Adit berlari menuruni tangga setelah mendengar suara bel berbunyi 2 kali. Dalam sekejap langkah kaki panjangnya sudah membawa Adit ke depan pintu. Baru saja Adit berencana melihat keluar lewat peephole[1], suara Alesya terdengar.
"Adiiit! Tolong bukain pintu dong." Panggil Alesya.
"Iya tante. Sebentar." Adit segera membuka kunci pintu. Baru saja pintu setengah terbuka, kaki Alesya langsung melangkah masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Di tangan kanannya ada kantong berisi 3 gelas minuman dingin.
"ini, buat kita minum bareng." Adit langsung menyambut kantong yang disodorkan Alesya. "Tante Al beliin Adit yang coklat ya. Buat bunda dan tante Al yang macha."
"Makasih tante, tau aja kalo Adit suka coklat." Senyum lebar terbit di wajah Adit melihat gelas ukuran besar berisi coklat dingin dengan potongan choco chips. Full coklat! Melihat wajah Adit sumringah, membuat Alesya tidak tahan untuk tidak mencubit pipi anak sahabatnya ini sambil berkomentar, "Ya iyalaaah, anak kecil sukanya kan minum coklat."
Adit mengusap-usap pipinya yang perih setelah dicubit Alesya sambil meringis. Merasa bersalah, Alesya juga ikut mengusap pipi Adit. "Kasiaaan, maaf ya nak. Yuk, kita keatas. Bunda lagi ngapain?"
"Bunda tadi di kamar mandi. Mungkin sekarang udah keluar. Tante beli dimana nih, coklatnya?" Sambil menaiki tangga ke lantai dua, Adit memeriksa nama kedai minuman yang tertulis di gelas.
"Gak terlalu jauh dari sini, tante lihat ada kedai minuman lucu di seberang tempat kita sarapan tadi. Sepertinya mereka baru buka sore, Adit pernah kesana?"
"Hmmm, belum. Adit jarang jajan tan, jadi gak tau juga ada kedai minuman sore disana. Bunda gak terlalu suka makan diluar. Kalaupun kita jajan, paling pas belanja dua mingguan seperti tadi itu."
"Ups! Jangan-jangan tante kena tegur sama bunda nih. Beliin Adit minuman dingin." Tiba-tiba Alesya baru teringat kalau Dyan memang berhati-hati sekali soal makanan untuk Adit.
"Memangnya kamu beli apa, Al?" Suara Dyan terdengar dari belakang Alesya, mengejutkannya. Baru saja hatinya berkata-kata, orang yang dimaksud sudah muncul.
"Aah! Dyan! Ngagetin, tauk! Kamu kok muncul disitu?" Alesya mengurut dadanya, berusaha menenangkan jantung yang jumpalitan karena kaget.
"Abis jemur handuk ke teras. Kamu beli apa buat Adit?" Tanya Dyan lagi. Adit langsung menyerahkan kantong minuman ke bundanya. "Ini bun, tante beliin kita minuman. Buat bunda juga ada."
"Coklat? Dingin? Tadi udah minum dingin di mal, kan? Masih mau minum ini, bang?" Tanya Dyan.
Mendengar pertanyaan bundanya, Adit langsung pasang wajah memelas. Alesya yang melihat kondisi ini jadi merasa bersalah. Dia lupa tanya Dyan sebelum membelikan Adit minuman dingin.
"Abang mau, bun. Boleh ya? Nanti abis minum ini, abang minum air hangat. Biar tenggorokannya gak sakit. Ya? Ya? Ya?"
"Masalahnya, ini gelasnya ukuran besar. Sepertinya kebanyakan deh, bang." Kata Dyan sambil mengukur gelas berisi coklat yang lebih panjang dari telapak tangannya.
"Kalo gitu minum setengahnya aja, ntar sisanya kita simpen di kulkas buat besok pagi." Kata Alesya menengahi, mencoba memberi solusi. Namun malah menerima delikan mata Dyan.
"Besok pagi? Minum coklat dingin dari kulkas?"
"Ah, hahaha. Lupa, lupa. Kalo pagi gak boleh minum dingin ya? Sorry, sorry." Alesya tertawa miring karena usulannya ternyata salah besar.
"Bunda! Gimana kalo abang panasin setengahnya aja trus sisanya abang masukkin dalam cetakan es dan disimpen di freezer. Besok-besok bisa abang cemplungin dalam susu anget." Tiba-tiba Adit dapat ide cemerlang.
"Wah! Keren banget idenya. Bisa tuh, Dit! Jadinya gak mubazir ya nak. Sini sini, biar tante Al yang angetin." Alesya yang merasa bersalah sudah membelikan Adit 'minuman terlarang' menawarkan diri untuk melaksanakan ide tadi.
"Adit aja, tan. Kan tante ga tau tempat cetakan es-nya disimpen dimana. Tante disini aja sama bunda." Adit langsung mengambil gelas coklat dinginnya dan membawanya ke dapur di lantai 1 dengan wajah bahagia, karena tetap bisa minum coklat kesukaan walaupun potongan choco chipsnya bakal larut setelah dipanaskan nanti. Yang penting tetap bisa minum coklat!
Tinggal berdua dengan Dyan, Alesya langsung setor senyuman minta maaf. "Aku lupa kalo Adit ga boleh minum yang dingin terlalu banyak. Sorry Yan."
"Ya, lain kali jangan lupa. Trus Al, selama kamu tinggal disini, dilarang manjain Adit ya. Katanya Adit anak kamu juga. Sebelum punya anak sendiri, kamu juga harus belajar kalo jadi orangtua itu harus punya prinsip. Ga boleh plinplan. Gak boleh segalanya dikasih asal anak senang. Padahal bisa merugikan anaknya." Dyan menceramahi Alesya panjang lebar, dan yang bersangkutan tidak bisa komentar apa-apa selain mengangguk-angguk tanda persetujuan.
Sambil duduk di coffee table dekat jendela yang menghadap ke jalan, Alesya mengeluarkan dua gelas minuman dari kantong dan meletakkannya di atas meja. Dua gelas macha dingin ukuran medium.
"Gak mandi dulu, Al? Abis pulang belanja kan?" Tanya Dyan. Alesya menggeleng, "Ntar aja abis minum ini, istirahat dulu. Tadi capek banget aku." Alesya menghisap macha dinginnya pelan-pelan. Sejenak dua sahabat ini hanya diam sambil menikmati minuman masing-masing.
"Belanjanya banyak banget ya tadi?" Tiba-tiba Dyan memecah keheningan.
"Belanjanya gak terlalu banyak sih. Cuma karena dari pagi keliling-keliling aku jadi capek aja. Ke hotel, trus belanja, trus check out hotel dan langsung ke kost-an om yang baru. Untung tadi om bilang aku gak perlu bantuin nyusun barang-barang. Jadi aku bisa pulang sorean gini." Alesya memaparkan kegiatannya hari ini. Macha dingin di tangannya sudah tinggal sedikit.
"Panjang juga perjalanan kamu, Al. Trus dari kost-nya om kamu kesini pake apa? Kok sempet beli minuman segala?"
"Naik ojeg. Trus aku liat ada kedai minum lucu di seberang tempat kita sarapan, aku minta ojegnya berhenti disitu aja deh. Dari sana aku jalan kaki pulang. Makanya keringetan gini."
"Naik ojeg? Kenapa gak naik taxi aja Al? Cuaca hari ini kan cerah banget, sampe sore gini masih terang."
"Si Om ternyata dapet kostnya masih di daerah sekitar sini. Gak terlalu jauh. Kalo pake taxi, sayang duitnya."
"Oya, tadi di mal ada kejadian apa sih Yan? Kenapa tadi Adit sampe minta kamu keatas?" Tanya Alesya, walau dia sudah tahu sebagian cerita dari Dion, Alesya tetap penasaran untuk tahu ceritanya dari sisi Dyan.
"Oh, tadi Adit ketemu dengan anak kecil yang gak sengaja terpisah dari orangtuanya. Kebetulan anak kecil itu pelanggan butik aku. Makanya dia kenal dengan Adit."
"Pelanggan butik? Adit sering nolongin di butik ya? Sampe ada anak pelanggan yang bisa kenal sama dia? Atau jangan-jangan ini anaknya seumuran 'anak menjelang remaja' seperti Adit juga? Makanya jadi kenal." Alesya melempar senyum usil dan disambut dengan reaksi geleng-geleng kepala oleh Dyan.
"Anak kecil tadi baru mau ulang tahun ke-4. Ga usah mikir yang aneh-aneh soal Adit." Wajahnya kelihatan sebal.
"Loh! Kenapa sebel gitu? Eh, Adit itu udah 14 tahun loh, udah termasuk remaja. Udah SMA juga kan? Jadi kalo ada yang naksir atau ditaksir, kan udah wajar. Ya gak?"
Dyan terdiam mendengar kata-kata Alesya, anaknya memang sudah remaja. Adit bukan anak kecil yang bisa selalu disimpan dalam dekapan lagi, dia sepenuhnya sadar pada kenyataan itu. Tapi belum sepenuhnya bisa menerima.
"Bener tante Al. Bunda masih sering lupa kalo Adit udah bukan anak kecil lagi." Tiba-tiba suara Adit mengejutkan mereka berdua. Entah sejak kapan anak itu berdiri disana, sambil memegang mug berisi coklat panas.
"Sekarang sejak masuk SMA dan makin banyak kegiatan di luar, Adit suka kasian karena bunda jadi sering ditinggal sendirian di rumah." Katanya lagi sambil duduk di sofa depan TV, tidak jauh dari coffee table. Meniup coklat panasnya sebelum menghirupnya sedikit.
"Bunda kan bukan anak kecil juga, bang. Ditinggal sendirian juga gak takut." Dyan menanggapi kata-kata Adit. Merasa terharu sekaligus lucu, karena putranya terdengar seperti 'orang tua' yang sedang mengkuatirkan anaknya.
"Abang yakin sih bunda berani sendirian. Cuma abang kepikiran kan bunda kesepian. Trus bunda gak ada temen ngobrol. Ntar lama-lama bunda jadi lupa caranya senyum." Mendengar isi hati Adit, perasaan Alesya jadi ikut terharu. Bukan cuma badannya yang meninggi dengan cepat, ternyata Adit juga punya pola pikir yang lebih dewasa dari usianya.
"Tenang aja, Dit. Ada tante Al sekarang. Bundanya gak bakal kesepian lagi." Kata Alesya sambil mengacungkan jempolnya ke Adit.
"Makasih tante." Adit tersenyum. "Tapi kan tante Al gak bisa terus-terusan nemenin bunda kapan saja." Katanya lagi, dan menyeruput coklat panasnya yang mulai dingin.
"Yaa... masa bunda mau ke toilet juga harus ditemenin tante Al." Dyan tertawa mendengar komentar Alesya.
"Maksud Adit, misalnya tante Al lagi ngobrol sama om Ivan, berarti bunda kan gak punya temen...." Dan Adit pun berdiri dari sofa, dan berjalan menuruni tangga. Meninggalkan dua sahabat yang terdiam setelah mendengar kata-kata pria kecil itu.
Dyan dan Alesya saling bertatapan. Berusaha memastikan apa yang mereka pikirkan adalah benar seperti apa yang Adit maksud? Setelah beberapa saat, Alesya melihat wajah Dyan bersemu kemerahan.
"Yan, jadi Adit mau kamu punya temen spesial ya?" Selidik Alesya sambil menatap mata Dyan dalam-dalam. Melihat Dyan yang membuang muka, tidak membantah tapi juga tidak mengiyakan, Alesya tidak bisa menahan tawanya.
Kebetulan apa ini? Kebetulan berteman di instagram, kebetulan ada proyek di kota P, kebetulan bisa makan siang bersama, kebetulan kost di lokasi yang dekat dengan ruko ini. Dan melengkapi semuanya, kebetulan orang terdekat Dyan satu-satunya ingin bundanya punya teman spesial.
Alesya mengambil ponsel di kantongnya, menulis pesan singkat yang ditujukan buat si 'Om'.
[I saw the green light blinking.
Time to take the chance.] [2]
===
[1] Peephole = lubang intip searah di pintu untuk melihat keluar.
[2] Aku liat lampu hijau. Waktunya ambil kesempatan.