sama sekali tidak mengenal wajah putrinya.
Dion mengingat lagi pertemuannya dengan David tadi. Memang cepat atau lambat mereka berdua akan bertemu, karena alasan Dion ada di kota ini adalah proyek grand launching cabang hotel resort milik David. Ini adalah proyek yang pertama diterimanya setelah pulang ke tanah air, kali ini Dion bergabung dengan perusahaan Chandra. Siapa sangka ternyata perusahaan Chandra adalah salah satu rekanan yang terlibat dengan divisi marketing hotel resort keluarga Jansen?
"Aku kenal orangtua anak kecil yang akrab dengan Adit, tadi." Kata Dion sambil terus memandang keluar jendela.
"Kenal? Siapa? Aku kenal juga gak? Kalo kenal, kenapa gak bantuin Adit buat hubungi orangtuanya?" Tanya Alesya bertubi-tubi.
"Aku terakhir ketemu orangtuanya di hari pernikahan mereka. Setelah itu kita kan ke luar negeri. Aku tau dia punya anak, tapi gak pernah tau wajah anaknya gimana."
"Anak siapa sih?" tanya Alesya lagi makin penasaran, merasa pertanyaannya belum terjawab.
"Anaknya David Jansen."
"Apa? Anaknya duda premium? Wah! Adit bisa kenal dekat dengan anak dari keluarga itu, gimana caranya ya?"
"Hmmm..." Dion juga berfikir hal yang sama. Bagaimana caranya Adit bisa kenal dengan putri David? Karena selama ini keberadaannya tidak terlalu diperlihatkan ke publik.
"Nanti aku tanya Dyan ah. Wah, kalo bener pak David juga ikutan tertarik dengan Dyan, dan lagi usaha deketin dia lewat anaknya, artinya kamu punya saingan berat, Om!" Goda Alesya lagi sambil mencolek bahu Dion.
Dion hanya mendengus mendengar prediksi liar Alesya. Dia tahu kalau keponakannya hanya ingin mencandai dirinya. Namun tidak bisa disangkal kalau memikirkan pernyataan Alesya tadi membuatnya merasa perlu lebih cepat untuk mendekati Dyan.
"Kita sudah sampai pak." Supir taxi pelan-pelan berhenti di depan sebuah ruko.
"Ayo om." Alesya segera turun dari taxi sambil menenteng dua kantong kertas belanja. Sementara supir taxi langsung membuka bagasi belakang dan menurunkan sisa barang yang ada. Lalu membantu mereka untuk membawa belanjaan ke dalam ruko.
Selesai mengunci pintu ruko, Alesya segera naik ke lantai dua membawa beberapa kantong belanja. Disusul oleh Dion sambil membawa kantong sisanya. Sampai diatas, Dion tiba-tiba meminta Alesya untuk langsung pulang.
"Barang-barang belanjaan belum disusun, om. Nanti selesai nyusun belanjaan baru pulang." Kata Alesya.
Namun Dion tetap memaksa Alesya untuk pulang, dengan alasan sudah terlalu sore. Dan dia berencana ingin beristirahat sebentar sebelum menata barang belanjaannya.
Akhinrya Alesya menyetujui permintaannya, memaklumi kalau om Dion mungkin masih terlalu letih untuk bekerja. Apalagi ini hari Minggu.
"Ok, deh. Ojeg-nya udah nunggu dibawah Om. Aku pulang dulu ya." Kata Alesya sambil melambaikan tangannya ke awah driver ojeg online. Memberi kode untuk menunggu sebentar.
"Ya, ya. Oya, jangan lupa tanya Adit gimana dia bisa akrab dengan putrinya pak David."
Alesya akhirnya menyadari alasan apa sesungguhnya dia disuruh pulang secepatnya. Ternyata om Dion ingin dia jadi informan.